Modernisme Islam dan Kelahiran Aisyiyah

Modernisme Islam dan Kelahiran Aisyiyah

Judul               : Posisi dan Jatidiri Aisyiyah: Perubahan dan Perkembangan 1917-1998

Penulis             : Ro’fah PhD

Penerjemah      : Aditya Pratama

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Cetakan           : I, 2016

Tebal, ukuran  : xx + 140 hlm, 14 x 21 cm

ISBN               : 978-602-6268-01-3

 

Kajian akademik tentang gerakan perempuan di Indonesia dimulai sejak 1960 dengan terbitnya karya Cora Vreede-de Stuers, The Indonesian Woman: Struggles and Achievement. Penelitian selanjutnya melibatkan Sukanti Suryochondro (1984), Julia I Suryakusuma (1987), Nurlena Rifai (1993), Saskia Wieringa (1995), Juline Doom-McCormack (1998). Umumnya melihat kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional Indonesia dan pertumbuhannya di masa kolonial dan pascakolonial, serta ekspresi dan partisipasi politik perempuan. Berbagai penelitian tersebut belum memberi perhatian pada organisasi perempuan muslim, yang dianggap hanya menempel pada organisasi laki-laki yang menjadi induknya.

Di sisi lain, kajian tentang Muhammadiyah hanya mengurai sekilas tentang peranan sayap organisasi perempuannya. Dari fakta itu, buku Ro’fah ini mewakili kajian awal tentang Aisyiyah sebagai lembaga perempuan yang mandiri yang punya peran besar di Indonesia. Karya dalam ranah sejarah sosial ini berasal dari tesis di Universitas McGill, Kanada tahun 2000, berjudul “A Study of Aisyiyah: an Indonesian Woman Organization (1917-1998)”.

Ro’fah menunjukkan bahwa tren modernisme Islam dan pergerakan perempuan punya pertautan erat. Kedua tren itu juga berkorelasi dengan gagasan nasionalisme. Akar ini memberi pemahaman penting dalam melacak awal mula kelahiran Aisyiyah. Muhammadiyah sebagai organisasi modernis punya perhatian besar pada pemberdayaan perempuan, yang membedakannya dengan paham salafiyah. Pandangan tentang posisi dan peranan perempuan dalam Islam ini mempengaruhi perilaku organisasi dalam menempatkan kaum perempuan di ranah publik dan privat.

Gagasan pencerahan Eropa yang menguat pada akhir abad ke-19 juga mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mengubah kebijakannya, seperti kebijakan etis untuk menyelenggarakan pendidikan bagi pribumi. JH Abendanon hingga Snouck Hurgronje mendukung pendidikan etis dengan pendekatan elitis, yang menghasilkan elite Indonesia yang mahir dan kooperatif, serta mau bekerja sebagai pegawai sipil Belanda. Sejarah mencatat “kegagalan” kebijakan etis bagi Belanda. Kebijakan ini justru menjadi awal mula bangkitnya kesadaran baru kaum pribumi, termasuk di kalangan perempuan. Perempuan Indonesia yang tercerahkan kemudian mulai mendirikan sekolah secara mandiri. Dewi Sartika mendirikan Sekolah Keutamaan Istri (1904). Th van Deventer mendirikan Sekolah Kartini (1912).

Aisyiyah lahir pada 1917. Partisipasi Nyai Walidah dalam berbagai aktivitas Kiai Ahmad Dahlan ikut mendorong kesadaran tentang pentingnya peran perempuan dalam dakwah (QS At-Taubah: 71). Kiai Dahlan mendirikan beberapa kelompok pengajian khusus perempuan di Kauman, termasuk di antaranya adalah kelompok pengajian para buruh perempuan yang bekerja di industri batik Kauman. Kelompok itu dikenal dengan nama Sopo Tresno. Di bawah bimbingan Nyai Walidah, Kiai Dahlan, dan Kiai Mochtar, dipilih 9 anak perempuan dari sekolah putri Kiai Dahlan untuk mengelola Aisyiyah dengan diberi tanggung jawab dalam struktur organisasi. Pemilihan nama Aisyiyah (yang melekat pada Aisyah, istri Nabi) sebagai nama organisasi juga mencerminkan cita-cita melahirkan perempuan cerdas, mandiri, dan aktif di ranah sosial. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version