Menitipkan Anak ke Pesantren Muhammadiyah

Menitipkan Anak ke Pesantren Muhammadiyah

Menitipkan Anak ke Pesantren Muhammadiyah

Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k, M.A

Tepatnya tahun 1997, saya mengikuti tes penerimaan pondok pesantren di Yogyakarta. Pondok pesantren yang didirikan pada tahun 1918. Singkat cerita, setelah melalui beberapa tahapan tes akhirnya diterima sebagai santri baru pada lembaga yang langsung berada di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Masih segar dalam ingatan saat tes tulis saya duduk berdampingan dengan salah seorang calon santri yang berasal dari Surabaya. Alhamdulillah hingga saat ini masih berkomunikasi baik dengannya.

Setelah diterima, wakil mudir bidang kepondokan memperkenankan untuk kembali ke rumah masing-masing dikarenakan kegiatan santri baru akan dimulai seminggu setelah pengumuman penerimaan. Dalam hati berkata, “Yes, pulang lagi”. Sebagai lulusan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah pastinya sangat berat harus berpisah dengan kedua orang tua dengan jarak tempuh lebih dari 500 kilometer. Jika jalan darat dengan kereta api kurang lebih tujuh hingga delapan jam dan lebih dari dua belas jam dengan roda empat dikala itu.

Setelah satu minggu berakhir, tibalah saatnya bersiap keberangkatan. Persiapan keberangkatan sudah dipersiapkan secara bertahap beberapa hari sebelumnya. Ibu menyiapkan segala kebutuhan selama tinggal di pondok. Keberangkatan dilaksanakan sore hari dari rumah menuju stasiun Gambir Jakarta. Kereta menuju Yogyakarta tertera dalam tiket akan berangkat diantara pukul 21 WIB dan akan tiba di Yogyakarta pada empat atau lima subuh.

Tak mudah seorang anak usia dua belas tahun berpisah dengan orang tuanya dengan waktu yang lama. Saat kereta mulai bergerak mata berkaca-kaca, jantung berdebar, dan tangan gemetar. Namun agar dianggap tegar dan dewasa saya berusaha menahannya tangisan tidak pecah tersedu-sedu hingga lambaian tangan kedua orang tua hilang dari pandangan.

Ahad, 17 Juli 2022, pukul 15.46, perasaan dua puluh lima tahun yang lalu tersebut kembali terasa. Jikalau dahulu adalah perasaan sebagai seorang anak, hari ini sebagai seorang ayah. Seorang ayah yang harus melepaskan putra pertamanya berpisah demi masa depan dunia dan pasca dunia yang lebih baik. Selain merasakan beratnya perpisahan, diri ini mencoba membayangkan perasaan anaknya yang meninggalkan dirinya. Namun nampaknya anaknya lebih kuat dibandingkan dengan ayahnya kala itu.

Kuat dan tegarnya terbukti saat bersalaman, saat berpelukan, saat berjalan meninggalkan kami, saat melihat foto-fotonya di malam pertama yang dikirimkan musyrif, dia nampak telah menyesuaikan diri. Sedangkan saya dahulu, ketika hari pertama, saya menangis sejadi-jadinya. Malamnya masih meneteskan air mata saat membuka bekal makanan yang disiapkan oleh ibu dari rumah. Setelah beberapa bulan, setiap kali dikunjungi dan ditinggalkan pulang orang tua mesti kembali bersedih.

Di tengah perasaan yang demikian, saya mencoba menguatkan diri sendiri sembari mengingat kembali nasehat saya yang berulang-ulang saya sampaikan kepadanya bahwa, “ciri manusia sukses hukumnya wajib berhijrah dari kampung halaman”, “perpisahan ini tak seberapa jika dibandingkan perpisahan Nabi Ibrahim as dengan istri dan putra tercintanya yang baru dilahirkan”, “perpisahan ini tak seberapa jika dibandingkan dengan perpisahan Nabi Muhammad Saw dengan kedua orang tuanya, orang-orang yang ia cintai, dan hijrah dari Mekkah ke Madinah”.

Ditambah lagi dikuatkan dengan tokoh-tokoh hebat Muhammadiyah seperti Kyai Dahlan yang hijrah ke Haramain, Buya Hamka yang hijrah dari tanah kelahirannya Padang lalu berangkat ke tanah Jawa, Kyai Haji mas Mansyur yang hijrah dari Jawa Timur ke Al-Azhar Mesir, Kyai Haji Azhar Basyir dari Yogyakarta hijrah ke Al-Azhar Mesir, Prof. Amien Rais dari Yogyakarta hijrah ke Al-Azhar dan Amerika, Prof Din Syamsuddin dari NTB ke Jakarta lalu ke Amerika, Buya Prof. Syafi’i Ma’arif dari Sumpur Kudus Sumatera Barat ke Yogyakarta hingga Amerika, Prof. Haedar Nashir dari Jawa Barat ke Yogyakarta, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lain.

Hal-hal tersebut meredakan dan mengalihkan kesedihan sekaligus menjadi semangat yang menguatkan berdampak pada kuatnya dia yang ditinggalkan. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, apalagi dengan maksud menjalankan perintah agama, akan mengantarkan pada kemudahan jalan, keberkahan, dan imbalan diangkatnya derajat kehormatan di hadapan penduduk bumi dan langit.

Perpisahan juga menjadi sarana pembelajaran. Belajar bahwa dia bukanlah milik diri ini, tapi milik sang Maha Pemilik (Malik). Begitu juga diri ini, bukanlah miliknya, namun milik Allah SWT. Selain itu, dengan hijrah pengetahuan menjadi luas. Paling tidak pengetahuan sosial dan budaya bertambah dari teman yang berbeda, lingkungan berbeda, dan tantangan yang berbeda. Apalagi hijrahnya bertujuan menuntut ilmu yang bercita-cita menjadi ulama yang intelek, dan intelek yang ulama.

Semoga perpisahan ini adalah jalan kemaslahatan kehidupan dunia yang mengantarkan pada keselamatan akhirat. Sejak dia dilahirkan tanggal 19 Maret 2010 lalu, saya dan ibunya menitipkan doa yang tertera pada namanya “Faqih Taqiyul Feiza”. Kedalaman pemahaman agama dan keluasan ilmu pengetahuan sebagai pondasi melahirkan amal sholeh adalah buah ketakwaan dalam menggapai kemuliaan. Allahumma Faqihu fi Din, wa ‘alimhu ta’wil.

Jadilah dirimu sebagai generasi dalam naungan al-Hanifiyah Samhah yang melanjutkan dakwah tauhid dari ayahnya para nabi (Ibrahim AS) sekaligus menjadi pencegah generasi  Amr bin Luhayyi bin Qam’ah yang menjadi penyembah berhala pertama sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw dari Abu Hurairah sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, dalam Sirah Nabawiyah (2007).

Kami yakin, bahwa dirimu adalah orang hebat dengan kemampuan dan ketaatan melampaui kami. Tancapkan tekadmu yang dalam bahwa kelak kau akan menjadi sukses dengan awal perjuangan melalui pesantren MBS Yogyakarta. Selamat berjuang nak, dirimu adalah anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada kami. Kami akan selalu mendoakanmu dan menitipkan dirimu kepada Allah SWT. Perdalamlah ilmu agama dan perluaslah dengan lintas disiplin ilmu yang lain.

Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k, M.A, Tenaga Pendidik SMA Muhammadiyah 4 Depok, MTT PDM Depok

Exit mobile version