Membumikan Pancasila
Oleh: Immawan Wahyudi
ISTILAH “membumikan” agak lekat dengan Allahuyarham Buya Syafii Maarif. Beliau seringkali menggunakan ungkapan-ungkapan yang seru. Misalnya “teronggok di sudut peradaban.” Demikian juga istilah “membumikan” nyaris lekat dengan trade mark bahasa Allahuyarham Buya Syafii. Istilah membumikan Pancasila dalam tulisan ini penulis gunakan untuk mengungkapkan kembali pemikiran dua orang tokoh. Keduanya mengangankan agar Pancasila benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan kolektif bangsa maupun individu –terutama oleh para pejabat negara.
Tokoh pertama, adalah Sejarawan sekaligus Budayawan Kuntowijoyo. Akademisi yang tidak pernah sepi dari aktivitas berorganisasi ini mengemukakan ide dengan istilah “radikalisasi Pancasila.” Tokoh kedua, adalah Profesor Drs. S. Pamuji, MPA yang menjelaskan tahapan-tahapan pemikiran dan pelaksanaaan Pancasila. Prof. S. Pamuji menekankan pada demokrasi Pancasila. Suatu istilah yang –sejauh ini– tidak pernah bisa dilaksanakan, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 2 menyebutkan bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.”
Ide-ide dari dua tokoh akademisi sangat mendalam dan menurut hemat penulis perlu untuk terus digaungkan sebagai pemikiran pada level ideologis maupun praksis. Relevan kiranya pemikian kedua tokoh ini diungkap kembali.
Radikalisasi Pancasila
Istilah “radikalisasi Pancasila” dikemukakan oleh Kuntowijoyo (KR Jogja). Pandangannya ini berkaitan adanya fenomena –yang menurutnya meresahkan– dimana kecenderungan Pancasila dijadikan sebagai lip service. Lebih jauh, bahkan Pancasila dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Bisa difahami keresahan Kuntowijoyo karena pada masa Orde Baru Pancasila cenderung menjadi “ideologi beku” sebagai bahan penataran P-4 dan asas tunggal bagi Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Organisaasi Politik (Orpol). Akibatnya Pancasila tidak berfungsi secara operasional. Hal lain yang meresahkan Kuntowijoyo adalah akibat dari fenomena ini Pancasila diibaratkan hanya sebagai jimat yang hanya disarungkan tidak pernah digunakan untuk “berkelahi”. Dampak lebih jauh dari kenyataan ini adalah bangsa Indonesia bisa kehilangan arah dan makna pembangunan nasional.
Kuntowijoyo kemudian mengemukakan tesis perlunya “radikalisasi Pancasila”. Maksud dari istilah ini adalah ada upaya yang sungguh-sungguh untuk “mengaktifkan” sila-sila dalam Pancasila agar operasional sebagai dasar Negara, filsafat, dan ideologi dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, terutama bagi para elite politik. Untuk mengembangkan “radikalisasi Pancasila” menurut Kuntowijoyo harus ada upaya menjadikan Pancasila sebagai : 1) Ideologi Negara, 2) salah satu sumber ilmu, 3) melaksanakan Pancasila secara konsisten, koheren, dan koresponeden, 4) menjadikan Pancasila sebagai pelayan horizontal dan bukan vertikal, 5) menjadikan Pancasila sebagai kriteria kritik kebijakan Negara.
Demokrasi Pancasila
Dalam perkembangan dan dinamika politik demokrasi dewasa ini muncul berbagai keluhan –jika tidak dapat disebut sebagai keresahan. Hal ini disebabkan munculnya kecenderungan libelaisasi dalam kehidupan politik demokrasi, dimana penumpang gelap demokrasi memperoleh ruang yang leluasa dan angina segar untuk mengembangkan kebebasan nyaris tanpa koreksi apapun. Kehidupan politik misalnya tidak lagi dapat dipisahkan karena telah demikian eratnya dengan praktik ekonomi pasar bebas sehingga “penguasa di bidang politik dikendalikan dan tunduk kepada “penguasa modal un limited”.
Sejalan dengan pandangan Kuntowijooyo, Prof. S. Pamuji mengemukakan gagasan agar Pancasila bisa dijadikan parameter, dan sumber inspirasi dan motivasi dalam politik demokrasi (wikipedia). Oleh sebab itu ditegaskan bahwa politik demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Untuk menjadikan Pancasila yang demikian ini Prof. S. Pamuji mengemukakan adanya 6 (enam) aspek sebagai kandungan demokrasi pancasila.
Pertama, aspek formal, yang mempersoalkan proses dan cara rakyat menunjuk wakil-wakilnya dalam badan-badan perwakilan dan pemerintahan serta bagaimana mengatur permusyawaratan wakil-wakil rakyat secara bebas, terbuka, dan jujur untuk mencapai konsensus. Kedua, aspek material untuk mengemukakan gambaran manusia dan mengakui terwujudnya masyarakat manusia Indonesia sesuai dengan gambaran, harkat dan martabat tersebut. Ketiga, aspek normatif yang mengungkapkan seperangkat norma atau kaidah yang membimbing dan menjadi kriteria pencapaian tujuan. Keempat, aspek optative (pilihan) yang mengetengahkan tujuan dan keinginan yang hendak dicapai. Kelima, aspek organisasi untuk mempersoalkan organisasi sebagai wadah pelaksanaan Demokrasi Pancasila dimana wadah tersebut harus cocok dengan tujuan yang hendak dicapai. Keenam, aspek kejiwaan yang menjadi semangat dari para penyelenggara negara dan semangat para pemimpin pemerintahan.
Mengutip pendapat Udin Syarifudin, Prof. S. Pamuji mengatakan bahwa jika demokrasi Indonesia dibandingkan dengan demokrasi universal, maka dapat digambarkan bahwa demokrasi Indonesia sebagai teodemokrasi (demokrasi dalam konktesk Ketuhanan Yang Maha Esa) sedangkan demokrasi universal sebagai demokrasi yang bernuansa sekuler.
Menurut hemat penulis, dua tokoh pemikir ini telah memberikan panduan yang sangat berarti baik untuk level pemikiran, level pembentukan kebijakan dan perilaku individu bangsa Indonesia. Pelaksanaannya tentu memerlukan kesungguhan sepenuh hati dari warga bangsa, kita semua.
Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD