Amanat dan Pemenang
Sebutan pemenang tidak selamanya hanya disandang bagi mereka yang terlihat menjadi yang terbaik. Yang bisa mengalahkan seluruh pesaingnya. Namun, pemenang yang sejati adalah mereka yang memegang dan menunaikan amanat serta kepercayaan yang telah dia terima.
Konon, pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar Bin Khattab bertemu dengan seorang remaja yang sedang menggembalakan ratusan ekor domba. Remaja itu seorang budak, dan semua domba itu milik tuannya.
Singkat kata, Umar mencoba menggoda anak itu untuk menjual seekor saja dari domba yang dia gembalakan itu. Seraya memberi sekian alasan kalau hal itu aman untuk dilakukan. Pemilik domba tidak bakal tahu ataupun menaruh perhatian kalau dombanya berkurang. Hanya satu ekor di antara ratusan domba, tidak bakal kelihatan.
Andaikan ketahuan, ribuan alasan dapat disusun secara masuk akal untuk memakluminya. Terpisah dari rombongan, diserang serigala, jatuh dari gunung, mati, atau apapun. Semua alasan itu masuk akal sehat dan pasti dapat diterima.
Namun, budak gembala itu tetap tidak tergiur. Dia menjawab, ada Allah yang melilhat dan mengetahui semuanya. Tidak ada yang dapat disembunyikan dari pengetahuan Allah.
Jawaban itu sangat melegakan Umar. Seorang budak yang masih remaja mempunyai kesadaran seperti itu. Meski seorang budak dia menolak untuk menjadi seorang pengkhianat. Dia sudah diberi amanat untuk menggembala kambing, maka dia merasa wajib menjaga keselamatan dan keamanan seluruh kambing itu dari apapun. Apalagi dari dirinya sendiri yang telah menyanggupi untuk memikul amanat itu.
Dalam satu riwayat disebutkan Umar kemudian menebus dan memerdekakan anak remaja itu serta memberinya modal beberapa ekor domba untuk bekal kemandirianya sebagai orang yang hidup merdeka. Keteguhan budak remaja dalam menjaga amanat yang diemban, mengantarkan dirinya menjadi seorang pemenang.
Kisah ini mirip dengan apa yang dilakukan, John Stephen Akhwari menjadi atlet maraton 42,195 kilometer paling terkenal di dunia. Pada Olimpiade 1968 di Meksiko. Bukan karena dia berhasil menjadi yang tercepat menyentuh garis finish. Namun sebaliknya. Karena dia menjadi peserta paling akhir yang berhasil menyentuh garis finish.
Dia mengalami kram, pada kilometer ke-19 tertabrak sejumlah peserta lain. Akhwari terjatuh dan cedera lumayan berat. Sendi lututnya tergeser dan bahunya terasa nyeri luar biasa. Namun dia tidak menyerah. Dia kembali meneruskan lomba dengan lutut diikat perban.
Waktu itu pelari Mamo Wolde, pelari dari Etiopia, menjadi pemenang pertama dengan waktu 2 jam, 20 menit, 26 detik. Akhwari mencatat waktu 3 jam, 25 menit, 27 detik untuk mencapai finis. Berpaut satu jam lebih. Selisih waktu yang tidak lazim dalam kompetisi sekelas olimpiade.
Mengapa Akhwari ngotot meneruskan lari meski kondisi fisiknya serta selisih waktu yang sudah tidak memungkinkan untuk bersaing sebagai peraih medali? Jawaban Akhwari adalah, ”Negaraku tidak mengirimku terbang 10.000 mil jauhnya hanya untuk memulai lomba. Mereka mengirim saya untuk menyelesaikan lomba.”
Amanat itulah yang menjadi landasan pelari itu untuk terus berjuang menyelesaikan ayunan kakinya. Saat pelari yang lain memilih menyerah untuk menuntaskan pertandingan, dia terus berlari. Walau dia menjadi pelari paling akhir, sejarah mencatatnya sebagai pelari paling terkenal saat itu.
Bagamana dengan kita? Apakah akan memilih terus menjaga amanat yang diamanahkan di pundak kita atau akan mengkhianatinya dengan beragam dalih dan dalil yang tampaknya sesuai akal sehat namun sesungguhnya mengingkari nurani kita sendiri? (isma)
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2019