SEMARANG, Suara Muhammadiyah – Melaju pada tahap kedua Lokakarya Persiapan Pembangunan Program Studi Baru Ilmu Sejarah dan Ilmu Filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, para undangan dibagi menjadi dua kelompok.
Acara dibagi menjadi dua untuk melakukan diskusi terarah dengan tujuan membahas persiapan prodi ilmu sejarah dan ilmu filsafat. Pada kelompok diskusi ilmu filsafat, melalui jalur daring hadir Prof. Mulyadi Kertanegara, Prof. Musa Ashari, Dr. Arqam Kuswanjoyo, Prof. Abdul Munir Mulkhan, dan Dr. Robby Abror.
Di dalam ruang tatap muka berkumpul pula Prof. M. Amin Abdullah, Ahmad Muttaqin, Ph.D, Dr. Riki Saputra, Budi Ashari, M.A., Prof. Masrukhi, dan beberapa undangan serta bapak-ibu pengajar Universitas Muhammadiyah Semarang. Masing-masing hadirin saling menyampaikan pemikiran mereka tentang urgensi, tantangan, dan peluang membuka program studi ilmu filsafat di PTM/A.
Sebagai urgensi, Prof. Mulyadi menekankan justru perkembangan negara yang sedang pesat dan mengarah pada kemajuan harus dibarengi dengan kesiapan berpikir warganya. Peningkatan kapasitas berpikir yang sistematis, logis, dan kritis harus dilakukan dan di sanalah peran ilmu filsafat.
Jika kapasitas berpikir sistematis-logis-kritis tadi tidak tercapai, yang terjadi adalah, “adalah kreativitas yang menumpul,” jelas Prof. Musa Ashari terkait kondisi pendidikan kita hari ini.
Namun, upaya menyadarkan pentingnya filsafat pada hari ini tentu masih mengalami banyak kendala. Satu di antara kendala mendasar dalam tubuh umat Muslim adalah pandangan yang mengharamkan filsafat. Padahal, menurut Dr. Arqam Kuswanjoyo, pilar kejayaan Islam dikarenakan perkembangan filsafat masa itu. “Apabila ada menyoalkan filsafat itu mengganggu keimanan, tidak sesederhana itu pemikirannya,” tukas beliau.
Di sisi lain juga terbukti bahwa Kiai Ahmad Dahlan sendiri adalah seorang orginisator cum filsuf. Hal ini diungkap oleh Prof. Munir Mulkhan yang membuka transkrip pidato Kiai Dahlan tahun 1922, “untuk memimpin kehidupan, mempergunakan akal yang sehat … setinggi-tingginya ilmu akal ialah ilmu mantiq”.
Justru dengan melakukan integrasi agama-sains-filsafat, sarjanawan yang multidimensional dan bermanfaat luas bagi umat akan tercipta dari bangku-bangku pendidikan kita. Sebagaimana dinyatakan Prof. Mulyadi dengan dikuatkan Prof. Musa.
Sebagai opsi langkah taktis yang bisa dipikirkan implementasinya adalah menginjeksi program-program studi di PTM/A dengan muatan filsafat. Sebab, “Dunia apapun yang tidak mengenal filsafat, artinya melakukan bunuh diri ilmu pengetahuan,” Prof. M. Amin Abdullah dalam argumennya. Namun, bila istilah “filsafat” terlalu membuat ngeri masyarakat, maka bisa kita ganti dengan terma populer seperti studi “multikulturalisme”.
Usul Prof. Amin Abdullah yang mengarah pada penguatan falsafah ilmu pengetahuan di tiap-tiap disiplin disetujui oleh sebagian besar peserta diskusi terbatas ini. Salah seorang pengajar UNIMUS juga menegaskan, “kita bangun dulu rohnya.” Bahkan, usaha menguatkan ke dalam ini juga dalam rangka perkembangan isu yang bergulir selama diskusi yaitu, menentukan ontologi ciri khas filsafat Muhammadiyah.
Demikian, FGD terus bergulir hingga menjelang tengah malam (23/7) di UNIMUS. Hampir semua peserta diskusi saling menyampaikan ide dan menyumbang pemikiran untuk membantu pemetaan rencana penyusunan program studi ilmu filsafat di PTM/A. (ykk)