Gerakan Literasi Keluarga sebagai Basis Kemajuan Bangsa

Literasi Keluarga

Foto Dok Ilustrasi

Gerakan Literasi Keluarga sebagai Basis Kemajuan Bangsa

Oleh: Agusliadi Massere

Indonesia sebagai nation-state (negara-bangsa) telah memiliki modal ideologis yang sangat kuat untuk menduduki posisi strategis dan bahkan menjadi kiblat peradaban dunia. Prof. Haedar Nashir menegaskan bahwa, “Indonesia dibangun di atas fondasi yang kokoh berupa nilai-nilai ideologis yang bertumpu pada Pancasila dan pandangan hidup yang berlandaskan agama serta kepribadian berbasis kebudayaan nasional yang melekat dengan eksistensi bangsa diperkuat jiwa dan daya perjuangan kebangsaan yang menyejarah dalam lintasan perjalanan bangsa ini” (2022: 1).

Apa yang diungkapkan oleh Prof. Haedar di atas, memiliki garis relasi dan relevansi terhadap pandangan John Gardner yang menegaskan “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar,” (Yudi Latif, 2012:2). Yang diungkap oleh Prof. Haedar, kita pun meyakini mengandung dimensi-dimensi moral. Maka tidak berlebihan apa yang saya ungkapkan di atas, terkait potensi dan harapan tersebut.

Modal lainnya pun seperti sumber daya alam, dan sumber daya manusia tersedia dan sangat memadai.  Kedua modal, potensi atau sumber daya ini untuk sementara atau sampai detik ini, meskipun masih terkesan paradoks, namun minimal secara kuantitatif sangat potensial menjadi penopang atau modal bagi Indonesia untuk mencapai kebesaran dan/atau kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Berdasarkan temuan, cara pandang, salah satunya oleh Hajriyanto Y. Thohari (2015: 29-49) menilai, Indonesia masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Pandangan dan kesimpulan ini, bukan berarti mengedepankan atau mengandung perspektif nihilistik, karena dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia tetap menorehkan kemajuan-kemajuan atau perubahan yang signifikan.

Lalu, apa yang salah? Indonesia telah memiliki modal yang cukup dan fondasi yang kokoh, namun pada kenyataannya atmosfir kehidupan masih menyisakan awan mendung dan kelamnya langit kehidupan. Terinspirasi dari gagasan Hernowo, dari buku-buku karyanya yang luar biasa, termasuk yang saya tindak-lanjuti dengan perenungan mendalam, maka saya berani mengatakan bahwa sesungguhnya solusi atas hal paradoks di atas, untuk memenuhi harapan atas fondasi yang kokoh dan modal yang memadai, agar Indonesia mampu mencapai kemajuan dari berbagai aspek kehidupan termasuk memiliki positioning yang diperhitungkan di mata dunia, maka solusinya adalah literasi.

Indonesia memang dipandang atau dinilai masih memiliki problem dalam persoalan literasi. Krisis literasi itu ditunjukkan di antaranya, setiap ada survei atau hasil riset oleh lembaga yang otoritatif dalam bidang literasi, kerap kali Indonesia berada pada posisi “ujung terbelakang”. Selain itu telah dikutip oleh Arif S Yudistira dalam prolog (1)-nya buku “The Spirit of Dauzan: Gagasan dan Aksi Pegiat Literasi Muhammadiyah” (2018), dari Haedar Nashir menegaskan “mengumpulkan orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”.

Sejatinya, andaikan literasi anak bangsa cukup baik maka apa yang diungkap oleh Prof. Haedar Nasir tentang fondasi yang kokoh di mana bangunan keindonesiaan dikonstruksi di atasnya, maka idealnya mampu memengaruhi nalar anak bangsa. Sehingga apa yang menjadi “doing” (apa yang harus dilakukan), “meaning” (apa dan bagaimana memaknai), “relation” (bagaimana membangun relasi, terutama sesama anak bangsa), “thinking” (apa yang harus dipikirkan dan bagaimana memikirkannya), dan “being” (bagaimana cara menjadi dan harus menjadi seperti apa), itu sejalan. Ternyata realitas empirik, mengungkapkan fenomena lain.

Selain itu, jika merujuk pada teori Radiasi Budaya Arnold Toynbee, yang berbicara tentang lapisan-lapisan budaya yang mampu menentukan suatu peradaban bertahan atau tidak, begitu pun apakah suatu peradaban mampu memberikan pengaruh atau menjadi kiblat bagi peradaban lainnya, maka jawabannya adalah literasi. Mengapa saya sampai pada kesimpulan ini?

Arnold Toynbee dalam teori radiasi budayanya yang lahir dari hasil riset beberapa peradaban, sampai pada kesimpulan. Ada empat lapisan budaya yang memengaruhi peradaban: lapisan pertama (lapisan terdalam) adalah visi dan/atau nilai spiritualitas; lapisan kedua adalah etika; lapisan ketiga adalah estetika; dan lapisan keempat atau lapisan terluar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Dijelaskan lebih lanjut, sebagaimana yang saya pahami dengan baik dari Pidato Kebangsaan Yudi Latif pada Haul Cak Nur (Nurcholish Madjid) ke-13. Suatu peradaban akan tetap bertahan meskipun etika, estetika, ilmu pengetahuan dan teknologi sainsnya hancur, selama lapisan terdalamnya yaitu visi dan nilai spiritual, masih tetap ada atau bertahan dalam jantung peradabannya. Dan jika suatu peradaban ingin berpengaruh bagi peradaban lainnya—tentunya sama jika dikatakan ingin menjadi kiblat bagi peradaban lainnya—maka harus unggul pada lapisan terluarnya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Berpijak pada pandangan Arnold Toynbee tersebut, mungkin tidak keliru jika saya mengatakan bahwa untuk lapisan terdalamnya, kita, bangsa dan negara Indonesia masih sangat kuat, dan itulah yang membuat Indonesia masih bertahan sampai hari ini—meskipun ini masih perlu diakselerasi lebih jauh dan mendalam. Indonesia, masih tertinggal jauh dari kemajuan bangsa-bangsa lain, belum mampu dipandang sebagai kiblat peradaban, karena masih lemah dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sains. Kelemahan ini, jika harus dikerucutkan pada satu jawaban fundamental, maka jawabannya adalah lemahnya literasi.

Literasi Keluarga sebagai Basis

Berbicara kemajuan suatu bangsa dan negara, tanpa kecuali Indonesia, saya yakin tidak keliru jika ditarik garis relasi dan ditegaskan untuk tidak melupakan embrionya, yaitu institusi keluarga. Dalam institusi keluarga inilah, awal mula setiap individu bertumbuh, berkembang, sampai belajar dan menemukan the meaning of life-nya (manusia tidak hanya hidup secara vegetatif dan animalia), yang selanjutnya mampu menjadi modal untuk menatap, berproses, hingga akhirnya menggapai masa depannya.

Di antara individu-individu inilah yang kelak—tentunya tidak semuanya—akan menjadi aktor atau sebagai agent of change, agent of creation, atau pun artibusi subjek/aktor dan apa pun penamaan lainnya yang melekat, tetapi pada substansinya menggambarkan sosok yang melahirkan atau menarik gerbong perubahan dan membawa kemajuan diri, keluarga, bangsa, negara, agama, dan peradaban.

Bagi saya, ada hal senada dan senapas dari uraian di atas terkait institusi keluarga, individu dan kemajuan bangsa dan negara, dengan yang telah diungkapkan oleh John C. Maxwell sebagai bagian dari aksioma sikapnya. Maxwell menegaskan, “masa depan suatu bangsa dan negara, dua puluh lima tahun yang akan datang tercermin dari sikap dan perilaku generasi mudanya”. Generasi muda tentunya bisa dimaknai sebagai individu atau dalam makna individu yang kolektif.

Untuk memenuhi harapan di atas, di mana keluarga dipandang sebagai wadah, candradimuka, yang akan mampu memancarkan spektrum kemajuan untuk melahirkan dan membentuk individu yang memiliki kemampuan, skill, sikap, dan tindakan/perilaku positif, produktif, kontributif dan adaptif, maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah tersedianya sesuatu yang bisa dimaknai sebagai “literasi”.

Literasi jika kita merujuk pada Wikipedia, adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Literasi pun tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.

National Institute for Literacy (dalam web Wikipedia.org) menjelaskan bahwa, “litarasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Dan saya ingin menambahkan satu lagi yang dikutip dari Education Development Center (EDC) dalam web Wikipedia.org bahwa, literasi adalah kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis saja.

Suatu ikhtiar dan/atau proses dalam rangka mencapai suatu harapan, apalagi jika sesuatu itu di dalamnya mengandung tujuan yang bersifat jangka panjang atau berkelanjutan, maka tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan sesuatu yang lebih fundamental, strategis, filosofis, dan ideologis yang mampu menjadi spirit atau energi untuk tetap bergerak, bertahan, berkelanjutan dan berkesinambungan.

Sesuatu yang dimaknai sebagai “gerakan” adalah jawaban yang paling tepat, substansial, dan strategis. Artinya literasi dan/atau literasi keluarga ini membutuhkan spirit dan harus dipandang sebagai “gerakan”. Meskipun tidak disebutkan secara tekstual dan/atau naratif, ketika mendengar atau membaca frasa “gerakan” yang dilekatkan pada sesuatu yang akan memengaruhi dan memberikan pengaruh besar pada dinamika kehidupan, maka yang dimaksud mengandung sesuatu yang lebih mendalam, bukan sesuatu yang hanya dipahami secara harfiah dan dangkal.

Gerakan Literasi Keluarga

Gerakan bukanlah sesuatu yang hanya dipandang sebagai hal teknis, prosedural dan operasionalistik semata yang menandai pergerakan dari ruang yang satu ke ruang yang lainnya dan berada atau terkait dengan dimensi waktu. Gerakan yang dilekatkan, termasuk dalam literasi keluarga ini adalah gerakan yang mengandung spirit, terbaca dalam perspektif filosofis karena mengandung tilikan filosofis.

Jadi “Gerakan Literasi Keluarga” salah satunya bisa dimaknai sebagai upaya menumbuhkan dan mengembangkan spirit literasi seseorang  atau individu yang dimulai dari institusi keluarga yang bergerak secara massif, intens, berkelanjutan dan berkesinambungan karena dibaliknya ada nilai, landasan filosofis, paradigma, ideologi, dan bahkan basis teologis yang menjadi pemantik.

Literasi keluarga sejatinya memiliki relasi yang masing-masing berkorelasi positif dengan bentuk gerakan literasi lainnya, seperti Gerakan Literasi Masyarakat, dan Gerakan Literasi Sekolah. Bahkan tidak keliru jika ketiganya dipandang memiliki relasi triadik yang saling menguatkan. Namun, jika mempelajari dan mengikuti fase perjalanan kehidupan manusia atau setiap individu, maka institusi keluarga adalah ruang atau wadah pertama—meskipun mungkin tidak bisa pula disebut paling utama—untuk mengonstruksi spirit literasi dalam diri seseorang atau setiap individu.

Literasi diharapkan menjadi jiwa, ruh, dan cahaya yang senantiasa mengiringi serta menerangi perjalan kehidupan setiap individu. Literasi, jika menangkap secuil substansi dari defenisi yang terungkap di atas, di dalamnya memberikan kemampuan tanpa kecuali dalam menemukan solusi atas setiap problem kehidupan yang ada atau minimal memberikan kemampuan adaptif atas setiap perubahan dan kemajuan yang ada. Oleh karena itu, literasi sebagai bagian strategis, memiliki urgensi, signifikansi dan implikasi besar dalam kehidupan, baik secara personal dan kolektif maka diharapkan untuk terus hadir atau eksis secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Alasan inilah maka literasi tanpa kecuali literasi keluarga harus dibawa dalam dimensi gerakan yang mengandung tilikan filosofis.

Adalah Moh. Mudzakkir, Ketua Umum PP IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) Periode 2006-2008, seorang dosen dan peneliti pada Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mengajukan pertanyaan fundamental dan sekaligus memberikan jawaban yang sangat mendalam terkait “Mengapa tilikan filosofis diperlukan oleh sebuah gerakan…?”.

Menurut Mudzakkir, jawaban atas pertanyaan tersebut karena hal itu tidak bisa dilepaskan dari beberapa argumen mendasar. Pertama, secara teoritik bahwa sebuah gerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma, ideologi, ataupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak. Kedua, realitas empirik, bahwa sebuah gerakan yang tidak memiliki basis filosofis yang radikal (mendalam dan kuat menghujam) dan sistematik akan mengalami pendangkalan arah tujuan gerakan. Dan ketiga, untuk meningkatkan elan vital (daya hidup) sebuah gerakan, semakin mempertajam visi, memperkuat misi, serta memperkaya program dan aksi gerakan.

Gerakan literasi keluarga ini, tentunya memiliki beberapa landasan atau basis filosofis. Jika merujuk pada teori filasafat ilmu, landasan filosofis antara lain: landasan ontologis; landasan epistemologis dan landasan aksiologis. Selain ketiga landasan ini, secara historis, sosiologis, ideologis, dan bahkan teologis kita bisa menemukan core value terkait literasi tanpa kecuali literasi keluarga, begitupun urgensi serta implikasi besarnya dalam realitas empirik tanpa kecuali bisa ditemukan preseden historisnya dalam perkembangan dan kemajuan peradaban dunia tanpa kecuali dalam kehidupan yang lebih dekat, yakni sejarah perjalanan kemerdekaan Indonesia.

Tercerahkan dari Mudzakkir atas apa yang telah dikutipnya dari Ali Syari’ati, saya memahami bahwa membangun masyarakat dan kebudayaan, tentunya  tanpa kecuali peradaban dan memajukan gerakan literasi keluarga yang memiliki posisi strategis sebagai kerja-kerja peradaban, akan gagal total apabila pertanyaan tentang “siapa” dan “bagaimana” manusiatidak terlebih dahulu dijawab. Sesungguhnya untuk menjawab dengan baik atas pertanyaan tentang “siapa” dan “bagaimana” manusia itu jawabannya adalah literasi (meskipun cakupannya lebih dalam).

Sekali lagi jika mencermati perjalanan kehidupan manusia, maka terkait pertanyaan ini, bisa dipastikan—meskipun mungkin bentuknya sederhana atau dalam formulasi yang berbeda-beda—dimulai dalam institusi keluarga. Sehingga di sinilah urgensi literasi keluarga tersebut. Literasi diyakini selain mampu menjawab tentang manusia termasuk pula mampu memberikan kemampuan untuk membangun masyarakat, kebudayaan, peradaban dan bahkan gerakan literasi itu sendiri. Terkait basis atau landasan ontologis ini, perlu dirumuskan secara lebih mendalam.

Gerakan literasi keluarga secara ontologis memiliki posisi strategis dalam diri manusia, kehidupan, dan sejak dini menanamkan kemampuan untuk memahami suatu proses yang “humanisasi” maupun “dehumanisasi”. Bahkan untuk menyempurnkan eksistensi manusia secara ontologis maka jawabannya adalah literasi dan tentunya yang lebih awal adalah literasi keluarga.

Meminjam, menginterpretasi ulang,  dan mengontekstualisasikan pandangan Mudzakkir terkait epistemologi gerakan secara umum ke dalam “Gerakan Literasi Keluarga”, maka idelanya gerakan literasi keluarga ini, harus mampu sejak dini, dalam institusi keluarga untuk memberikan kemampuan memahami tanpa kecuali ketidakberesan yang ada dalam realitas. Begitupun, sejak dini dalam institusi keluarga, gerakan literasi ini harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan setiap individu untuk memahami kebohongan, kesadaran palsu, dan disparitas (kesenjangan) antara idealitas dan realitas empirik yang menganga.

Selanjutnya landasan epistemologis dari “Gerakan Literasi Keluarga” harus mampu menunjukkan cara bagaimana cara berjuang untuk merealisasikan idealitas menjadi kenyataan atas apa yang menjadi harapan dan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Sedangkan untuk landasan aksiologisnya, tentunya menggambarkan apa nilai dan/atau manfaat yang bisa dirasakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Selain gambaran sederhana atas tiga landasan filosofis yang baru saja dijelaskan di atas, maka basis lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung memantik pemahaman dan kesadaran urgensitas daripada gerakan literasi keluarga, tentunya basis lainnya pun—yang mungkin tidak keliru jika masih dipandang sebagai tilikan filosofis—sangat mudah ditemukan.

Secara sosial-historis, bahkan saya yakin tidak keliru jika dipandang memiliki preseden historis bahwa para pendiri bangsa dan negara Indonesia atau aktor-aktor yang mengantarkan bangsa Indonesia ini untuk sampai ke pintu kemerdekaan adalah mereka yang memiliki spirit literasi yang besar. Dan ini bisa dinilai lahir dari literasi keluarga mereka masing-masing. Bahkan satu di antaranya, yakni Bung Hatta pernah melontarkan sesuatu yang bisa dipandang sebagai pesan yang prinsipil sebagai wujud cintanya terhadap gerakan literasi. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karna dengan buku aku bebas”.

Hal senada dari pesan Bung Hatta di atas yang menunjukkan urgensi buku sebagai salah satu determinasi dan instrumen penting dari suatu gerakan literasi adalah apa yang telah dikutip oleh Hernowo dari Sindhunata. Menurut Sindhu, orang bisa mengubah diri dengan membaca—saya tambahkan, Prof. Ahmad Najib Burhani pernah pula menegaskan “Today a reader, tomorrow a leader”. Menurut Hernowo, Sindhu pun menuliskan, “Karena buku, ia menghendaki fantasinya menjadi kenyataan”. Bahkan ditambahkan “Bukan realitas yang memaksanya bertindak, tetapi suatu perasaan imajinasi magis yang ia peroleh dari bacaan”.

Sindhu (masih dalam Hernowo) menegaskan “Membaca itu kadang hanya menyerap fantasi, sesuatu yang dibayangkan dan mungkin itu bukan realitas. Namun, kegilaan membaca dapat mendorong seseorang untuk menjadikan fantasinya sebagai kebenaran. Semua yang dituliskan oleh Sindhu ini menurut Hernowo terinspirasi dari kisah dari Don Quixote yang oleh Carlos Fuentes disebut sebagai the ambassador of readings.

Hal di atas, “buku” dan “membaca” sebagai determinasi dari literasi atau sesuatu yang melekat erat dalam literasi secara aksiologis pun masih menegaskan nilai dan/atau manfaatnya. Saya pun terutama dalam hal “buku”, sejak Mei 2004 sampai sekarang, kurang lebih 18 tahun telah mengiringi perjalanan, dinamika, dan dialektika hidup, berkomitmen dan konsistensi untuk koleksi buku. Kini pustaka pribadiku yang saya menamainya dengan “CAHAYA INSPIRASI”, per hari ini, tanggal 26 Juli 2022 telah memiliki koleksi sebanyak 1005 buah dengan judul yang berbeda-beda.

Secara ideologis dan konstitusional, Prof. Haedar menegaskan, “Para pendidi republik ini sungguh bijaksana”. Mengapa? Prof. Haedar (2022: 213) menyampaikan bahwa “Mereka merumuskan salah tugas untuk Pemerintahan Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. Haedar, “Kata cerdass artinya sempurna perkembangan akal, budinya untuk berpikir, mengerti, dan tajak pikiran serta sempurna pertumbuhan tubuhnya menjadi sehat dan kuat”.

Bagi saya, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tugas institusi pendidikan formal semata, tetapi melalui gerakan literasi, termasuk literasi keluarga.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version