Hisab, Rukyat, dan Penanggalan Islam

Dalam konteks perumusan kalender Islam, pemahaman dan pengimplementasian hisab dan rukyat adalah hal utama dan niscaya

Hisab

Foto Ilustrasi Dok Unplash

Baik menggunakan hisab maupun rukyat, syariat menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai standar acuan dalam penentuan awal bulan (lihat QS. Al-Baqarah [02] ayat 189)

 Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar

Hisab dan rukyat adalah dua terminologi yang kerap dibicarakan tatkala menjelang bulan Ramadhan. Setiap tahun saat menyambut awal Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam di Indonesia sering dikhawatirkan munculnya perbedaan.

Bila ditelaah, perbedaan dalam penentuan awal bulan sejatinya bukan karena persoalan hisab dan rukyat semata. Tetapi ada persoalan kompleks di baliknya, yaitu terkait cara pandang dalil-dalil terkait yang menjurus kepada diskursus hisab rukyat dan saat bersamaan belum wujudnya Kalender Islam pemersatu di Indonesia yang bersifat terpadu dan terintegrasi yang dapat digunakan secara bersama-sama.

Hilal dalam Hisab dan Rukyat

Dalam konteks hisab maupun rukyat, pembahasan tentang hilal merupakan hal niscaya. Secara sederhana, hilal adalah bagian dari permukaan bulan yang tampak dari arah bumi. Hilal merupakan benda gelap yang tidak memiliki cahaya sendiri, cahaya yang didapat bulan dan terlihat dari bumi berasal dari sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi.

Dalam peredarannya bulan mengelilingi bumi, di saat yang sama bumi mengelilingi matahari, benda-benda langit yang lain juga mengelilingi matahari (perhatikan QS. Yasin [36] ayat 39-40). “Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah hingga kembali sebagai tandan tua. Tidaklah matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada orbitnya” (QS. Yasin [36] : 39-40).

Akibat dari peredaran bulan mengelilingi bumi ini posisi atau kedudukan bulan dalam pergerakan hariannya senantiasa berubah-ubah, fenomena ini disebut fase-fase bulan (Arab: aujuh al-qamar, Inggris: phases of the moon).

Secara fikih, hilal adalah bagian bulan yang terlihat pada hari pertama dan hari kedua. Sedangkan secara astronomis, hilal adalah yang muncul sejak hari pertama sampai hari ketujuh, dan hilal merupakan satu bagian dari fase-fase bulan. Baik menggunakan hisab maupun rukyat, syariat menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai standar acuan dalam penentuan awal bulan (lihat QS. Al-Baqarah [02] ayat 189). “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah ia sebagai pertanda waktu bagi manusia dan ibadah haji” (QS. Al-Baqarah [02] : 189).

Dalam Islam, waktu-waktu ibadah didasarkan pada gerak dan peredaran bulan dan matahari. Bulan dan matahari adalah dua benda langit yang paling mudah diketahui dan disaksikan oleh manusia posisi dan kedudukannya setiap hari dari bumi. Matahari dijadikan dasar dalam penentuan waktu-waktu salat (QS. Al-Isra’ [17] ayat 78).

“Kerjakanlah salat itu dari sejak matahari tergelincir sampai gelap malam, dan kerjakanlah salat Subuh. Sungguh salat Subuh itu disaksikan” (QS. Al-Isra’ [17: 78). Sementara dalam penentuan awal bulan, Islam mendasarkannya pada peredaran faktual bulan (QS. Al-Baqarah [02] ayat 189).

Pantau Hilai Foto Dok OIF/SM

Secara garis besar, metode penentuan awal bulan ada dua, yaitu metode rukyat dan metode hisab. Rukyat (Arab: ar-ru’yah) secara sederhana bermakna melihat. Kata ru’yah terbentuk dari akar kata “ra’a”, “yara”, “Ra’yan” dan “ru’yatan”  yang mengandung makna ‘melihat’.

Ar-Razi dalam “Mukhtar ash-Shihhah” dan Ibn Manzhur dalam “Lisan al-‘Arab” menjelaskan akar kata ar ru’yah yang bermakna melihat dengan mata (bi al-‘ain) jika memuat satu obyek (maf’ul wahid). Namun ar ru’yah akan bermakna ilmu jika memuat dua obyek (maf’ulain). Sementara itu Ibn Sidah, sebagai dikutip Ibn Manzhur, menyatakan ar ru’yah mengandung makna melihat dengan mata dan hati.

Rukyat dalam kaitannya dalam penentuan awal bulan adalah aktivitas melihat hilal (bulan sabit) di akhir bulan kamariah, khususnya akhir bulan Syakban, Ramadan, dan Zulkaidah untuk menentukan tanggal satu. Hukum melakukan rukyatul hilal di kalangan fukaha adalah satu keharusan kolektif (fardu kifayah).

Dalam praktiknya, menurut sebagian kalangan ulama, rukyat bersifat tunduk patuh atau ta’abbudi dan mendapat penegasan langsung dari Nabi Saw, dimana terdapat sejumlah hadis yang menyatakan tentang rukyat di mana antara satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling menguatkan. Bahkan, mayoritas fukaha, sebagaimana tertera dalam kitab-kitab klasik, menyatakan rukyat sebagai satu-satunya tata cara sah dalam menentukan awal bulan kamariah.

Dalam praktiknya, ada tiga faktor kunci keberhasilan rukyat secara ilmiah, faktor pertama adalah faktor astronomis yaitu bulan telah terjadi ijtimak, hilal telah wujud di atas ufuk, dan hilal telah mencapai ketinggian minimal untuk dapat terlihat. Faktor pertama ini dapat diperhitungkan (hisab). Faktor kedua, kondisi lapangan dan perukyat dalam keadaan baik, yaitu pengamat dalam keadaan sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, dan sudah terlatih dalam melihat hilal.

Sementara itu lingkungan pengamatan (ufuk barat) tidak terhalang oleh penghalang seperti pepohonan, gedung, gunung atau sumber cahaya dan polusi. Faktor kedua ini dapat dipersiapkan. Faktor ketiga, cuaca dalam keadaan baik.  Jika cuaca dalam keadaan tidak baik, berapapun tinggi dan umur hilal maka tidak akan terlihat. Kenyataannya faktor ketiga ini tidak dapat diperhitungkan atau dipersiapkan, ia bersifat alami.

Sementara itu hisab secara etimologi berarti perhitungan. Hisab sendiri merupakan bagian dari ilmu falak yang mempelajari pergerakan matahari, bulan, bumi dan benda-benda langit lainnya. Dengan mempelajari ilmu hisab, kita dapat menentukan arah kiblat, waktu-waktu shalat dan terjadinya gerhana. Selain itu, hisab juga dapat digunakan dalam rangka menyusun kalender.

Hisab dimaksud disini adalah metode perhitungan gerak faktual bulan dan matahari untuk menentukan tanggal satu. Kerja hisab dalam penentuan awal bulan adalah memperhitungkan posisi dan pergerakan bulan-matahari dalam gerak hakikinya. Khususnya memperkirakan terbit dan tenggelam matahari, menghitung terjadinya konjungsi, menghitung posisi bulan apakah sudah berada di atas ufuk atau belum dan seberapa besar posisinya di atas atau di bawah ufuk.

Perhitungan ini biasanya tertuang dalam rumus-rumus astronomis-matematis yang sudah disederhanakan oleh para ahli dan tertera dalam buku-buku astronomi modern. Dalam praktiknya, hisab cendrung bersifat rasional atau ta’aqqulî, dan isyarat hisab terakomodir dalam al-Qur’an, antara lain tertera dalam QS. Yunus [10] ayat 05 dan QS. Yasin [36] ayat 39-40). “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan manzilah-manzilah agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui” (QS. Yunus [10] : 05).

Dalam konteks perumusan kalender Islam, pemahaman dan pengimplementasian hisab dan rukyat adalah hal utama dan niscaya. Sebab sebuah kalender hanya dapat dibuat dengan terlebih dahulu mendefinisikan hilal. Hilal sendiri seperti diketahui ditentukan dengan dua metode yaitu hisab dan rukyat atau penggabungan keduanya.

Belakangan ini, perumusan Kalender Islam Global mengadopsi metode yang dikenal dengan imkan rukyat dan atau transfer imkan rukyat, yaitu keterlihatan atau kemungkinan terlihatnya hilal di suatu tempat di muka bumi di transfer ke seluruh dunia dengan berbagai syarat dan ketentuannya.

Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2021

Exit mobile version