Menghidupkan Intelektualisme Generasi Muda melalui Literasi Media
Oleh: Riza A. Novanto, M.Pd
Makna literasi sejatinya bukan hanya sebatas mampu membaca dan menulis, akan tetapi dalam literasi pastinya akan melibatkan berbagai ilmu pengetahuan baik pengetahuan yang bersifat kognitif maupun yang bersifat kultural yakni kemampuan bahasa secara lisan dan tulisan. Perlu diketahui bahwa literasi dalam bahasa jawa sering kali disebut sebagai “melek”.
Sehingga kata “melek” selalu diikuti dengan kata berikutnya yang menggambarkan kecakapan pada aspek tertentu. Sebagai contoh seperti halnya melek informasi, melek teknologi dan lain sebagainya. Hal ini tentu bertujuan untuk membantu meningkatkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat dari berbagai informasi yang bermanfaat.
Lalu apa yang dimaksud dengan literasi media? Literasi media atau Media Literacy dalam Bahasa Indonesia sering dipandang dengan istilah “Melek Media”. James Potter, dalam bukunya “Media Literacy” (2005) mengatakan bahwa literasi media adalah sebuah perspektif yang digunakan secara aktif, ketika individu mengakses media dengan tujuan memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Secara teori media bertugas memberikan informasi yang benar, mendidik dengan pengetahuan, memberikan hiburan yang sehat dan sebagai kontrol sosial. Di masyarakat, ada yang benci program tayangan yang tidak manfaat tapi tetap ditonton.
Tujuan literasi media tentu dalam rangka meningkatkan kehidupan dan memperbaiki kehidupan individu yang sebagian besar diterpa oleh berbagai macam informasi. Literasi media juga membuat seseorang dapat lebih berpikir kritis dan mampu mengembangkan penilaian yang independen tentang isi media. Selain itu, individu-individu yang melek media seharusnya dapat memproduksi pesan-pesan yang bermanfaat bukan malah sebaliknya, menjadi penyokong informasi yang bersifat profokatif bahkan hoax.
Masyarakat kita saat ini belum mengerti sepenuhnya soal rating. Sehingga ketika ada tayangan TV atau berita di website yang mereka benci mati-matian karena tidak bermanfaat, namun kebencian itu tidak membuat mereka untuk mematikan TV dan justru menyebarluaskannya. Mungkin ini yang disebut benci tapi rindu, sehingga disinilah peran anak muda untuk menjadi agen literasi media ditengah masyarakat sehingga mampu menghidupkan intelektualisme yang nyata.
Pada era digigal saat ini, media sosial sudah menjadi primadona bagi seluruh elemen masyarakat terkhususnya anak muda. Berdasarkan temuan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, sebanyak 143,26 juta dari total 262 juta orang Indonesia bisa mengkases Internet. Dari 143,26 juta pengguna Internet tersebut, 49,25% di antaranya adalah orang muda. (IDNTimes, 21 Februari 2018).
Dengan demikian media sosial telah menjadi alat utama yang digunakan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Hal ini disebabkan karena kemudahan dalam penggunaannya dan waktu yang dibutuhkan singkat. Konsekuensinya, informasi yang dibagikan bertumpah ruah dan sering kali melanggar batas-batas etika, moral, kultur masyarakat, hingga menimbulkan konflik. Baru-baru ini juga masih hangat dibicarakan bahwa orang Indonesia masuk kategori negara yang masayarakatnya malas jalan kaki, hal ini tentu disebabkan karena mereka sudah terbiasa menggunakan teknologi yang semakin maju. Malas membeli makan langsung order delivery, membeli pakainya, membeli keperluan pribadi, membeli tas, dan lainnya serba mudah, bisa bayar di rumah.
Upaya Menghidupkan Intelektualisme
Anak muda yang masih memiliki idealisme tinggi tentu punya peran lebih dalam menghidupkan intelektualisme. Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, Sebagai Agent of Change, Mengedukasi Masyarakat. Anak muda selalu diidentikkan dengan Agent of Change,sehingga tidak menutup kemungkinan mampu mengedukasi masyarakat dan tentunya bisa menjadi contoh. Kedua, Sebagai Agent of Social Control. Selain mengedukasi tentu perlu diiringi dengan mengontrol dan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ketiga, sebagai calon pemimpin. Pembuat kebijakan yang efektif.
Sebagai anak muda harus bisa menghidupkan budaya literasi baik literasi media, maupun literasi dalam bentuk budaya menulis dan berdiskusi, apalagi jika aktif di organisasi, perkumpulan, komunitas tentu sudah seharusnya lebih pro aktif sebab sudah ada wadah yang jelas. Hal tersebut bertujuan agar mengembalikan eksistensi budaya kritis pada generasi muda.
Bentuk eksistensi itu tidak hanya sebatas aktif di organisasi kepemudaan melainkan ikut andil dalam menghidupkan intelektualisme. Melalui organisasi, perkumpulan, komunitas maka budaya menulis dan berdiskusi menjadi ciri gerakan anak muda yang notabane masih berfikir idealis. Sehingga organisasi, perkumpulan, komunitas tidak hanya dibentuk untuk eksistensi semata namun dijadikan sebagai tempat untuk berkarya dan memperkaya narasi kebenaran sebagai bentuk implementasi literasi media.
Kehadiran media sosial sejatinya tidak hanya berdampak negartif. Akibat penyebaran informasi yang begitu cepat tanpa adanya penyaringan, menjadikan media sosial begitu berbahaya. Maka dari itu, perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan agar media sosial memberikan dampak positif, salah satunya melalui pengembangan literasi media. Sebagai generasi penerus, anak muda memiliki peran yang krusial dalam meningkatkan literasi media. Anak muda harus bisa menjadi garda terdepan dalam mengkampanyekan literasi media, baik berperan sebagai agen perubahan, agen kontrol sosial, maupun pemimpin masa depan.
Riza A. Novanto, M.Pd, Pengamat Media, Kader Pemuda Muhammadiyah Kab. Tegal