YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Salah satu impian terbesar umat Islam di penjuru buana adalah bisa melakukan ibadah haji. Histrois dari perjalanan ibadah haji ditemukan pada abad ke 15 menurut sejumlah sumber. Pada abad ini menjadi klimaks dari intensifikasi-intensifikasi Islamisasi di Kepulauan Nusantara, sehingga perkembangan Islam makin massif, demikian ungkap Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., MPhill., Ph.D., CBE selaku Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025 dan cendekiawan muslim dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (15/7).
Prof Azyumardi menyambung dengan masifnya perkembangan Islam dan pada saat yang sama juga ditunjang dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan pada awal abad 16. Di mana kesultanan ini terlibat dalam matarantai perdagangan internasional.
Kerajaan tersebut antara lain Kerjaan Mataram, Banten, dan Aceh. Ketiga kerajaan ini mengirim beberapa delegasi ke Makkah bahkan juga sampai ke Istanbul, Turki. “Mereka melakukan ibadah haji, sekalian juga mendapatkan pengakuan dari penguasa Usmani. Karena Usmani itu juga waktu itu menguasai Makkah dan Madinah. Jadi mereka ingin mendapatkan pengakuan sebagai sultan, sebagai penguasa muslim dikasih bendera dan lainnya,” terangnya.
Sejak abad 16 itulah, animo masyarakat meningkat untuk menunaikan ibadah haji. Sekaligus juga terutama kawula muda, mengadakan perjalanan ibadah haji juga menuntut ilmu ke Makkah. Perjalanan ulama-ulama besar yang selanjutnya dikenal dengan sebutan murid jawi atau Ashabul Jawi di Makkah dan Madinah. Murid Jawi ini pada abad 16-17 melakukan perjalanan naik kapal melewati beberapa wilayah: semenanjung arabia, Oman, Qatar, Yaman, Hadramaut, pesisir laut merah, dan sampai di Jeddah kemudian ke Makkah dan Madinah.
“Ini bisa dilacak dari situ. Jadi, ulama-ulama besar yang kita temui pada abad 17 terutama Syekh Abdurrauf as-Singkili, Syekh Nuruddin Al Raniri, Yusuf Al Makassari, semuanya bisa dilacak sumber-sumber perjalanan mereka siapa guru-guru mereka, di mana saja ada di dalam riwayat apa yang disebut dengan tarajim tarjamah,” katanya.
Pada abad 18, lahir pula ulama-ulama bear Jawi antara lain Abdussamad Al Palimbani, Muhammad Arsyad Al Banjari, Nawawi Al Bantani, Mahfudz Tarmasi, Saleh Darat As Samarani, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi akhir abad 19 yang menjadi guru dari Pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Haji Hasyim Asy’ari selaku Pendiri Nahdlatul Ulama.
“Jadi itu. Dan itu terus berlanjut, murid-murid ini yang pergi haji dan menetap di Makkah itu sampai pada tahun 90. Di mana ulama besar yang paling akhir itu Syekh Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani, memang keturunan dari Padang. Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani yang menjadi kepala sekolah Darul-Ulũm di Makkah yang kemudian di nasionalisasikan oleh Pemerintah Saudi di integrasikan menjadi sekolah umum,” pungkasnya.
“Sehingga kemudian, lokus murid-murid Jawi itu atau murid-murid Indonesia pada masa itu mengalami kemerosotan. Jadi jaringan ulama itu sudah merosot,” tambahnya. (Cris)