YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Prodi PPKN Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menggelar Bincang Buku “Lembaga Budi” Karya Prof Dr Hamka, Sabtu, 25 Juni 2022. Kali ini edisi #4 yang bekerja sama dengan Universitas PGRI Semarang dan Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang.
Edisi kali ini menghadirkan dua narasumber yaitu Kaprodi PPKN Universitas PGRI Semarang Rahmat Sudrajat, MPd dan Dosen UBP Karawang Fitri Silvia Sofyan, M.Pd.
Kaprodi PPKN UAD Dikdik Baehaqi Arif dalam sambutannya berterima kasih kepada Perguruan Tinggi mitra yang telah bekerja sama menyukseskan Bincang Buku ini sebagai implementasi kerja sama dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Ke depan diharapkan bisa berlanjut dengan kerja sama di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat.
Budi Membuka Perusahaan
Rahmat Sudrajat memaparkan tentang bab ke-6 Lembaga Budi yaitu tentang Budi Orang yang Membuka Perusahaan. Dirinya mengutip Hamka dalam buku itu tentang Budi Bahasa itu ada dua, yaitu umum dan khusus. Yang umum itu untuk dia dan untuk yang lain, dan yang khusus ialah mengenai diri orang yang mempunyai perusahaan itu.
Terdapat 10 bahasan mengenai budi orang yang membuka perusahaan. Pertama adalah ilmu, yaitu mengusai ilmu pengetahuan tentang perusahaan, mengikuti perkembangan zaman, menyesuaikan teknologi terbaru.
Kedua adalah percaya kepada diri sendiri, yaitu jangan terlalu mengharapkan tenaga orang lain, jangan tergantung kepada orang lain. Buya Hamka memberikan ilustrasi melalui cerita menarik dalam setiap bahasan budi dalam membuat perusahaan ini. “Orang yang percaya kepada kemampuan dirinya sendiri itulah yang akan tercapai apa yang dimaksudnya,” kutipnya.
Ketiga adalah kekuatan kemauan, yaitu percaya pada diri sendiri akan menimbulkan kemauan yang kuat. Maka, seorang pemimpin tidak boleh bersikap maju-mundur. Hamka berpesan, “Semua orang akan menemui kesulitan, jangan cemas semua pasti ada jalannya, pada sesuatu yang hidup pasti menemukan kesulitan.”
Keempat adalah mengatur tempo dan merencanakan kerja, yaitu selalu menghargai waktu, bisa membagi waktu, selalu menyelesaikan permasalahan saat itu juga. Belajar membagi waktu dalam Islam, pekerjaan harus dihentikan ketika otak sudah melemah berpikir. Semua kegiatan harus diatur waktunya. Sesekali harus ada selingan akan tetapi harus fokus kembali pada perusahaan.
Kelima adalah fokuskan perhatian pada perusahaan, yaitu perusahaan atau pekerjaan harus dikerjakan dan juga dipikirkan. Jangan puas terhadap pujian orang lain, perhatikan juga kritikan. Selalu memperhatikan bawahan, supaya bawahan dalam bekerja selalu gembira sehingga mampu meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
Keenam adalah jujur dan amanah, karena modal suatu usaha bukanlah semata-mata uang. Banyak perniagaan tidak maju karena hanya mengandalkan uang saja. Kejujuran kepada pelanggan dan teguh memegang amanah adalah modal utama.
Ketujuh adalah penjagaan kualitas, digambarkan oleh Hamka ada merek yang dair dulu sampai sekarang tetap dicari orang. Hal ini disebabkan karena perusahaan menjaga kualitas mutu barang. Tapi banyak perusahaan yang memiliki produk, satu dua tahun kemudian hilang.
Jangan hanya pandai membeli tapi tidak pandai memelihara. Tetap menjaga kualitas walaupun banyak produk yang sama beredar, karena kita menjaga kualitas mereka akan kembali ke kita lagi.
Kedelapan adalah memahami keinginan orang banyak. Dalam membuka perusahaan harus mampu memengaruhi segala tingkatan. Hal ini bisa dilakukan dengan survei terlebih dahulu supaya mengetahui keinginan dan kesukaan konsumen.
Kesembilan adalah advertensi dan promosi. Haruslah disediakan modal untuk reklame dan advertensi (iklan) walaupun perusahaan sudah maju. Perusahaan yang tidak promosi akan kalah dan lama-lama jatuh. Selalu membuat promosi meskipun biayanya mahal.
Kesepuluh pintar meladeni. Pelanggan adalah raja karena perusahaan selalu tergantung pada pelanggan. Meladeni dengan hati, bahasa yang halus dan sopan. Selain itu, penjual harus pandai mencari dan mengikat hati pelanggan.
Budi Mulia Pedagang
Fitri Silvia Sofyan menyampaikan bab ke-7 Lembaga Budi terkait Budi yang Mulia pada Pedagang. Buya Hamka menekankan secara khusus terkait profesi pedagang karena siapa pun bisa menjadi pedagang, termasuk tokoh-tokoh Islam bahkan Rasulullah adalah seorang pedagang.
Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimana sifat sifat mulia pada pedagang. Pertama, jangan suka berspekulasi. Hal ini sama dengan menimbun barang. Agama Islam sangatlah melarang spekulasi. Perbuatan itu dinamakan “ihtikaar”, orangnya disebut Muhtakir. Satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa saja mengikhtiarkan barang makanan sampai empat puluh hari, terlepas orang itu dari tanggungan Allah dan Allah pun berlepas diri dari padanya.”
Kedua, tidak menggunakan uang palsu. Sangatlah besar kesalahan seseorang yang menggunakan uang lancung (palsu). Rasulullah saw telah bersabda: “Menafkahkan satu dirham uang lancung, lebih besar dosanya daripada mencuri satu dirham”. Uang palsu adalah dosa besar yang berkesinambungan, selama uang palsu tersebut masih beredar.
Ketiga, tidak memuji barang secara berlebihan. Memuji barang secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kenyataan merupakan tindakan dusta/menipu. Jangan bersumpah menggunakan Allah SwT. Ketika bersumpah dilakukan untuk menutupi kebohongannya, maka sumpah bohong termasuk kategori tujuh dosa besar (Sab’il Mubiqat).
Keempat, tidak menyembunyikan barang yang cacat. Buruk cacatnya barang yang akan dijual tidak boleh disembunyikan. Dan jangan pula mencampurkan barang yang masih baik dan yang sudah buruk. Sabda Rasulullah: “Tidaklah halal seorang menjual barang jualannya, melainkan hendaklah dinyatakannya cacat barang itu dan tidaklah halal yang mengetahuinya melainkan supaya menjelaskannya.”
Kelima, jangan menimbang dengan curang. Hal ini tersurat dalam Al-Qur’an, “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari oang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.”
Keenam, menjelaskan harga pasar. Rasulullah sangat melarang perbuatan “Najasy”, artinya seorang pedagang meraih, menyembunyikan harga pasar, atau menyatakan harga di bawah dari harga yang sebenarnya.
Maka, dalam proses atau kegiatan berdagang harus sesuai anjuran Nabi saw dengan menerapkan berbagai prinsip dan sifat-sifat mulia tersebut. (Riz)