MEDAN, Suara Muhammadiyah – Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara menggelar acara Seminar Nasional dengan tajuk “Dinamika Tahun-tahun Politik Indonesia Menuju Suksesi 2024”, di GPH Medan, Jum’at (22/7).
Acara yang dirangkai dengan kegiatan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) LHKP PWM Sumut ini dihadiri Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MPd dan dibuka langsung oleh Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi.
Tampak juga hadir dalam acara ini Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Prof Dr Agussani MAP, Ketum Kornas FOKAL IMM Armin Gultom, serta para utusan dari PDM seluruh Sumatera Utara dan Ketua Ortom Muhammadiyah tingkat wilayah.
Mengawali acara, Buya Rafdinal SSos MAP membacakan sebuah narasi pembuka berupa “Dalil-dalil Naqli tentang Kepemimpinan dan Politik dalam Islam” yang merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Acara dilanjutkan penyampaiaan prolog oleh Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut, Shohibul Anshor Siregar. Dalam orasinya Shohib mengungkapkan landasan pemikiran diselenggarakannya kegiatan Seminar Nasional dan Rakorwil ini.
Dalam paparannya, dosen FISIP UMSU ini mengatakan bahwa potret konsolidasi demokrasi di Indonesia sangat bobrok. Menurutnya hal itu tidak terlepas dari pengaruh negara dan lembaga asing yang turut mendesainnya.
Dikatakannya, negara dan lembaga asing yang jadi donor untuk advokasi demokrasi kita itu lebih mengutamakan apa yang disebut dengan kelembagaan demokrasi, sedangkan substansi dari demokrasi itu sendiri agak diabaikan.
“Begitu juga dengan partisipasi politik warga terkesan agak dibelakangkan. Artinya, formalisasi demokrasi dulu baru kemudian diharapkan kelak bisa menuju substansi,” jelasnya.
Sebagai contoh misalnya, kata Shohib, adanya Pemilu yang rutin dilaksanakan. Menurutnya, pelaksanaan Pemilu seringkali dipertanyakan apakah sudah berjalan secara demokratis atau tidak.
Selain itu, Shohib juga menilai sistem demokrasi perwakilan yang sekarang berlaku di Indonesia berwajah sentralistik dan oligarkis. Akibatnya peran para anggota DPR dan DPD yang duduk di Senayan tidak efektif dalam rangka memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah yang mereka wakili.
Perombakan Legal Framework
Kedepan, Shohibul menyarankan agar dilakukan perombakan legal framework politik dan demokrasi di Indonesia sehingga lebih substantif dengan ukuran standar rujukannya Pancasila dan Pembukaan/Batang Tubuh UUD 45. Artinya, Pancasila dan UUD 45 harus dilihat dan dipahami sebagai satu dokumen yang selaras dengan aturan-aturan di bawahnya.
“Perombakan radikal atas legalframework sistem demokrasi, politik dan pemilu Indonesia penting dilakukan sebagai tawaran untuk ikhtiar perbaikan,” kata Shohib.Untuk melakukan ikhtiar perombakan legal framework politik dan demokrasi di Indonesia itu, Shohib menawarkan beberapa syarat.
Pertama, Ormas yang menjadi jihadis Indonesia yang telah berjuang bahkan sebelum Indonesia ada, diberi jatah kursi proporsional sesuai kuota berdasarkan jumlah warga (penduduk) tanpa pemilu.
“Dengan begitu, ormas mengontrol anggota legislatif utusannya dan ketika terjadi penyimpangan langsung dapat diganti. Ada yang bilang, ini hanya akan memindahkan ketidak beresan politik di parpol ke ormas. Tuduhan itu tidak benar,” tegas Shohibul.
Kedua, ormas jihadis itu diberi hak untuk mengajukan sendiri calon-calonnya untuk konstestasi politik eksekutif semua tingkatan. Terserah kepada ormas akan menggunakannya atau berkoalisi dengan kekuatan lain (parpol).
“Ini secara radikal akan merombak motivasi dan tradisi serta kultur pemerintahan yang keperduliannya kepada rakyat dapat saja diabaikan sebagaimana terjadi selama ini,” kata Shohib.
Shohib juga menegaskan, kritik atas format demokrasi tidaklah sesuatu yang diharamkan. Menurutnya, demokrasi tidak mesti mencopy-paste tradisi politik dan budaya politik dalam praktik negara-negara Barat yang memang terus memaksakan model mereka ke mana-mana.
“Mempertuhankan demokrasi ala Barat, sebagaimana kita saksikan selama ini, akan meniscayakan orang beriman menjadi kafir, karena rivalitas berbayar telah menjadi tradisi kuat,” pungkasnya.
Selain itu, Shohib juga menyoroti terkait keberadaan partai politik. Ia mengusulkan agar segera dibuat UU Pendanaan Parpol yang mengatur kewajiban negara melalui APBN untuk membiayai parpol Rp 1 triliun setiap partai setiap tahun.
“Cerdaskan rakyat agar ia tahu bahwa tidak masuk akal demokrasi bisa berkembang kalau partainya terus merampok meski tetap bermantel negarawan,” jelasnya.
Selanjutnya, kata Shohib, pastikan juga dibuat UU Pemilu yang kejurdilannya tidak sekadar dead metaphor (pameo mati) tetapi akuntable dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, dalam sambutannya mewakili PW Muhammadiyah Sumut, Rektor UMSU Prof Dr Agussani menuturkan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan Seminar Nasional dan Rakorwil LHKP PW Muhammadiyah Sumut.
“Kita mengapresiasi diselenggarakannya kegiatan yang sangat penting dan strategis ini. Mudah-mudah acara ini bisa menghasilkan rumusan yang mencerahkan bagi keluarga besar Muhammadiyah Sumatera Utara dalam menyongsong perhelatan suksesi 2024,” kata Agussani.
Peran Politik Kebangsaan Muhammadiyah
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MPd. Pada kesempatan tersebut Abdul Mu’ti menjelaskan secara gamblang dan panjang lebar tentang karakteristik politik kebangsaan Muhammadiyah.
Abdul Mu’ti menegaskan, pilihan politik Muhammadiyah adalah politik kebangsaan, bukan kepartaian. Politik dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan tata kelola pemerintahan dan kenegaraan.
“Peran politik kebangsaan yang dimainkan Muhammadiyah adalah sebagai punggawa dan penjaga moral bangsa,” jelasnyaDalam konteks ini, Muhammadiyah dapat mengambil tiga peran. Pertama, opinion maker. Muhammadiyah dapat memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan kenegaraan.
“Dengan kekuatan SDM dan kekayaan intelektualnya, Muhammadiyah aktif memberikan masukan kepada pemerintah, lembaga- lembaga negara, dan penyelenggara negara melalui opini media massa, kajian kebijakan, atau forumforum resmi,” sebutnya.
Kedua, political lobbist. Artinya, dengan posisinya yang netral, Muhammadiyah dapat melakukan komunikasi politik lintas partai dan menyampaikan aspirasi secara leluasa kepada semua kekuatan politik.
Ketiga, pressure group. Sejarah mencatat bagaimana Muhammadiyah melalui para tokoh dan kekuatan jaringannya tampil sebagai pressure group yang berpengaruh.
“Tekanan politik Muhammadiyah melalui Prof Amien Rais dengan gerakan reformasi memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Kemudian gerakan jihad konstitusi yang dimotori Prof Din pernah memaksa pemerintah menyusun undang-undang migas dan sumber daya air yang baru,” tuturnya.
Terakhir sambutan disampaikan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi sekaligus membuka secara resmi kegiatan ini.
Dalam sambutannya Edy Rahmayadi menuturkan, bahwa Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar di republik ini. Dikatakannya, Muhammadiyah sudah lahir didirikan KH Ahmad Dahlan sebelum republik ini merdeka.
“Itulah sebabnya wajar mengapa perang Muhammadiyah dalam konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini begitu vital dan strategis,” ujar Edy.
“Dan itu pulalah sebabnya saya merasa terhormat dan selalu hadir jika diundang menghadiri kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah,” imbuhnya. (Risfan/Syaifulh)