Mengaktifkan Intelektualitas
Oleh: Indra
Kita tiba pada waktunya, saat ketidak acuhan soal menghidupkan intelektual dan pikiran sebagai fungsi berdialektika diruang realitas sosial. Pikiran akan tidak pada berhenti. Dia akan selalu berdialektika dengan ‘kesementaraan’ jika kita menginsafi ‘bahwa kita tidak statis’ berhukum pada ‘perubahan’ karenanya melekat kerelatifan pada dirinya, kendati berpotensi pada kebenaran dogmatis. Mengaktifkan intelektual adalah merupakan keingintahuan mencari dan menggali ketidaktahuan, dan mempertanyakan kerelatifitasan ‘pengabsolutis’. Menggugat absolutisme merupakan hakekat dari berpikir kemudian dia dituntun oleh rasionalitasnya.
Intelektual merupakan kealamian komplementer mendAku, sebuah organ manusia yang termewah di alam semesta raya. Memfungsikan artinya mengaktifkan dalam melihat “bahasa suara” realita. Jika mengikuti hukum sejarah sosial manusia, maka kita tiba pada “pertarungan” argumentasi dan kritisisme pada ‘hegemoni-monopoli-absolutisme’. Inilah yang dimaksudkan oleh Edwar Said tentang keintelektualan sebagai fungsi sosial organik.
Sejarah intelektual bermula pada abad 18 M terjadi di Prancis. Peristiwa perlawanan terhadap pasukan dripdyus. Intelektual juga kita kenal oleh Julien Benda dalam karyanya ‘penghianatan kaum intelektual’ sebagai kerangka konseptualnya (Hatta 1957). Namun istilah ini mengantarkan kita pada anteseden-anteseden. Dimana peristiwa dikoreksi oleh evaluasi sejarah konsepsi dekonstruksi. Kepecundangan ‘intelektual’ bermuara pada ‘kemapanan’ yang disuakakan oleh status qua dan kuasa. Tidak lahir argumentasi kritis dalam mempersoalkan fakta sosial dan ketidakadilan.
Intelektual pertama memang dikenalkan oleh Clemenceau di Prancis tahun 1898 sebagai resonansi dari ‘manifesto intelektual’ (manifesto Des intellectuel) yang dibangkitkan oleh ‘Kasus dreyfus’. Seorang Novelis yang terkemuka menulis surat tentang kezhaliman militer Prancis dan distorsi fakta-fatka ketidakadilan proses pengadilan, surat itulah yang kemudian dikenal sebagai manifesto para intelektual. Kubu dreyfus merupakan para pengkritik pengadilan Prancis yang telah memanipulatif kasus dreyfus.
Pada awalnya sebatas ‘cemooh’. Sebuah pelabelin untuk ‘menghina’ namun dia menjadi kokoh tatkala sejarah telah mengindentitaskan kaum kritis sebagai para intelektual. Derivasi sebagai representasi kelompok (sendiri) yang membela hati nurani bersama atas persoalan politik-sosial yang mendasar. Maka konsekuensi dari diksi intelektual adalah pertarungan moral etis dengan hegemoni anti egalite dan anti equality for Law.
Intelektual dia ‘komplementer’ dalam sistem demokrasi kini, kendati tidak pernah sampai pada utiliterian namun dengan hanya cara ini ‘termungkin’ intelektual bisa dioperasikan secara setara dan bebas. Kesesuaian dengan karakter demokrasi, memberi dan mencari ruang kosong dari kritisisme yang kemungkinan terjadi. Karenanya ber-intelektual ‘wajib’ pada fungsinya.
Konstruksi intelektual bisa juga kita lihat dalam sejarah Islam, kemampuan ber-ijtihad seperti Umar Khalifah kedua setelah Abu Bakar, memberi gambaran intelektual yang tidak terjebak pada pengabsolutis kebenaran sejarah. Bahkan demi dan atas kemanusiaan Islam bisa tersebar dengan cara manusiawi dan penuh kemaslahatan kemanusiaan universal.
Sebuah proses dari ‘diam’ ke ‘aktif’ memerlukan energi yang radikal. Yang mampu memporfankan porfan dan meng’akhirat’kan akhirat. Keberanian ‘melawan’ hukum kontradiksi idealisme dalam perputaran sejarah dan zaman. Dari dan ke, memerlukan kerja intelektual. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif; Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup, Melelahkan dan bahkan tidak akan pernah puas.
Kerja Intelektual memang tidak ada habisnya, bahkan semakin mendalam semakin kehilangan dasar. Dalam “belajar’’ justru semakin ‘tajam ketidaktahuan’ maka kemengertian tentang “ketidaktahuan’’ ada dalam “aku tidak tahu”. Ungkapan filsafat selalu mengkuriositasitasnya. Seperti ungkapan filusuf Yunani Socrates; Makin banyak aku tahu makin banyak aku tidak tahu. Akhirnya hanya satu yang aku tahu bahwa aku tidak tahu apa a-apa. Apa, adalah kata yang lahir dari kimiawi berpikir, hadir sebuah proses hasil “berpikir’’. Untuk ‘apa’, memahaminya status antologis dari realitas kesemestaan berawal dari “apa’’ dan kemudian “ada”, realitas dan segala realitas masuk pada wilayah “ada’’. Untuk memahami “Ada” kita mulai mengerti “Apa”. Apa, proposisi yang “mempersoalkan” segala kekusutan, ketidakmengertian dan bahkan yang diabsolutkan.
Intelektual dimiliki setiap manusia namun hanya dalam status “basyar’. Kealamian sebagai makhluk bialogis. Kebialogisannya hanya sebatas “organ” tubuh manusia berupa otak. Potensi besar didalam kedirian manusia telah di diskripsikan oleh Nabi Adam As. Tatkala Allah memberi ayat-ayat (tanda) alam semesta kemudian Adam dengan pasif menyembutkan beberapa jawaban dari pertanyaan malaikat. Tanda-tanda kesemestaan sebagai sunatullah, merupakan realitas sebagai tempat intelektual “bergulat’ dan “mengedap’’ dalam memahami “paham” tanda-tanda alam semesta. Inilah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat-Albaqarah;164; …Tanda-tanda (ayat) agar kamu berpikir. Bahkan Islam mendorong manusia untuk berpikir, berpikir (apa) yang ada, dan termungkin (apa saja) ada. Sekalipun keruntutan berpikir harus dipelajari karena memahami dan membaca tanda-tanda alam memerlukan metodologi berpikir. Dalam filsafat disebut sebagai organon oleh Aristoteles dalam ilmu logika. Karena sering “ketersesatan’ menemukan “kebuntuan’ dan tidak “terpahamkan” karena kekacauan dalam silogisme berpikir. Silogisme adalah “hukum” berpikir agar menemukan konklusi yang benar dan tepat. Dalam tradisi keilmuan Islam ilmu logika disebut oleh Ilmu mantik (Ilmu cara berpikir), pertama dikembangkan oleh Filusuf Islam Al-Farabi dalam mengembangkan pemikiran Aristoteles Organon.
Tergambar di atas bahwa sebuah potensi besar jika otak “difungsikan’’ untuk berpikir. Semua manusia diberi otak dan hak yang sama dalam berpikir. Hanya mau atau tidak juga bagian dari hak yang melekat dalam dirinya. Semua manusia memiliki intelektual tapi tidak semuanya memfungsikannya (Antonio Gramschi). Intektelektual fungsional, adalah “kewajiban” yang wajib dilakukan. Manusia yang memfungsikan intelektualnya disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai Insan dan Ulu-Albab.
Intelektual dan aktifitas berpikir sebuah hibridisasi. Mengunifikasi dalam fragmentasi “posisi’’ dan “fungsi”. Berpikir adalah fungsi dari intelektual. Berpikir dengan banyak terminologis dalam Al-Qur’an; yatafakkarun, ya’qilun, yatadabbarun dan yatadzakkarun.
Berpikir tentang Tuhan?
Nabi Ibrahim As dalam sejarah pernah pada posisi “kegamangan” tentang Tuhan. Sebuah pencarian kebenaran absolut namun dengan cara berpikir asumsi. Sebuah keberanian luar biasa, mempertanyakan teologis yang dalam sejarah itu dogmatis yang hanya boleg di Imani tidak boleh di aqli. Apakah ini tuhan dan apakah itu benar-benar tuhan. Bahkan “cara berpikir’ tentang tuhan dilakukan dengan akal bukan dengan “keyakinan” tapi “keraguan” tentang yang disebut “Tuhan”. Nabi Ibrahim dan bahkan nabi-nabi sebelumnya dididik oleh Allah berpikir kritis, rasional dan logis.
Nabi Ibrahim mendemonstrasikan berpikir kritis (logis) menunjukan sejumlah asumsi emperik. Ketika siang telah “sirna” kemudian datanglah kegelapan (malam), dia melihat bintang, lalu dia berasumsi; inilah tuhanku. Tetapi tatkala bintang tenggelam, dia menolak anggapannya; “Aku tidak suka kepada (tuhan) yang tenggelam. Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit (cahaya yang lebih terang dari bintang), dia berasumsi (berpikir); “inilah tuhanku”. Akan tetapi, setelah bulan terbenam, kemudian dia menolak anggapannya, dengan menyatakan; “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberiku (akal) petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat (karena telah menuhankan sesuatu yang eksistensinya bisa terbenam dan terbit). Kemudian tatkal dia melihat matahari terbit, dia Kembali berasumsi; “inilah Tuhanku; ini lebih besar dari bintang dan bulan. Maka, tatkala matahari juga terbenam, maka berdasarkan asumsinya, dia mengedit asumsi itu. Kemudian nabi Ibrahim mengkonklusikan (menyimpulkan) “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. “(QS al-An’am (6);76-78).
Nabi Ibrahim adalah aktor intelektual yang (bebas) berani, bahkan disaat dogmatis teologis di anggap haram dipersoalkan. Berpikir sekalipun tentang teologis. Agama memberi pembebasan dan kebebasan dalam berpikir (liberasi), disini “logis” menjadi penting dalam berTuhan, karena (hukum) rasional (berpikir) akan menuntun pada “kebenaran” kendatipun berawal “relative sesat“. Saya tidak dalam membahas tentang “teologis” atau filsafat ketuhanan atau aqidah. Kita melihat “eksistensi” akal, betapa luas dan “radikal” sekalipun, tidak ada “pengharaman” tentang “itu”. Meng-aktif-kan, berarti mennyalakan pikiran yang tak terhingga dan tak terbantas sampai pada “batasnya’’ yang dipesepsikan dalam maenstream “tidak boleh”.
Intelektual Pembebasan
Kekuatan intelektual dibangun dalam cultur keilmuan, membangun budaya diskusi, membangun kekuatan literasi, memperkuatkan pendengaran tentang ilmu pengetahuan dengan siapa saja, kuncinya tawadhu’, rendah hati. Membudayakan tradisi keilmuan di era industrialisasi dan globalisasi dengan segala kompleksitasnya. Sebuah zaman yang “serba mudah”, mengakses informasi dan literasi digital sangat gampang. Namun banyak penelitian mengangkat persoalan literasi warga Indonesia yang lemah. Ini persoalan kekuatan membaca.
Memfungsikan “intelektual” untuk pembebasan dari kebodohan, kedunguan, kebebalan, kejumudan, keterbelakangan dan regresif. Kerja ini (sangat sunyi) untuk memenuhi suplay intelektual tidak seramai membawa orang demo dijalanan, tapi bukan berarti tidak boleh demonstrasi. Konsepsi sebelum aksi merupakan pelancar dan memperhalus implementasi.
Berawal dari merubah cara berpikir, kita bisa terbebas dari pasungan kebodohan dan “ngototisme”. Liberalisasi dalam istilah Kontowijoyo adalah “nahy munkar”, pembebasan tentang belenggu kemanusiaan, sebuah logika pembebasan. Kerterjajahan berawal dari pasungan keengganan mengaktifkan nalar berpikir. Kemalasan berpikir.
Allah akan mengangkat derajat bagi manusia yang mau memfungsikan intelektualnya dalam segala segmen kehidupan ini, serta berpikir tentang ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat particular. Merawat intelektual adalah cara lain dari bersyukur tentang nikmat berakal.
Demikian. Segalah kekhilafan dengan penuh kerundukan saya merasa berpotensi salah dalam menuliskan ini, maka sangat lebar dan lapang untuk membuka kritikan hingga perdebatan yang argumentatif, agar menyempurnakan kedalaman dan keluasan dalam pembahasan di atas.
Indra Mustika, Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Sungai Penuh