Literasi dan Nalar Kebangsaan: Penguatan Penyelenggara Pemilu
Oleh: Agusliadi Massere
Masih teringat dengan baik tiga tahun yang lalu, ketika menjelang tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu tahun 2019 dan kesibukan memberikan bimbingan teknis khususnya bagi Badan Penyelenggara Ad-Hoc (terutama bagi PPK dan PPS). Saya pribadi sering mengingatkan kepada seluruh jajaran sampai pada tingkat desa/kelurahan untuk memperkuat dan memaksimalkan diri dalam tiga dunia: dunia nyata, dunia maya, dan dunia gaib.
Dunia nyata, minimal maksudnya adalah penguatan dan pemahaman maksimal terkait hal teknis penyelenggaraan pemilu berdasarkan regulasi dan segala pedoman teknis yang menjadi pijakan formal. Tanpa kecuali relasi dengan berbagai stakeholders dalam rangka mendukung pelaksanaan pemilu yang berintegritas.
Dalam dunia maya, penyelenggara pemilu diharapkan mampu memahami urgensi, signifikansi dan implikasi pemanfaatan teknologi digital khusunya media sosial, baik dalam positioning sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, minimal penyelenggara pemilu mampu memberikan edukasi tentang demokrasi dan kepemiluan bagi netizen, termasuk menumbuhkan kesadaran pemilih untuk berpartisipasi aktif serta mampu menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Posisi penyelenggara pemilu sebagai objek di dunia maya akan senantiasa menjadi sasaran isu atau opini tanpa kecuali yang bersifat hoax (kebohongan), hate speech (ujaran kebencian), dan fake news (berita palsu). Dari hal tersebut, penyelenggara pemilu harus mampu memahami termasuk ada upaya meng-counter-nya.
Selain dua dunia yang telah diuraikan secara singkat di atas, saya pun menegaskan untuk memperkuat dan memaksimalkan diri dalam dunia gaib. Dunia gaib bukan berarti dunia hitam. Penekanan utama saya adalah memaksimalkan do’a kepada Allah memohon pertolongan dan perlindungan, terutama rido-Nya agar segala upaya dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu dan pemilihan bisa berjalan lancar, aman, damai, berkualitas dan berintegritas.
Terkait dunia gaib ini, adalah satu dimensi yang tidak bisa terlupakan. Apalagi ketika membaca tesis Hadi Saputra (sebagai salah satu persyaratannya mencapai gelar magister pada Program Studi Antropologi), The Existence of Spiritual Counselors at Local Politic Event In South Sulawesi (Eksistensi Penasihat Spiritual dalam Pentas Politik Lokal di Sulawesi Selatan). Kita akan menemukan satu fenomena, masih adanya praktik penasihat spiritual dalam pentas politik. Hadi Saputra (2015) menegaskan “Pranata politik modern yang mengagungkan pendekatan saintifik ternyata masih memberi ruang bagi hal-hal yang bersifat metafisika”.
Menyebut hal metafisika dalam pentas politik, saya pribadi tidak kaget. Sebelum membaca tesis tersebut, informasi dari beberapa orang yang bisa dipercaya bahkan pernah secara tidak sengaja mendapati satu hal yang bisa dimaknai menjadi bagian ritual sebagai tindak lanjut dari pesan penasihat spiritualnya.
Dan tentunya kita bisa memahami pula, di antaranya bisa saja ada yang berwujud sihir. Islam pun, minimal melalui QS. Al-Falaq [113] 1-5, menegaskan bahwa memang ada, apa yang dimaknai sebagai sihir atau penggunaan sihir. Jadi penyelenggara pemilu pun, harus membentengi diri dari hal tersebut dengan memaksimalkan do’a untuk memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah Swt. Saya pribadi tidak setuju untuk membentengi diri dengan pendekatan selain kepada Allah Swt.
Selain itu memaksimalkan apa yang saya maknai sebagai dunia gaib, adalah upaya menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang dilakukan tanpa kecuali dalam menjalankan amanah sebagai penyelenggara pemilu, bukan hanya menuntut pertanggungjawaban secara hierarkis kepada pimpinan. Kelak, pertanggungjawaban itu pula, akan dilakukan di hadapan Allah Swt di akhirat kelak.
Tiga dunia di atas dan relevansinya terhadap penguatan penyelenggara pemilu, pada dasarnya jika dianalogikan sebagai burung atau pun pesawat terbang, maka membutuhkan dua sayap. Penyelenggara pemilu membutuhkan “dua sayap” yang saling terintegrasi, saling menguatkan, menopang antara satu dengan yang lainnya. Kita semua memahami dalam kehidupan, bahwa baik bagi burung maupun pesawat jika ada satu sayapnya yang bermasalah, maka bisa dipastikan terjadi instabilitas. Burung atau pun pesawat itu tidak bisa lagi terbang, bahkan bisa saja seketika akan terjatuh.
Lalu apa yang saya maknai sebagai sayap dan apa relasinya dengan substansi tulisan ini, terutama pada diksi “literasi” dan “nalar kebangsaan” pada judul di atas? Sebelum menjawab hal ini, terlebih dahulu saya menyampaikan kepada pembaca bahwa judul di atas adalah judul materi yang diberikan kepada saya ketika Bawaslu Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten mengundang saya menjadi narasumber pada kegiatan DERAJAT (Derap Jum’at Sehat) pada tanggal 15 Oktober 2021 via zoom meeting.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama terkait prinsip penyelenggaraan pemilu, dan termasuk pasal (6) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelengga Pemilihan Umum, ada hal yang menjadi ruang relevansi. Pada pasal 6 tersebut ditegaskan tentang integritas dan profesionalitas, tanpa menafikan prinsip lain. Bahkan prinsip lain diklasifikasikan dalam dua poin tersebut.
Untuk menumbuhkan, memupuk, memperkokoh, memperkuat dan menjaga kedua sayap itu: integritas dan profesionalitas, selain penyelenggara pemilu wajib menjalankan prinsip penyelenggara pemilu (jujur, mandiri, adil, akuntabel, berkepastian hukum, aksesibilitas, tertib, terbuka, proporsional, profesional, efektif, efesien, dan kepentingan umum), relasinya dengan substansi tulisan ini adalah “literasi” dan “nalar kebangsaan”.
Jika ditarik garis relasi, literasi untuk menciptakan profesionalitas, meskipun sesungguhnya jika diselami lebih dalam bisa pula untuk memantik dan mengokohkan integritas. Nalar kebangsaan untuk memperkuat dan menjaga integritas, meskipun untuk menguatkan nalar kebangsaan tetap dibutuhkan literasi, minimal literasi kebangsaan atau kewarganegaraan. Jadi antara literasi, nalar kebangsaan, penyelenggara pemilu dengan kedua sayapnya, membangun relasi melingkar yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Mungkin tidak keliru, jika ketiganya disebutkan atau diandaikan terjadi relasi triadik.
Jika kita harus memilih satu kata yang bisa menjadi modal untuk mengarungi, membangun dan melakukan perubahan dalam kehidupan ini, saya yakin pembaca akan sepakat jika saya menjawab adalah “literasi”. Dalam Islam, agama yang saya yakini, telah ditegaskan spirit tersebut dengan dijadikannya QS. Al-Alaq [96]: 1-5, sebagai suraH pertama yang diturunkan Allah Swt, kepada Rasululllah Muhammad Saw, melalui malaikat Jibril.
Literasi, di dalamnya ada aktivitas membaca, menulis, menelaah, meneliti dan memahami. Hal ini relevan dengan makna iqra, salah satunya jika kita merujuk pada tafsir M. Quraish Shihab. Literasi mampu memberikan pemahaman bukan hanya sebatas tekstual, namun dimensi kontekstual, filosofis, paradigmatik, ideologis, bahkan teologis pun bisa dicapai dalam memahami sesuatu tanpa kecuali realitas dan hal-hal semiotik lainnya.
Literasi pun idealnya bukan hanya memberikan pemahaman tetapi mampu menumbuhkan kesadaran. Literasi yang baik pun, termasuk bagi penyelenggara pemilu mampu memberikan pemantik bahwa tugas, wewenang dan kewajibannya bukan hanya dipahami secara regulatif dan teknis-prosedural. Melampau itu memantik kesadaran, bahwa di dalamnya mengandung dimensi ibadah, ilahiah dan ukhrawi.
Literasi yang baik mampu memberikan pemahaman yang baik bagi penyelenggara pemilu dalam memahami segala regulasi yang ada dan mengikat dirinya, proses yang dijalankan, dan pihak lain. Selain itu, mampu mengintegrasikan antara regulasi yang satu dengan regulasi yang lainnya, sehingga dari hal ini, bukan hanya mampu mengedepankan prinsip “berkepastian hukum”, tetapi di dalamnya termasuk profesionalitas, yang di dalamnya sudah mencakup aksesibilitas, tertib, terbuka, proporsional, efektif, efesien, dan kepentingan umum serta profesional itu sendiri.
Dengan literasi yang baik, tanpa kecuali literasi digital akan memberikan pemahaman terkait urgensi, signifikansi dan implikasi pemanfaatan teknologi digital tanpa kecuali media sosial. Contoh sederhana, dengan pemahaman yang baik terhadap bagaimana peran media sosial, yang hari ini mampu memengaruhi opini dan nalar publik, termasuk bagaimana big data dan algoritma bekerja dalam teknologi digital. Maka bisa dipastikan, minimal kita tidak akan melewatkan semua akun-akun resmi KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, yang lewat/muncul, atas setiap informasi kegiatannya dan yang lainnya, tanpa di-like (ini tindakan minimal).
Selain itu, literasi digital akan memberikan pemahaman yang baik bagi penyelenggara pemilu, atas apa yang sebaiknya dishare, dikomentari, dan dipastikan bahwa itu berorientasi positif bagi dirinya selaku penyelenggara pemilu, lembaga, kehidupan demokrasi dan pemilu. Bukan justru sebaliknya apa yang dishare tanpa disadari merusak diri dan lembaga sendiri.
Begitu pun, dengan literasi tentnya kita akan mampu memfilter dan merespon segala yang sifatnya hoax, hate speech, dan fake news, terutama yang sifatnya menyerang diri dan lembaga penyelenggara pemilu. Pemilu tahun 2019 kemarin, saya yakin para penyelenggara pemilu, mungkin termasuk pembaca, bisa mengamati dan merasakan bagaimana KPU secara nasional diserang secara masif terkait apa yang dimaknai sebagai hoax, hate speech, dan fake news. Penyelenggara pemilu, bagi oknum tertentu ada yang menyebutnya “otak kardus”.
Saya pribadi pada saat itu, khususnya di media sosial facebook, tidak mau diam, memberikan komentar yang santun untuk secara tidak langsung memberikan pencerahan, logika rasional dan sekaligus meng-counter tuduhan-tuduhan tersebut. Selain itu, kami pun mencoba memproduksi narasi menarik untuk mengedukasi, mempersuasi pemilih agar mau berpartisipasi. Kami menggunakan konten-konten di media sosial yang saya usulkan untuk disebut sebagai “Romantisme Pemilu Kaum Milenial”.
Argumentasi dan penjelasan singkat di atas, saya yakin pembaca sudah memahami bahwa dengan literasi bisa memperkuat atau memperkokoh dan menjaga profesionalitas sebagai salah satu sayap penyelenggara pemilu. Selain itu, (mungkin) secara tidak langsung mampu memengaruhi lahirnya integritas dalam diri, khususnya literasi kebangsaan, dan/atau literasi budaya-kewargaan.
Saya pun menemukan percikan inspirasi dan/atau spirit, mungkin tidak berlebihan jika saya menyebutnya intuisi. Nalar kebangsaan mampu memperkuat, memperkokoh, menumbuhkan dan menjaga integritas yang juga dalam pandangan saya sebagai satu di antara dua sayap yang harus dimiliki penyelenggara pemilu.
Nalar dan nalar kebangsaan itu sendiri adalah dimensi psikologis, sosial, ideologis, dan teologis yang bisa membentengi setiap diri baik secara personal, sebagai bagian dari bangsa dan negara, khususnya dalam memegang dan menjalankan posisi strategis. Menjadi penyelenggara pemilu berarti memiliki posisi dan peran strategis untuk memberikan kontribusi besar bagi masa depan bangsa dan negara.
Nalar menentukan bahkan memengaruhi doing (apa yang dilakukan), relating (siapa dan bagaimana membangun relasi dan berinteraksi), meaning (apa dan bagaimana memaknai), thinking (apa dan bagaimana berpikir), dan being (bagaimana menjadi). Dengan nalar ini pada dasarnya akan memengaruhi pikiran, keyakinan dan tindakan setiap diri baik secara personal maupun kolektif.
Menjadi bagian dari bangsa dan negara Indonesia, apalagi memiliki posisi dan peran strategis, perlu disadari bahwa yang didiami ini bukan ruang kosong. Di dalamnya tanpa kecuali ada banyak tarik-menarik kepentingan, nilai, bahkan ada hasrat yang bisa bersifat destruktif maupun konstruktif. Pemahaman dan kesadaran ini, dalam pandangan saya membutuhkan apa yang bisa dimaknai sebagai “nalar kebangsaan”.
Nalar kebangsaan adalah “akal budi, pertimbangan baik buruk yang didasarkan pada nilai atau basis nilai, menjadi akar filosofis, falsafah hidup dan ideologi yang selama ini hidup dan mengiringi dinamika kehidupan kebangsaan. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, nilai-nilai ajaran agama, dan kearifan lokal lainnya”, (Agusliadi, “Pemilu Berintegritas: Nalar Kebangsaan sebagai Elan Vital”, Jurnal Pustaka Pemilu, Vol. 2 No. 2, Juni 2020, hal. 26-39).
Nalar kebangsaan ini di dalamnya mengandung nilai yang bisa dipedomani, jika kita memahaminya secara filosofis dan ideologis bahkan teologis. Pancasila idealnya menjadi mercusuar demokrasi bagi semua elemen bangsa, terutama bagi penyelenggara negara termasuk penyelenggara pemilu.
Pancasila tidak boleh berhenti hanya sebatas sebagai bahan hafalan, atau hanya sekadar memenuhi rukun upacara bendera. Pancasila harus mampu dipahami secara filosofis dan ideologis sebagai dasar negara, ideologi dan falsafah hidup bangsa. Bahkan Pancasila harus mampu menjadi fondasi dan penuntun.
Pancasila dan beberapa hal yang dimaknai sebagai nalar kebangsaan harus mampu menjadi pijakan ideologis. Terkait hal ini, saya meminjam, mengelaborasi dan menginterpretasi ulang pandangan Yudi Latif. Pertama, nalar kebangsaan harus menjadi seperangkat keyakinan untuk menjadi pedoman yang berisi tuntunan bahkan tuntutan. Kedua, harus mampu menjadi alat reinterpretasi dalam membaca dan memaknai realitas kehidupan. Dan ketiga, berisi petunjuk pedoman aksi.
Pancasila sebagai salah satu dari nalar kebangsaan, bagi penyelenggara pemilu harus disadari bukan hanya seperangkat persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Jangan hanya menjadi bagian ikrar sumpah dan janji jabatan yang dipahami secara retorik dan janji semata. Pancasila, harus mampu menjadi cahaya penuntun bagi penyelenggara pemilu.
Dalam nalar kebangsaan ada pula ajaran dan nilai-nilai agama. Minimal hal ini mampu memberikan kesadaran bagi penyelenggara pemilu, bahwa tugas, wewenang dan kewajibannya, bukan hanya menuntut pertanggungjawaban secara normatif, regulatif, administratif, dan ukuran kinerja berdimensi duniawi. Tetapi dengan nalar kebangsaan ini, terutama pada poin ajaran dan nilai agama, harus disadari bahwa pertanggungjawaban utamanya di hadapan Allah Swt.
Selain urain singkat di atas, literasi dan nalar kebangsaan pun mampu memberikan pemahaman konsep diri yang baik bagi penyelenggara pemilu. Konsep diri menjadi penting, karena konsep dirilah yang menumbuhkan pemahaman dan kesadaran tentang hakikat diri, peran yang harus dijalankan serta relasinya dengan kehidupan tanpa kecuali nilai-nilai yang berkembang dan hidup di dalamnya.
Konsep diri, mampu menarik garis relasi dan kesadaran dengan yang merajai langit dan bumi, Allah. “Kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu”, saya yakin, frasa ini tidak asing bagi kita semua.
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, yang saya sangat sadari bahwa belum sepenuhnya menguraikan apa yang menjadi substansi berdasarkan tema atau judul di atas. Saya ingin menegaskan bahwa penyelenggara pemilu secara konstitusional memiliki posisi dan peran strategis untuk masa depan bangsa. Siapa saja yang dimaksud sebagai penyelenggara pemilu? Yaitu KPU dan seluruh jajarannya sampai pada tingkat TPS yaitu KPPS; Bawaslu dan seluruh jajarannnya sampai pada tingkat TPS yaitu Pengawas TPS; dan DKPP.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023