Menyelamatkan Nalar Pemilih dari Hoaks
Oleh: Agusliadi Massere
Tahapan pemilu, kini telah berlangsung kurang lebih satu bulan lamanya sejak diluncurkannya pada tanggal 14 Juni 2022. Pemilu serentak tahun 2024 nanti, ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2024. Selain itu, disepakati bahwa tahapan pemilu dimulai dua puluh bulan sebelum hari Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Satu dari tiga stakeholders dalam pelaksanaan Pemilu yang dikategorikan sebagai yang utama adalah “Pemilih”. Dua yang lainnya adalah penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, “Pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin”. Namun, dalam peraturan perundang-undangan yang sama dikecualikan bagi warga negara yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam konsep negara demokrasi, yang pada substansinya mengedepankan kedaulatan rakyat, pemilih memiliki posisi dan peran strategis, khususnya dalam pelaksanaan Pemilu sebagai salah satu pilar utamanya. Saking pentingnya, dalam tagline yang berorientasi dan mengandung prinsip dan spirit—sebagaimana bisa sering dibaca dalam setiap spanduk dan/atau pamflet KPU—ditegaskan “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”. Artinya, jika ingin negara ini kuat, kata kunci utamanya adalah “Pemilih Berdaulat”.
Pada beberapa tulisan-tulisan saya sebelumnya, bisa ditemukan seperti apa makna progresif, artikulasi dan kristalisasi daripada prinsip pemilih berdaulat itu. Dan pemilih berdaulat pun, bisa dimaknai sebagai derivasi dari pemaknaan “Kedaulatan rakyat”. Satu contoh pemaknaan operasionalnya, jika dalam diri seseorang telah tertanam kuat prinsip “Pemilih Berdaulat”, bisa dipastikan dirinya akan mengedepankan kecerdasan dalam memilih, menolak politik uang, dan bahkan proaktif berperan serta menyukseskan pemilu, tanpa kecuali dalam memperjuangkan hak konstitusionalnya sebagai pemilih.
Seseorang yang menyadari konsepsi, artikulasi dan kristalisasi daripada “Kedaulatan Rakyat” dan “Pemilih Berdaulat” maka bisa dipastikan dirinya tidak akan pernah memilih jalan “golput”. Mengapa? Salah satu alasannya, Indonesia ibarat kapal-kebangsaan, dirinyalah (baca: rakyat dan/atau pemilih) pemilik dan termasuk menjadi bagian di dalam kapal tersebut. Kapan kapalnya oleng, tenggelam atau salah arah, maka konsekuensi logisnya akan ikut dirasakan.
Menjadi pemilih yang cerdas, ideal, dan proaktif—jika peran dan atribusi terhadap dirinya atau mereka disederhanakan cukup dengan tiga hal ini saja—sangat ditentukan oleh nalarnya. Nalar bisa menjadi elan vital dalam kehidupan.
Gordom Graham, sebagaimana yang saya pahami dari buku karyanya Teori-Teori Etika (2015) menjelaskan, bahwa “Para filsuf mengelaborasi perbedaan antara nalar teoritis (theoretical reason) dan nalar praktis (practical reason). Graham lanjut menegaskan, bahwa perbedaan tersebut pada dasarnya menyoal perbedaan antara nalar yang mengarahkan anda/seseorang pada hal/sesuatu yang harus dipikirkan atau diyakini, dan nalar yang mengarahkan pada hal yang harus dilakukan.
Lebih dalam bisa kita pahami, ketika menyelami dan mengelaborasi perspektif David Hume dan Kant, sebagaimana dikutip oleh Graham. Nalar sesungguhnya memiliki relasi dengan hasrat. Dengan nalar yang baik (kita sebut saja seperti itu) maka akan mampu memandu dan mengendalikan keinginan dengan menghadirkan prinsip tindakan, di mana hasrat itu sendiri akan dinilai.
Nalar yang baik, akan mampu untuk senantiasa menyentuh jantung moralitas dan mampu menjadi salah satu dasar pertimbangan yang lebih diutamakan daripada pertimbangan lainnya. Ilustrasi sederhananya yang relevan dengan konteks pemilu, pemilih akan senantiasa menjadikan moralitas dan/atau indikator masa depan bangsa dan negara yang lebih baik—salah satu contoh saja—sebagai dasar pertimbangan utama, dibandingkan kepentingan lainnya seperti “nilai rupiah” sebagai bagian dari politik uang.
Gambaran sederhana lainnya, terkait nalar secara umum adalah sesuatu yang memengaruhi doing (apa yang dilakukan), meaning (bagaimana memaknai sesuatu), relating (dengan siapa dan bagaimana membangun relasi), thinking (apa yang harus dipikirkan dan bagaimana cara memikirkannnya), dan being (bagaimana dan seperti apa proses menjadi sesuatu).
Memiliki nalar yang baik, positif, produktif, dan kontributif di tengah kehidupan yang disebut era digital atau oleh Yasraf Amir Piliang menyebutnya era pascaindustri, bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang menggerogoti dan/atau meracuninya sehingga itu bisa dikatakan sulit untuk dimiliki. Satu yang paling terasa, dan sangat menggerogoti nalar tanpa kecuali nalar pemilih adalah hoax (berita bohong). Dan hoax ini, tanpa kecuali mengganggu proses pelaksanaan setiap tahapan pemilu, terutama jika bercermin dari dinamika pelaksanaan pemilu pada tahun 2019 yang lalu.
Sampai satu bulan terakhir, dan bahkan tiga hari yang lalu sebelum saya menuliskan tulisan ini, masih saja ada seseorang yang mengomentari tulisan saya yang judulnya “Filosofi Burung Pipit dan Kesuksesan Pemilu”. Komentarnya di salah satu group facebook di mana tulisan tersebut, saya share yaitu “Asal jangan pakai kardus terus digembok”.
Hal atau komentar seperti itu, saya tidak ingin melewatkannya begitu saja tanpa memberikan respon balik, karena jika ini dibiarkan bisa memengaruhi nalar dan bahkan bisa dipandang sebagai sebuah fakta atau jelas kebenarannya. Saya mengomentarinya dengan “…(saya menyebut nama akunnya) Pemilu 2019, kami tidak menggembok kardus, kami menggunakan kabel ties namanya. Bisa ditanyakan kepada yang datang memilih ke TPS, apakah ada yang pakai gembok, kecuali foto-foto hoax yang tersebar”. Jika pun ini dimaknai “kardus” tetapi bukan bahan biasa seperti tempat indomie, melainkan karton kedap air yang kuat.
Komentar tersebut, tentunya masih merupakan bibit-bibit hoax pada saat Pemilu tahun 2019 yang lalu. Dan bagi saya, mereka yang berpandangan seperti itu berarti hoax telah meracuni nalarnya, karena pada dasarnya tidak ada yang seperti itu. Ada banyak informasi yang dikategorikan hoax yang mengiringi tahapan pemilu 2019 yang lalu. Selain itu termasuk narasi-narasi yang bisa dinilai menodai nalar para pemilih, sehingga bersikap apatis dalam penyelenggaraan pemilu.
Hoax, jika memperhatikan kategori gangguan informasi masuk dalam kategori disinformasi (dis-information). Disinformasi adalah informasi yang salah dan sengaja dibuat untuk menyakiti seseorang, kelompok sosial, organisasi atau negara. Dan saya yakin sahabat pembaca tulisan saya, telah seringkali merasakan, melihat dan/atau mendengar dampak buruk daripada hoax.
Pada era digital ini, hoax menemukan ruang produksi dan reproduksi yang sangat subur. Inilah pula yang menyebabkan lahirnya post truth (pasca kebenaran), karena salah satunya ditandai dengan hoax terus diproduksi dan direproduksi untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik.
Mengapa era digital dipandang sebagai ruang produksi dan reproduksi yang sangat subur bagi hoax? Ada sejumlah alasan, meskipun dalam tulisan ini hanya beberapa saja: Pertama, Era digital, sebagaimana perspektif Yasraf, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Sehingga menyebarkan hoax pun tidak perlu lagi menggunakan model gosip ala tradisi lama, dengan keliling cerita dari rumah ke rumah. Di meja makan atau di kamar mandi pun, dengan perangkat digital dalam genggaman, melalui sentuhan beberapa jari, seketika hoax bisa diproduksi, disebar dan/atau direproduksi.
Kedua, pada era digital ini, manusia mengalami transformasi kehidupan, dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Pada masa kehidupan ekspansif, setiap informasi yang didengar dan/atau dibaca tidak serta merta dipercayai apalagi disebar. Namun, terlebih dahulu mencari tahu sumber kebenarannya. Kini, dalam situasi yang disebut kehidupan inersia, setiap informasi tanpa diawali check and recheck langsung disebar, apalagi jika memang sudah viral. Jadi pengertian sederhana lainnya, yang disebut kehidupan inersia adalah malas tabayyun.
Ketiga, ini lebih parah efeknya daripada yang pertama dan kedua di atas, adalah sebagaimana yang saya pahami dari Baudrillard (dalam Yasraf, 2011). Baudrillard menegaskan bahwa kini masyarakat telah sampai pada tahapan keempat dalam hal perkembangan nilai dalam masyarakat. Tahapan keempat itu disebut fraktal atau viral. Maksudnya,—sebagaimana saya interpretasi ulang dalam bahasa sederhana—bahwa kini masyarakat telah kehilangan titik referensi, kebenaran atau sesuatu yang dipercayainya sebagai suatu kebenaran, adalah berdasarkan apa yang viral. Jika sesuatu sudah viral maka itu dipercayainya sebagai kebenaran. Terkait tesis Baudrillard ini, saya banyak menemuakan ruang konfirmatifnya dalam pan demi Covid-19.
Ketiga kondisi di atas lebih diperparah lagi dengan tingkat literasi masyarakat yang masih sangat rendah, tanpa kecuali literasi digitalnya. Dan kondisi ini sangat paradoks dengan semangat yang sangat tinggi dalam penggunaan teknologi digital termasuk dalam hal pemanfaatan media sosial. Data pengguna internet di Indonesia termasuk media sosial, sangat tinggi.
Minimal relasi dan relevansi antara pandangan Baudrillard di atas dengan tingkat literasi digital yang rendah, itu menjadi peluang sehingga opini dan informasi yang bersifat hoax pun akan mampu memengaruhi nalar publik tanpa kecuali nalar pemilih. Dan relevan dengan pandangan Baudrillard, saya teringat dengan satu adagium, meskipun lupa sumbernya “kebohongan sekalipun jika terus menerus dipublikasikan akan dinilai sebagai suatu kebenaran”.
Khususnya bagi kami atau kita selaku penyelenggara pemilu, dalam upaya menyelematkan nalar pemilih dari hoax maka perlu memaksimalkan penggunaan media sosial dengan konten-konten yang mencerdaskan dan mencerahkan. Tidak tinggal diam, menghadapi hoax terutama yang relevan dengan pelaksanaan tahapan pemilu.
Selain itu KPU telah menempuh berbagai upaya dalam rangka memaksimalkan peran teknologi digital dalam menyukseskan pemilu, dengan membangun kerjasama dengan instansi terkait, seperti pihak Kominfo, dan pihak Facebook Indonesia. Bahkan berdasarkan hasil pertemuan pimpinan KPU RI dengan Kominfo, akan diupayakan pengerahan cyber drone atau alat yang dapat memantau ruang digital dan membersihkan ruang digital dari hoax.
Selain, langkah-langkah teknis yang berbasis kerjasama dan pemanfaatan teknologi digital secara maksimal, kami selaku penyelenggara pemilu melalui kader Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) melalui kegiatan pembekalan yang dilakukan, khususnya pada desa yang menjadi lokus, ada pemberian dan pendalaman materi Teknik dan Metode Identifikasi Berita Bohong (Hoaks). Termasuk ada lainnya, yang pada dasarnya memberikan penguatan literasi terkait pemilu, demokrasi, serta pemahaman yang harus dimiliki, tanpa kecuali upaya penyadarannya.
Selain kondisi dan pandangan-pandangan di atas, apalagi sebagaimana diungkapkan oleh Anwar Abugaza dalam bukunya Social Media Politica bahwa Evgeny Morozov Geliat dalam bukunya The Net Delusion pernah memperkenalkan paham cyberut opianism. Sebuah paham yang menyakini teknologi dan internet mampu mengubah dunia. Dan menurut Anwar, ini telah terbukti dan telah mengubah hidup bangsa-bangsa Timur Tengah. Oleh karena itu, perang melawan hoax khususnya dalam pelaksanaan Pemilu, bukan hanya menjadi tanggungjawab dan diperankan oleh penyelenggara pemilu, tetapi termasuk bagi masyarakat secara umum dan pemilih secara khusus.
Pemilih harus pula meningkatkan literasi digitalnya untuk berperan aktif dalam menyukseskan pemilu, minimal dengan ikut serta melawan hoax. Selain itu melalui literasi harus mampu meningkatkan dan memperkuat nalar kebangsaannya, minimal memahami dan menyadari dengan baik makna progresif dan operasional daripada “kedaulatan rakyat” dan “pemilih berdaulat”.
Mari bersama-sama melawan hoax untuk mewujudkan Pemilu yang berintegritas dan berkualitas.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023