Kualitas Hadis tentang Shalat Hajat dan Pengamalan Shalawat Nariyah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Di tengah-tengah umat Islam banyak yang mengamalkan shalat hajat dan mengamalkan bacaan shalawat nariyah, muncul pertanyaan,
- Bagaimana kualitas hadis tentang shalat hajat? Dapatkah hadis-hadis tersebut dijadikan pedoman untuk beramal?
- Dapatkah shalawat nariyah diamalkan ketika seseorang sedang menghadapi masalah dengan harapan agar masalah yang dihadapinya cepat mendapat solusi?
Mohon penjelasannya dan terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Suratmin (Disidangkan pada Jumat, 1 Syakban 1443 H/4 Maret 2022 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan saudara kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan saudara. Berikut ini kami uraikan jawabannya.
Kualitas Hadis tentang Shalat Hajat
Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa mengenai shalat hajat memang tidak disebutkan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), namun pernah dipaparkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 5 terbitan Suara Muhammadiyah pada halaman 58. Beberapa dalil tentang shalat hajat yang dijadikan rujukan di antaranya sebagai berikut,
Hadis riwayat Ahmad dengan nomor hadis 26225 yang terdapat dalam kitab Musnad dari beberapa kabilah bab dari hadis Abu Darda’ ‘Uwaimir r.a. sebagai berikut,
عَنْ أَبِي دَرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَسْبَغَ الوُضُوْءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يُتِمُّهُمَا أَعْطَاهُ اللهُ مَا سَأَلَ مُعَجَّلاً أَوْ مُؤَخَّرًا [رواه أحمد بسند صحيح].
Dari Abu Darda’ (diriwayatkan) sesungguhnya Nabi saw bersabda: Barangsiapa berwudu dengan baik kemudian shalat dua rakaat dengan sempurna, Allah akan memberi apa yang ia minta, cepat atau lambat [H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih]
Namun, hadis tersebut sanadnya daif menurut Syu’aib al-Arna’uth, karena setelah diteliti ternyata hadis tersebut terputus sanadnya pada tingkatan tabi’ut-tabi’in kalangan tua.
Adapun hadis lain riwayat at-Tirmidzi nomor hadis 441 dalam kitab Witir bab Shalat Hajat, Rasulullah saw bersabda sebagai berikut,
مَنْ كَانَتْ لهُ حَاجَةٌ إِلَى اللهِ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّاْ فَليُحْسِنِ الوُضُوْءَ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ [رواه الترمذي والنّسائي].
Barangsiapa mempunyai hajat (kepentingan) terhadap Allah atau sesama manusia hendaklah berwudu dengan baik kemudian shalat dua rakaat, kemudian memuji (mengagungkan) Allah kemudian membaca shalawat untuk Nabi saw [H.R. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Hadis tersebut dhaif jiddan menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Dalam periwayatannya terdapat seorang perawi yang bernama Fa’id bin Abdur Rahman yang mendapat kritik matrukul-hadis dari Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, mendapat kritik munkarul-hadis dari al-Bukhari, mendapat kritik dhaif dari Yahya bin Ma’in dan mendapat kritik hadisuhu kadzib dari Abu Hatim ar-Razy.
Terlepas dari dua hadis di atas, ternyata ada satu hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah nomor 1375 dalam bab Shalat Hajat sebagai berikut,
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللهَ لِي أَنْ يُعَافِيَنِي فَقَالَ إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ لَكَ وَهُوَ خَيْرٌ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ فَقَالَ ادْعُهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ ]رواه ابن ماجه]
Dari Usman bin Hunaif (diriwayatkan) bahwasannya seorang lelaki buta datang kepada Nabi saw seraya berkata: Doakanlah aku agar Allah menyembuhkanku. Beliau bersabda: Jika kamu mau, maka aku tangguhkan bagimu dan itu lebih baik, dan jika kamu mau, maka aku akan doakan kamu. Lelaki itu berkata, Doakanlah. Kemudian beliau saw menyuruhnya agar berwudu dan membaguskan wudunya, lalu shalat dua rakaat dan berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, aku telah menghadap dengan perantaraanmu kepada Rabb-ku di dalam hajatku ini agar terpenuhi. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya bagi diriku [H.R. Ibnu Majah].
Hadis ini sahih, selaras dengan pendapat Abu Ishaq yang menyatakan bahwa hadis ini sahih.
Dari keterangan terkait tiga hadis di atas, dapat diketahui bahwa terdapat satu hadis yang sahih dan dua hadis pendukung yang derajatnya daif. Oleh karena itu, secara global hadis tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman atau sandaran dalam beramal. Dengan kata lain, hukum shalat hajat adalah masyru’ (disyariatkan). Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah XXX yang diselenggarakan pada tahun 2018 di Makassar telah pula membahas hal tersebut dengan memutuskan bahwa shalat hajat adalah masyru’ berdasarkan hadis sahih sebagaimana yang disebutkan di atas. Tetapi karena satu dan lain hal di luar substansinya, Keputusan Munas Tarjih XXX tersebut hingga saat ini belum ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Hukum Pengamalan Shalawat Nariyah
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pernah membahas persoalan shalawat nariyah dan hasilnya telah dimuat di rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah secara bersambung pada Nomor 9 dan 10 tahun 2017.
Fatwa tersebut dibuat untuk menjawab pertanyaan tentang adanya peraturan dari pemerintah suatu daerah untuk membaca shalawat nariyah sebelum pelajaran dimulai di semua sekolah yang membuat warga Muhammadiyah merasa perlu bertanya tentang hukum membaca shalawat tersebut. Namun demikian, pada kasus yang baru ini tidak ada salahnya jika kami kemukakan kembali secara ringkas mengenai hukum mengamalkan shalawat nariyah tersebut.
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisanul Arab menjelaskan bahwa secara bahasa shalawat (الصلوات) merupakan bentuk jamak dari kata shalah (الصلاة), dari asal kata shala (صلا) yang berarti doa dan istigfar. Senada dengan itu, Ahmad Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam Maqayis al-Lughah menjelaskan bahwa shalah (الصلاة) berasal dari kata shala (صلى) yang antara lain memiliki arti doa.
Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Ahzab (33): 56,
اِنَّ اللهَ وَمَلٰىِٕكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya [Q.S. al-Ahzab (33): 56].
Adapun shalawat nariyah adalah shalawat yang disusun oleh Muhammad Abdul Wahab at-Tazi al-Maghribi atau Syeikh Nariyah yang berasal dari Taza Maroko. Oleh sebab itu, shalawat ini kemudian disebut dengan shalawat nariyah. Lafal shalawat nariyah seperti yang telah umum diketahui adalah sebagai berikut,
أَللَّهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الّذِي تُنحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
Jika diperhatikan dari segi isi, pada shalawat tersebut ada kalimat yang janggal dan kurang sesuai dengan syariat Islam, bahkan dapat menjurus kepada kesyirikan, terutama pada lafal:
تُنحَلُ بِهِ العُقَدُ وَ تَنفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقضَى بِهِ الحَوَاثِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Dalam lafal ini disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebab terurainya segala ikatan, hilangnya segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dan dicapai segala keinginan. Jadi, menurut lafal ini, yang melepaskan segala ikatan (kesulitan), menghilangkan segala kesedihan dan mengabulkan segala keinginan adalah Rasulullah saw, bukan Allah swt. Padahal yang dapat menghilangkan ikatan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, mengabulkan keinginan dan doa hanyalah Allah swt. Hal ini dinilai berlebihan di mana Nabi Muhammad hanyalah utusan Allah.
Pernyataan bahwa Nabi Muhammad saw mampu menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan ini bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang menyeru kepada beliau untuk berkata,
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَآءَ اللهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ اِنْ اَنَا اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ [الأعراف، ١٨٨].
Katakanlah (Muhammad): Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman [Q.S. al-A’raf (7): 188].
Ayat tersebut memberikan keterangan yang jelas bahwa hanya Allah-lah yang berhak dan mampu melepaskan berbagai kesulitan dan mengabulkan permohonan, bukan Rasulullah saw.
Selain mengandung beberapa kejanggalan, shalawat nariyah juga mengandung pujian yang berlebihan untuk Nabi Muhammad saw, padahal beliau sendiri tidak membutuhkannya, bahkan melarang hal itu. Nabi Muhammad saw bersabda,
لَاتُطْرُونِي كَاَطْرَاتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدَاللهِ وَرسُولَهُ [رواه البخاري].
Janganlah kalian puji aku berlebih-lebihan, sebagaimana kaum Nasrani memuji berlebih-lebihan terhadap (al-Masih) ibnu Maryam. Tetapi katakanlah aku (Muhammad) adalah hamba-Nya (Allah) dan pesuruh-Nya [H.R. al-Bukhari Nomor 3189].
Jadi, karena terdapat beberapa kejanggalan dan dinilai terlalu berlebihan itulah, maka shalawat nariyah ini kurang tepat untuk diamalkan bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah dengan harapan agar masalah yang dihadapi dapat cepat mendapat solusi. Seorang muslim yang sedang menghadapi suatu persoalan hidup, hendaknya senantiasa bergantung kepada Allah dengan berdoa atau memohon kepada-Nya serta selalu berikhtiar untuk mencari solusinya. Adapun doa-doa yang dianjurkan ialah doa yang masyru’ (disyari’atkan) atau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw yang sahih lagi makbul. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 186,
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ [البقرة، 186].
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan mencerahkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 11 Tahun 2022
Ralat: Hukum pengamalan shalawat nariyah, yang tertulis
Al-Khalil dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah menjelaskan bahwa secara bahasa shalawat merupakan bentuk jamak dari kata shallu, dari asal kata shalah yang berarti menyambut yang baik, ucapan yang mengandung kebajikan, doa, dan curahan rahmat
harusnya tertulis
Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisanul Arab menjelaskan bahwa secara bahasa shalawat (الصلوات) merupakan bentuk jamak dari kata shalah (الصلاة), dari asal kata shala (صلا) yang berarti doa dan istigfar. Senada dengan itu, Ahmad Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam Maqayis al-Lughah menjelaskan bahwa shalah (الصلاة) berasal dari kata shala (صلى) yang antara lain memiliki arti doa.