YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekolah Pemikiran Islam (SILAM) angkatan ke-III yang diangkat oleh PK IMM FAI UMY kali ini membuka kegiatannya dengan mengadakan Stadium Generale yang bertema, “Membentuk Intelektual Muslim yang Responsif dan Objektif untuk Menjawab Tantangan Zaman.”
Kegiatan ini diadakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah PRM Tamantirto Utara Pada tanggal 24 Juli 2022. Dalam acara ini menghadirkan Ketua Umum DPD IMM DIY, IMMawan Muh. Akmal Ahsan,S. Pd dan Sekbid Kader PC IMM AR Fakhruddin periode 2019/2020, IMMawari Destita Mutiara, S.Sos.
Perkembangan dan kemajuan teknologi memberikan dampak yang beragam pada masyarakat. Hal ini makin menyeruak dengan derasnya informasi yang diterima, bahkan hampir tidak punya banyak waktu untuk menelaah setiap informasi dengan pemikiran matang. Kondisi seperti ini, kerapkali menjadi malapetaka dan persoalan dunia hari ini seperti hoax, cybercrime, imperium citra, sampai gejala one deminsional man. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan seorang intelektual yang responsif dan objektif untuk menjadi suluh peradaban ditengah-tengah krisis kesadaran umat.
Reza Aditama selaku Ketua Panitia SILAM III menyambut bahagia para peserta yang datang dari berbagai komisariat untuk mendaftarkan dirinya dalam kegiatan Creative Minority (CM) IMM FAI UMY ini. Reza mengungkapkan, “SILAM sebagai CM ini harus tetap kita adakan setiap tahunnya untuk mereproduksi generasi muda yang intelek, ditengah gejala FOMO (fear of missing out) kita harus bisa menjadi generasi yang mencerahkan.”
Dalam pengakhirannya Reza berharap kita tidak menjadi generasi yang ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar sesuatu fenomena, “Kayak Citayam Fashion Week. Bagus sih, tapi setidaknya mengerti dengan fenomena ini lebih dalam akan lebih baik.” Ujarnya sambil bercanda.
Ketua Umum PK IMM Fakultas Agama Islam IMMawan M. Hafiz Renaldi menyatakan dalam sambutannya bahwa ada 2 point penting dalam kajian Pemikiran Islam.
“Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pemikiran Islam. Pertama, objek pemikiran tidak selamanya bersifat realistis tetapi ada kalanya bersifat fenomenal dan abstrak, Kedua, objek kajian dan rangkaian proses pemikiran Islam yang dilakukan harus memiliki nilai dan tidak merusak nilai-nilai kemanusiaan dan agama”.
IMMawati Mutiara dalam materinya menyebutkan bahwa intelektual tidak dibangun dari kursi kekuasaan. Seseorang yang dikatakan intelek harus memiliki 3 pondasi pokok, yaitu: Pertama, paham secara mendalam dan selalu menganalisis segala hal. Kedua, sepenuh hati dan tidak ekslusif serta tetap peka terhadap hal-hal sekitarnya. Ketiga, tergerak memperbaiki dari sebuah permasalahan menjadi suatu aksi kepada masyarakat.
Selanjutnya, Imawan Muh. Akmal Ahsan, S.Pd. Menjelaskan bahwa ada kemacetan kajian Islam di Indonesia yang disebabkan oleh 6 hal. Pertama, sebagain besar akademisi Islam meletakkan Islam sekadar sebagai objek kajian semata. Bukan instrumen pemikiran yang berarti bagi pembaharuan. Kedua, patronasi pada tokoh besar Islam yang membuat akademisi muslim banyak romantisasi ke belakang, alih-alih membangun inspirasi ide ke depan.
Ketiga, akademisi islam yang meletakkan islam sebagai kajian individual, daripada membangun pemikiran yang lebih solutif bagi realitas praktis. Keempat. universitas Islam yang kebingungan memproduksi pemikir Islam yang progresif. Universitas terjebak dalam kultur pengetahuan yang kaku.
Kelima, peran akademisi Islam yang menempatkan posisinya hanya sebagai pengajar, bukan sebagai aktor perubahan dan pembaharuan. Keenam. reproduksi wacana di ruang akademis dan publik diisi dengan tuduhan kekanak-kanakan, bukan perdebatan yang dewasa.
Dengan diselenggarnya Stadium Generale kali ini diharapkan mampu menghadirkan kesadaran intelektual yang terus melihat, menyadari, dan menganalisis setiap hal yang terjadi di sekitarnya, serta selalu mengusahakan untuk menjadi muslim yang berkemajuan dalam rangka menjawab tantangan generasi perubahan. (Annisa/Riz)