YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Perkawinan Anak masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Pada tahun 2018, Indonesia berada dalam 10 daftar Negara dengan angka perkawinan anak tertinggi dunia serta ke-2 di ASEAN. Kemudian pada 2019 ada sebanyak 24.865 permohonan dispensasi kawin dan meningkat tajam pada 2020 menjadi 64.000 permohonan.
Dalam pengantarnya, Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah Dr Tri Hastuti Nur Rochimah, MSi menyebutkan bahwa problem tingginya perkawinan anak masih dalam faktor permukaan saja seperti ekonomi atau kehamilan tidak diinginkan (KTD).
“Namun berdasarkan hasil asesmen mengungkapkan penyebebab yang lebih jauh lagi seperti kemiskinan, minimnya akses pendidikan dan akses informasi maupun layanan Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang komprehensif, kemiskinan, ketidakadilan gender, norma sosial dan budaya, hingga pemahaman keagamaan yang tidak memuliakan perempuan dan anak,” ungkap Tri Hastuti dalam Workshop Analisis Kebijakan dan Implementasi Perkawinan Anak dalam Perspektif Gedsi, di Kantoor PP ‘Aisyiyah, Yogyakarta, Selasa (19/7/2022).
Workshop ini menghadirkan narasumber Asdep PHA Atas Pengasuhan dan Lingkungan KPPPA Rohika Kurniadi Sari, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan KB Kabupaten Maros Fitri Adhecahya, Kasub Direktorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag Agus Suryo Suripto. Turut mengikuti sebagai peserta Majelis Tabligh PPA, Dinas PPPA, Dinas Sosial, serta anggota Program INKLUSI dari berbagai daerah.
Tri Hastuti mengungkapkan INKLUSI ‘Aisyiyah memandang perkawinan anak menjadi hal strategis untuk ditanggulangi karena berkaitan erat dengan pembangunan bangsa ke depannya. “Karena kompleksnya faktor penyebab tersebut maka upaya pencegahan perkawinan anak juga harus bersifat holistik serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terkait,” ujarnya.
Sekretaris PP ‘Aisyiyah tersebut mengungkapkan berbagai dampak yang bisa terjadi akibat perkawinan anak. Diantaranya tidak terputusnya lingkaran rantai kemiskinan, sulitnya masa depan generasi yang berkualitas, meningkatnya angka kematian ibu di usia remaja, dan angka kematian bayi, kasus KDRT, serta perceraian pada perkawinan usia muda.
‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang mendasarkan pada pandangan keagamaan Islam berkemajuan yang memuliakan perempuan dan anak serta berikhtiar pada berbagai aspek yang terkait dengan upaya strategis pencegahan dan penurunan angka perkawinan anak.
Rohika Kurniadi Sari dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) mengapresiasi upaya Inklusi ‘Aisyiyah dalam menurunkan perkawinan anak. Dirinya juga mengajak ‘Aisyiyah untuk bersama menyukseskan kampanye, sosialisasi, edukasi, advokasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Terlebih pemerintah telah menetapkan target penurunan perkawinan anak hingga 8,74% pada 2024. Selain itu, perkawinan anak pun berhubungan dengan indek pembangunan manusia (IPM) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s).
Termasuk 5 arahan program KEMENPPPA yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.
Dari perspektif Agama Agus Suryo Suripto mengungkapkan bahwa prinsip keluarga sakinah adalah dengan meningkatkan ketahanan keluarga. Salah satu upaya Kemenag dalam mewujudkannya adalah merevitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat bimbingan keagamaan dan pemberdayaan.
Sementara itu, Fitri Adhecahya memaparkan terkait good practice pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Peran pemerintah dalam hal ini pemerintah desa terbukti mampu menekan jumlah perkawinan anak melalui peraturan desa.
Uniknya ada sanksi administratif berupa tidak diberikan izin untuk melaksanakan pesta perkawinan. Serta sanksi sosial dengan tidak dihadiri oleh pemerintah desa, imam desa, imam dusun, dan pegawai syara’.
Peraturan terkait pencegahan perkawinan anak di Maros diselaraskan baik di tingkat kabupaten hingga di bawahya. Namun, perlu komitmen bersama dalam menanggulangi perkawinan anak sehingga bukan semata-mata adanya peraturan dan adanya sanksi.
Workshop INKLUSI ‘Aisyiyah dilanjutkan dengan menjadi berbagai masukan bagi pengembangan desain program terkait upaya pencegahan perkawinan anak ke depannya. Serta memetakan peluang dan sinergi program pencegahan perkawinan anak. (Riz)