“Mindset” Direksi RSMA

“Mindset” Direksi RSMA

“Mindset” Direksi RSMA

Oleh: Nurcholid Umam Kurniawan dan Wildan

“Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan

hari Kemudian? Maka itu yang mendorong dengan keras

anak yatim dan tidak menganjurkan memberi pangan

orang yang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang

yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalat mereka,

orang-orang yang berbuat riya, dan menghalangi (menolong

dengan) barang berguna” (QS al-Ma’un [107] : 1 – 7).

Yamg dimaksud dengan mindset adalah pola pikir, brain – mind – behaviour (otak – pikiran – perilaku), sedangkan RSMA adalah singkatan dari Rumah Sakit Muhammadiyan ‘Aisyiyah.

Menurut Shihab (2012), pertanyaan yang diajukan ayat pertama, dalam surah tersebut di atas, ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pertanyaan itu, ayat di atas mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu keberagamaan dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil.

Seseorang yang kehidupannya dikuasai kekinian dan kedisinian (now and here) tidak akan memandang ke hari Kemudian yang berada jauh di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan ad-Din, baik dalam arti agama lebih-lebih lagi dalam arti hari Kemudian.

Agama menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini bukan sekedar kepercayaan kepada Allah atau malaikat, tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan.

Menurut sementara ulama, dalam shalat yang dilaksanakan seorang muslim telah terhimpun segala bentuk dan cara penghormatan serta pengagungan yang dikenal oleh umat manusia sepanjang perjalanan sejarahnya. Ada orang yang menunjukkan penghormatan serta pengagungannya kepada sesuatu dengan pengakuan dan ucapan memuji atau memuja, ada juga dengan berdiri tegak lurus, atau dengan rukuk, atau sujud, dan sebagainya. Itulah cara-cara yang ditempuh manusia guna memberi penghormatan dan pengagungan kepada sesuatu, dan itu pula sebagian dari apa yang dilakukan seorang muslim di dalam shalatnya. Walhasil, dapat disimpulkan bahwa shalat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah, sekaligus menggambarkan kegungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah manusia bermuka dua (riya) ketika melakukannya, wajarkah bahkan mampukah manusia menipu-Nya? Mereka yang berbuat demikian tidak menghayati esensi shalatnya serta lalai dari tujuannya.

Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya. Kalau demikian, wajarkah yang butuh ini menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Tuhan? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah akan membantunya selama ia membantu pula saudaranya? Bukankah Nabi Saw. telah bersabda : “Allah akan memberi pertolongan kepada seseorang selama ia memberi pertolongan kepada saudaranya”. Jika ia enggan memberi pertolongan, pada hakikatnya ia tidak menghayati arti dan tujuan shalat.

Surah al-Ma’un yang terdiri dari 7 ayat pendek ini berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial atau membiarkan berjalan sendiri-sendiri. Ajaran – sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat di atas – menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung, dalam jiwa dan esensinya, dimensi sosial sehingga jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi, pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.

Dari surah ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat. Pertama, keikhlasan melakukannya demi karena Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-orang lemah dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.

Demikan terlihat agama yang diturunkan Allah ini menuntut kebersihan jiwa, jalinan kasih sayang, kebersamaan, dan gotong royong antara sesama  makhluk Allah karena, tanpa semua itu, mereka yang shalat pun dinilai Allah sebagai mendustakan agama atau hari Kemudian.

Sayyid Quthub (Shihab, 2012), dalam tafsirnya menulis : “Mungkin jawaban al-Qur’an tentang siapa yang mendustakan agama atau hari Kemudian yang dikemukakan dalam surah ini mengagetkan jika dibandingkan dengan iman secara tradisional, tetapi yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan  pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkannya itu sebab, kalau tidak, itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandang-Nya”.

Akhirnya, menurut Shihab (2012), dari surah ini juga ditarik kesimpulan bahwa kewajiban dan tuntunan agama yang ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk kemaslahatan seluruh makhluk khususnya umat manusia. Allah menghendaki, di balik kewajiban dan tuntunan itu, keharmonisan hubungan antar – seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

Menurut Nashir (2021), kisah pelajaran al-Ma’un oleh Kyai Dahlan kepada para muridnya telah melegenda dalam sejarah Muhammadiyah. Berulangkali Kyai Dahlan mengajarkan surah ke-107 dalam al-Qur’an itu, yang menunjukkkan pentingnya ajaran agama diamalkan secara langsung dan nyata dalam kehidupan para pemeluknya, bukan sekedar dihafalkan dan menjadi pengetahuan belaka. Inilah terobosan baru dari pendiri Muhammadiyah dalam berdakwah, yang secara menonjol menampilkan Islam sebagai Din al-‘Amal (Islam sebagai agama amal).

Kyai Dahlan secara tidak langsung melalui pengajaran al-Ma’un melakukan kritik dan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap cara pandang verbal tentang Islam. Hafal tidak sama dengan paham dan paham berarti harus dibuktikan dengan tindakan amal yang konsisten. Jika merasa hafal dan paham surah al-Ma’un bukan sekedar di lisan atau pikiran, tetapi dipraktikkan dengan jalan mengentaskan anak yatim dan orang miskin untuk dirawat sebagaimana mestinya. Islam juga tidak dibiarkan berada dalam doktrin tanpa aplikasi serta indah di lisan dan tulisan tetapi minus tindakan yang mencerahkan.

Pendiri Muhammadiyah sendiri bahkan memiliki pandangan dan etos amal yang luar biasa. Menurut Kyai Dahlan, manusia itu harus sungguh-sungguh dalam bekerja atau berusaha. Mereka yang bersungguh-sungguh saja belum tentu langsung berhasil, apalagi yang tidak bersungguh-sungguh. Manusia, menurut Kyai Dahlan, juga harus menguasai ilmu-ilmu praktis, di samping ilmu-ilmu teoritis. Dalam tradisi Muhammadiyah di belakang hari berkembang istilah ilmu-amaliah dan amal-ilmiah, yang dalam rujukan mutakhir disebut dengan praksis. Itulah jiwa al-Ma’un untuk melahirkan praksis sosial sebagai pengejawantahan dari Islam sebagai Din al-‘Amal.

Jika al-Ma’un dapat dikatakan sebagai ajaran amal atau Din al-‘Amal, maka hal itu memiliki landasan yang sangat kokoh dalam ajaran Islam yang memang mengutamakan amal. Namun, amal al-Ma’un bukan sekedar amal, tetapi amal yang membebaskan. Yakni, amal yang membebaskan anak yatim dan orang miskin sebagai simbol dari kaum mustadh’afin, yaitu mereka yang lemah dan terlemahkan atau tertindas. Karenanya, melalui al-Ma’un kuat sekali karakter Islam sebagai “agama pembebasan” (the religion of liberation).

“Mindset” dan Kepemimpinan

Pada 2001 terjadi sesuatu yang mengguncang dunia bisnis. Enron – contoh sempurna perusahaan, perusahaan masa depan – bangkrut. Apa yang terjadi? Bagaimana janji yang demikian spektakuler berubah menjadi bencana yang juga demikian spektakuler? Apakah karena ketidakcakapan? Apakah karena korupsi? Penyebabnya adalah mindset ! CEO Enron tidak cakap dalam merubah mindset bisnis mereka. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri sementara perusahaannya hanya menjadi kuda tunggangan mereka untuk mencari kekayaan dan membuka bisnis pribadinya masing-masing. Sementara para CEO semakin kaya dengan menghisap darah (keuangan) Enron, perusahaan penghasil gas alam terbesar ini lambat laun oleng, kolaps karena ketidakcakapan para CEO nya dalam mengelola aset dan omzet perusahaan ditambah munculnya perusahaan-perusahaan lain yang CEO-CEO nya lebih terbuka dan tumbuh mindset-nya yang akhirnya mampu melibas kebesaran Enron yang lini bisnisnya tidak berkembang dan manajemennya hancur penuh penipuan.

Bahwa manusia memiliki dua jenis mindset. Pertama mindset yang tumbuh (growth mindset) dan kedua mindset yang tetap (fixed mindset). Orang-orang yang bermindset tetap cenderung mementingkan apa yang didapat dari masa lalunya, yaitu prestasi sekolahnya yang tampak dalam ijazah dan gelar sekolah. Dan sekali didapat, mereka percaya bahwa prestasi itu akan berlaku selama-lamanya. Persis seperti cara pandang kita tentang IQ. Sebaliknya, yang bermindset tumbuh berani menghadapi tantangan baru. Mereka percaya bahwa kecerdasan bisa berubah sepeerti otot, yang kalau dilatih terus-menerus akan menjadi kuat dan besar dan Dweck (2006), menemukan bahwa mindset tumbuh itu kelak akan diraih oleh mereka yang berani menghadapi kesulitan dan tantangan-tantangan baru, beradaptasi dengan perubahan.

Guru dalam bidang kepemimpinan Warren Bennis (dalam Dweck, 2006) pernah meneliti para pemimpin perusahaan-perusahaan terbesar di dunia. Para pemimpin hebat ini mengatakan bahwa mereka tidak berniat menjadi pemimpin. Mereka tidak punya kepentingan untuk membuktikan diri mereka. Mereka hanya melakukan apa yang mereka cintai – dengan semangat dan antusiasme yang luar biasa – dan jalan terbuka dengan sendirinya.

Sebagai pemimpin bermindset tumbuh, mereka pertama-tama meyakini potensi dan perkembangan manusia – baik potensi dan perkembangan mereka sendiri maupun potensi dan perkembangan orang lain. Alih-alih menggunakan perusahaan sebagai alat untuk mendukung kebesaran diri sendiri, mereka menggunakannya sebagai mesin pertumbuhan – untuk diri sendiri, karyawan, dan perusahaan secara keseluruhan.

Warren Bennis pernah mengatakan bahwa terlalu banyak bos yang dikendalikan dan mengendalikan, tetapi tidak bergerak kemana-mana. Tetapi, yang jelas bos yang ber-mindset tumbuh, mereka tidak membicarakan kemewahan. Mereka membicarakan perjalanan. Sebuah perjalanan inklusif, penuh pelajaran berharga, dan penuh kegembiraan. Mereka mendengarkan, menghargai , dan membina. Ciptakanlah organisasi yang menghargai perkembangan kemampuan – dan saksikanlah munculnya para pemimpin.

Satu orang pemimpin yang terpanggil dan bergerak bisa membuat satu organisasi berubah. Itulah sikap mental self driving. Pertama, pemimpinnya harus sadar bahwa dialah pemimpin. Dia punya kehendak. Dia bukan passenger yang terbawa arus dan membiarkan dirinya dibawa angin tanpa kendali (Kasali, 2021).

Era VUCA dan Jati Diri RSMA

Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya” (KH Ahmad Dahlan, dalam buku : 100 Wisdom of Muhammadiyah, Persembahana untuk  Satu Abad Muhammadiyah, 2010).

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang besar dan terbesar selaku gerakan Islam modern, bukan hanya di indonesia tetapi bahkan di Dunia Islam. Masyarakat luas mengenal Muhammadiyah melalui lembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan gerakan dakwah lainnya yang mengakar dan meluas di seluruh tanah air. Kini Muhammadiyah bahkan meluas di ranah global dengan 22 cabang istimewa, memiliki Markaz Dakwah dan TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal di Kairo, Mesir, merintis sekolah di Melbourne, Australia dan Universitas Muhammadiyah di Malaysia, dan gerakan internasionalisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah juga banyak berperan dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan sehingga menjadi gerakan Islam yang diperhitungkan di negeri ini. Muhammadiyah juga telah menempuh perjalanan pergerakannya lebih satu abad dan kini memasuki abad kedua. Namun, di balik sejarah panjang dan kebesaran Muhammadiyah itu boleh jadi tidak semua mengetahui dan memahami apa dan bagaimana sejatinya gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada 1912 itu (Nashir, 2021).

Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah Islam, amar makruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912, bertujuan : menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah Swt. yang terkenal dengan istilah baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur, menjadi keinginan setiap muslim, perlu selalu dicanangkan (Abdurrahman, 2012).

Menurut Kuntowijayo (2000, dalam Chamamah Soeratno et al, 2009), mengungkapkan bahwa pada waktu itu Kyai Dahlan dihadapkan dengan tiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Persoalan modernisme telah dijawab oleh Kyai Dahlan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Pendidikan dijadikan sasaran prioritas Kyai Dahlan karena melalui lembaga tersebut sangat dimungkinkan terjadinya proses transformasi kebudayaan kepada anak didik.

Sebagai jawaban atas persoalan tradisionalisme masyarakat Kyai Dahlan melakukan tabligh. Kegiatan tabligh yang dilakukan Kyai Dahlan waktu itu telah melawan arus besar mainstream budaya tabligh pada umumnya. Dengan mengedepankan motif pembaharuan dan semangat berkemajuan, tabligh Kyai Dahlan justru dilakukan dengan mendatangi murid-muridnya. Padahal, tindakan demikian (guru mendatangi murid) merupakan suatu “aib sosial” dalam pandangan yang berkembang di masyarakat. Namun, Kyai Dahlan tidak menghiraukan pandangan masyarakat tersebut. Bahkan tidak hanya mendatangi murid-murid, Kyai Dahlan juga mengantar murid-muridnya pergi berekreasi ke Sri Wedari, Solo. Dalam hal ini, Kyai Dahlan justru mengubah posisinya dari ulama menjadi guru yang dekat murid-muridnya. Karena Kyai Dahlan ingin melakukan proses demitologi posisi ulama yang pada masa itu sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan ulama di zaman tradisional (klasik) hanya bisa “disentuh” oleh orang-orang tertentu, seperti para santri dan mereka golongan ningrat yang dekat dengannya.

Adalah kecenderungan umum para ulama memiliki tradisi oral (lisan) dalam menyampaikan dakwah, Kyai Dahlan mengubah tradisi lisan menjadi budaya tulis-menulis. Langkah perubahan ini dapat dilihat melalui usaha Kyai Dahlan saat mendirikan Majalah berbahasa Jawa, Suwara Muhammadiyah. Majalah ini didirikan pada tahun 1915, selang tiga tahun setelah Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa edisi kedua majalah tersebut telah terbit pada tahun 1913. Dikatakan bahwa majalah terbitan tahun 1913 tersebut ditemukan oleh Kuntowijoyo di Leiden, Belanda.

Adapun dalam rangka menghadapi Jawaisme, Kyai Dahlan justru menggunakan metode positive action (dengan selalu mengedapankan amar ma’ruf), dan bukannya menyerang tradisi serta kepercayaan Jawaisme (nahi munkar). Prinsip dakwah yang penuh dengan kesahajaan dan kelembutan terhadap kepercayaan masyarakat Jawa telah menjadikan Kyai Dahlan sebagai sosok yang cukup disegani. Pada waktu itu, Kyai Dahlan benar-benar toleran dengan Jawaisme yang berkembang ditengah-tengah kepercayaan masyarakat luas. Dalam konteks kontemporer, metode dakwah yang diterapkan oleh Kyai Dahlan itu merupakan salah satu bentuk dari dakwah kultural. Sebagai sebuah metode, dakwah kultural yang dikedepankan oleh Kyai Dahlan itu ditunjukkan dengan sikap akomodatifnya terhadap tradisi Jawaisme.

Hanya saja, metode kultural yang selalu dikedepankan oleh Kyai Dahlan tersebut lambat laun berlaku surut. Sekilas nampak adanya keterputusan sejarah antara generasi awal Muhammadiyah dengan apa yang terjadi saat sekarang. Hal ini dapat dilihat secara langsung berdasarkan kecenderungan sebagian warga Muhammadiyah yang tidak toleran terhadap tradisi lokal. Kebiasaan sebagian warga Muhammadiyah yang selalu terburu-buru dalam memberikan justifikasi bid’ah, khurafat, dan syirik terhadap tradisi budaya lokal sesungguhnya sangat berseberangan dengan metode positive action yang digunakan oleh Kyai Dahlan.

Menghadapi dinamika global saat ini yang berada dalam era VUCA (volatile,uncertain, complex, ambiguous / bergejolak, tak pasti, kompleks, dan serba ambigu), kita mesti serius mewujudkan RSMA  yang maju dan modern tanpa kehilangan jati diri RSMA. Dengan kata lain, teguh dalam prinsip, yaitu surah al-Ma’un, fleksibel dalam implementasinya. Karena tugas direksi adalah melakukan hal yang benar (do the right thing), sedangkan manajer adalah melakukan hal dengan benar (do the thing right).

Di antara keunggulan Muhammadiyah dibanding gerakan Islam lain ialah kekuatan amal usaha yang dimilikinya. Dari lembaga pendidikan dan kesehatan hingga pelayanan sosial dan ekonomi semuanya tersebar di seluruh Nusantara. Amal usaha itu merupakan wujud dakwah bil-hal Muhammadiyah yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas, sekaligus menjadi pilar strategis kemajuan umat Islam (Nashir, 2021).

Menurut Haedar Nashir (2021), dalam bukunya : Kuliah Kemuhammadiyahan, bahwa salah satu tantangan Muhammadiyah adalah kondisi umat Islam maupun mayoritas masyarakat Indonesia yang masih miskin, marginal, dan tertinggal dalam sejumlah bidang kehidupan. Kondisi yang demikian dapat menjadi titik rawan bagi berbagai masalah yang saling tumpah-tindih, sehingga semakin menambah beban masalah dalam kehidupan umat Islam dan masyarakat di negeri ini. Masyarakat yang miskin dan marginal bahkan menjadi titik rawan bagi eksploitasi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Di sinilah pentingnya dakwah bil-hal yang tersistem dan berorientasi pada penguatan dan pemberdayaan, selain dakwah bi-lisan yang selama ini secara konvensional banyak dilakukan lembaga-lembaga dakwah. Gerakan al-Ma’un harus diterjemahkan dan diaktualisasikan lebih kreatif dan inovatif dalam berbagai model, sehingga umat dan masyarakat luas memperoleh kemaslahatan dari kehadiran dakwah Muhammadiyah.

Last but not least, “Semangat untuk mengembangkan diri dan tetap melakukannya, sekalipun (atau khususnya) ketika keadaan tidak berjalan dengan baik, merupakan tanda mindset tumbuh. Mindset inilah yang memungkinkan orang-orang untuk berkembang ketika mengalami masa-masa paling menantang dalam hidup mereka” (Carol S Dweck, 2006, dalam bukunya  : Mindset : The New Psychology of Success yang diterjemahkan dengan judul Mindset).

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD.

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul.

Exit mobile version