YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bagi umat Islam, tak pelak dengan tokoh satu ini, yakni Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah atau tenar dengan nama pena Buya Hamka. Seorang tokoh besar berasal dari Sumatera Barat ini merupakan penulis kondang yang banyak melahirkan buah penanya nan tersohor.
Pelbagai karyanya meliputi Tafsir Al-Azhar, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka’bah, Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, lembaga budi, dan masih banyak lagi.
Untuk mengenang jasa-jasanya, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta menyelenggarakan bedah buku karya Prof Dr Hamka, 11 Juni 2022. Buku yang dibedah berjudul “Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi”.
Implementasi bedah buku ini terselenggara atas kerjasama dengan Kampus Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan Universitas Buana Perjuangan Karawang.
Sebagai narasumber pada seri kedua, H Hendra Darmawan, SPd., MA menjelaskan bahwa penjelasan budi tidak terlepas dari eksistensi manusia itu sendiri. Karena manusia sebagai ciptaan Allah yang bersifat individual dan sosial. Manusia tumbuh dan menuju ekuilibrium.
“Manusia akan bersinggungan dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum. Maka selain kaidah-kaidah tadi, ada hukum yang juga harus ditegakkan, salah satunya adalah masyarakat itu sendiri,” ujar Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dalam bedah buku karya Buya Hamka.
Dalam merekonstruksi budi di dalam jiwa manusia, diperlukan pribadi-pribadi yang luhur. Dan yang terpenting pada jantung utamanya ialah masyarakat harus mendapatkan edukasi inklusif-komprehensif. “Manusia dalam berinteraksi dengan kaidah-kaidah tersebut, seberapa manusia bisa memposisikan dirinya menjadi pribadi yang merdeka dan berkesadaran,” katanya.
Hendra mengatakan pula bahwa manusia tidak bisa hanya mencukupkan dirinya karena manusia merupakan makhluk sosial. Manusia juga harus berupaya melakukan sesuatu dalam membangun peradaban seraya terlibat dalam aktivisme sejarah.
Manusia sejatinya harus bisa melawan kebodohan, kemiskinan, dan juga yang terpenting adalah kemalasan. Perubahan tidak akan terjadi kecuali manusianya sendiri yang melakukan perubahan. (Cris/Riz)