Misi Mulia Manusia sebagai Basis Nilai dan Spirit Transformatif

manusia

Foto Dok Ilustrasi

Misi Mulia Manusia sebagai Basis Nilai dan Spirit Transformatif

Oleh: Agusliadi Massere

Ada sisa ingatan dalam memori, dan saya pun bersemangat untuk menyebarkannya sebagai sesuatu yang baik, positif, produktif, dan kontributif. Hanya saja, jejak yang ditinggalkan sangat sedikit. Saya pun telah berupaya untuk menelesuri kembali kemungkinan jejak itu, tetapi tidak lagi menemukannya secara utuh. Saya tetap yakin, bahwa itu akan memberikan manfaat, khususnya bagi sahabat pembaca.

Sisa ingatan dan jejak itu adalah, bahwa saya pernah membaca pandangan M. Quraish Shihab terkait “Tiga misi mulia manusia”. Mohon dimaafkan saja, saya lupa di mana, dalam buku apa saya membacanya. Tiga misi mulia manusia yang dimaksud adalah beribadah, khalifah, dan berdakwah.

Dalam forum-forum perkaderan, LDK, dan lesehan pemikiran/diskusi, saya sering mengelaborasikan antara “tiga misi mulia manusia” dan “konsep diri” (yang saya rumuskan sendiri). Tiga misi mulia manusia ini, jika dieksplorasi lebih jauh dan mendalam—bahkan saya memberikan pemaknaan progresif—akan mampu menjadi basis nilai, tanpa kecuali sebagai spirit transformatif.

Hidup ini penuh dengan kompleksitas dan hal paradoks. Selain itu, ada banyak godaan yang memiliki relasi magnetis dengan hasrat dalam diri. Jika tidak memiliki mekanisme kendali dan kesadaran, maka nilai-nilai positif pun akan terabaikan serta spirit transformatif ke arah yang lebih baik akan terlupakan, dan selanjutnya bermuara pada hasrat destruktif. Apalagi dalam kehidupan hari ini, ada sejenis mesin hasrat yang terus memproduksi dan mereproduksi hasrat destruktif.

Kehidupan pun identik dengan perubahan, dan bahkan yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ada yang bersifat evolutif dan ada pula revolutif. Selain itu, ada perubahan yang dimaknai sebagai reformatif dan ada transformatif. Analogi sederhana perubahan yang dimaknai reformatif adalah proses pergantian kulit pada ular. Sedangkan perubahan yang dimaknai transformatif adalah proses perubahan kepompong menjadi kupu-kupu.

Apapun bentuk dan sifat perubahan itu, selama mengarah kepada sesuatu yang baik, positif, produktif dan kontributif maka itu adalah sesuatu yang patut untuk diapresiasi, dihargai, dipertahankan dan dikembangkan.  Hanya saja tidak sedikit perubahan, perkembangan, dan kemajuan yang terjadi justru diikuti oleh sikap, tindakan, dan perilaku manusia yang paradoks terhadapnya.

Perubahan yang terjadi, tanpa kecuali sesuatu yang dimaknai sebagai perkembangan dan kemajuan, tidak serta-merta memperbaiki atau mengarahkan sikap, tindakan, dan perilaku manusia ke arah yang lebih baik dan positif. Padahal ibarat teknologi, secanggih apapun hardware dan software­­-nya, bahkan operating system (OS)nya, namun humanware (aspek manusia)-nya tetap menjadi pemegang kendali utama dan strategis.

Manusia memiliki peran dan posisi strategis dalam kehidupan ini. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap perubahan, perkembangan dan/atau kemajuan yang terjadi, asas manfaat dan kebaikannya sangat tergantung dari manusianya yang menjadi aktor di dalamnya. Untuk kepentingan ini, manusia secara personal dan kolektif harus memperhatikan, mengetahui, memahami, menyadari, dan mengimplementasikan nilai dan spirit yang terkandung dalam “tiga misi mulia manusia” tersebut.

Tiga Misi Mulia Manusia

Misi mulia manusia yang pertama adalah beribadah. Allah berfirman dalam QS. Az-Zariyat [51]: 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Firman Allah inilah yang menegaskan misi mulia pertama manusia. Dalam kehidupan ini, tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah.

Beribadah, sebagaimana yang saya rumuskan dalam “Konsep Diri”, bukan hanya menjalankan lima-rukun Islam, tetapi segala bentuk sikap, tindakan dan/atau perilaku manusia atau seseorang harus bahkan wajib dalam bingkai “beribadah”. Saya memberikan pemaknaan progresif terkait “beribadah”—bukan dalam tujuan menafsirkan ulang ayat tersebut—adalah rida atau rahmat Allah. Artinya apapun sikap, tindakan atau aktivitas yang akan kita lakukan harus dibingkai atas rida dan/atau rahmat Allah.

Seseorang yang senantiasa menjadikan rida dan/atau rahmat Allah sebagai bingkai, indikator dan/atau barometer dalam sikap dan tindakannya, maka kebenaran, kebaikan, dan keindahan akan senantiasa mewarnai setiap episode kehidupannya. Dan hal ini, akan bermuara pada sesuatu yang positif, produktif, dan kontributif.

Manusia siapa pun dia—meskipun saya menggunakan kacamata ajaran dan nilai agama Islam—dalam dirinya telah built-in sejenis operating system “beribadah” atau dalam pengertian nilai atau kecenderungan untuk senantiasa menautkan dirinya dengan rida dan/atau rahmat Allah. Hanya untuk diketahui atau diingatkan operating system (OS) dalam ilmu komputer antara lain Windows, Linux, MS Dos, Android, dan lain-lain.

Rida dan/ata rahmat Allah sebagai operating system  yang telah built-in dalam diri manusia, bisa diilustrasikan lebih menarik dan indah seperti ini, bahwa “Allah telah meniupkan dalam diri manusia irama kehidupan berupa nilai ‘beribadah’, ‘rida’, dan/atau ‘rahmat’ Allah”. Ibarat musik jika iramanya pop kemudian lagunya dangdut, bisa dipastikan alunan musiknya tidak menjadi indah dan harmonis. Akan terjadi kekacauan simfoni dan orkestrasinya. Dalam teknologi komputer pun, software dan/atau aplikasi yang akan di-install harus sesuai atau kompatibel dengan OS-nya. Begitu pun jika hal ini dikontekstualisasikan dalam kehidupan.

Manusia yang memiliki pemahaman dan kesadaran akan misi mulia pertama ini, jika dirinya adalah penyelenggara negara tanpa kecuali penyelenggara pemilu, akan melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan penuh rasa tanggungjawab, sesuai aturan, dan kode etik yang mengikatnya, dan suara hati yang senantiasa membisikkan kebenaran dan kebaikan. Dalam konteks Pemilu dan/atau Pemilihan, jika misi mulia pertama ini menjadi bingkai, maka bisa dipastikan tidak ada lagi praktik politik uang yang mewarnai

Dalam kontestasi atau proses seleksi, jika orang-orang yang terlibat di dalamnya terutama yang berperan sebagai peserta menjadikan misi mulia pertama manusia sebagai bingkai, indikator atau barometer, maka dirinya tidak akan pernah menghalalkan berbagai cara. Mereka akan menempuh cara-cara yang benar, baik, dan etis,  tidak menggunakan strategi politik uang, menyogok, dan menyuap.

Pejabat negara yang menyadari misi mulia ini, bisa dipastikan jauh dari sikap koruptif dan berbagai bentuk penyelewengan jabatan lainnya. Bahkan pada level bawah seperti siswa, mahasiwa dan/atau pelajar tidak lagi melakukan perbuatan yang paradoks atau kontraprouktif dengan hakikat dirinya seperti melakukan kebiasaan nyontek, malas belajar, dan bolos.

Mengapa misi mulia pertama ini diyakini mampu mencegah dan menjauhkan diri dari perbuatan negatif karena kita akan senantiasa menjadikannya sebagai barometer atau indikator. Dalam forum perkaderan dan LDK untuk penguatan misi mulia pertama ini, seringkali saya mengajukan pertanyaan sederhana. Apakah nyotek dan bolos diridai Allah? Jawabannya “tidak”. Dan saya pun menegaskan bahwa itu tidak sesuai dengan iramah kehidupan yang Allah tiupkan dalam diri manusia. Salah satu buktinya, setiap pelaku kejahatan atau perbuatan negatif, seperti, nyontek, bolos, menipu mencuri, apalagi skala besar seperti korupsi, pasti bagi pelakunya, hatinya tidak tenang.

Jadi apapun perbuatan yang dilakukan jika tidak sesuai dengan irama kehidupan, operating system (OS) manusia, atau rida/rahmat Allah, maka bisa dipastikan tidak memberikan ketenangan dan kebahagiaan hati.

Misi mulia kedua manusia adalah sebagai khalifah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]:30, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu  berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’….” Firman lain Allah dalam QS. An-Naml [27]: 62, “…dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi….”

Misi mulia kedua manusia ini, saya integrasikan, elaborasikan, dan memberikan makna progresif sesuai dengan sifat kepemimpinan. Dalam hal ini, saya mendapatkan pemahaman bahwa dengan misi mulia kedua manusia ini, siapa pun atau setiap dari diri kita yang menyandang status sebagai manusia, idealnya harus senantiasa mengarahkan potensi dirinya, orang lain, dan alam semesta atau lingkungan sekitarnya ke arah yang lebih baik, positif, produktif dan kontributif. Meskipun pemaknaan ini berbeda dengan defenisi kepemimpinan yang lazim kita pahami, tetapi secara substansial menunjukkan core value-nya.

Terkait ini pun, dalam forum perkaderan dan LDK, saya sering bertanya kepada siswa dan/atau peserta, apakah nyontek, malas belajar, dan bolos, mengarahkan potensi dirinya ke arah yang lebih baik dan positif. Mereka semua selalu menyadari dan memberikan jawaban “tidak”. Korupsi dan penyelewengan jabatan pun, yang terkadang dilakoni oleh oknum pejabat tertentu, itu bisa dimaknai selain mengkhianati misi mulia pertamanya sebagai manusia, juga mengkhianati misi mulia keduanya sebagai manusia, yaitu sebagai “khalifah”.  Sekali lagi, sebagai pemaknaan progresif dari “khalifah”—meskipun saya sedang tidak bermaksud menafsirkan ayat karena saya tidak punya kapasitas untuk itu—senantiasa mengarahkan potensi yang ada ke arah yang lebih baik dan positif.

Misi mulia ketiga manusia adalah berdakwah. Ada sejumlah ayat dalam Al-Qur’an yang secara substansial mengandung makna perintah dan/atau tugas berdakwah. Salah satu Firman Allah terdapat dalam QS. Al-Imran ayat [3]:104. Misi berdakwah ini, adalah sesuatu yang sangat penting dan strategis untuk mentransmisikan kebenaran, kebaikan dan berbagai informasi yang bisa memengaruhi nalar manusia, tanpa kecuali terkait urgensi, signifikansi, dan implikasi besar tiga misi mulia manusia yang sedang dibahas ini.

Berdakwah hari ini, tidak lagi terbatas hanya di atas mimbar masjid. tetapi dan sangat diharapkan untuk memaksimalkan dakwah melalui dunia virtual atau di media sosial, sebagai konsekuensi logis atas perubahan dan kemajuan kehidupan yang identik dengan era digital. Hanya saja untuk memaksimalkan misi mulia ketiga manusia ini, harus disadari urgensi daripada literasi sebagai spirit dari ajaran atau perintah pertama dan utama dalam Al-Qur’an yaitu iqra.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version