Madrasah Mufidah yang Didirikan KH Mas Mansur dan Keprihatinan HM Noer

Madrasah Mufidah yang Didirikan KH Mas Mansur dan Keprihatinan HM Noer

Madrasah Mufidah yang Didirikan KH Mas Mansur dan Keprihatinan HM Noer

Nama Madrasah Mufidah cukup populer di Surabaya. Lembaga pendidikan formal yang didirikan KH Mas Mansur, tokoh berpengaruh di Muhammadiyah itu, memiliki sejarah panjang terhadap perkembangan Kota Pahlawan. Madrasah yang didirikan tahun 1922 ini juga layak ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.

Awalnya, lembaga pendidikan yang berlokasi di Jalan Kalimas Udik IC/1, Surabaya ini berbentuk madrasah. Namun pengajaran yang diberikan bukan hanya pelajaran agama Islam, tapi juga pelajaran umum seperti matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan lainnya.

“Kala itu, Madrasah Mufidah bernaung di bawah departemen agama dan departemen pendidikan. Waktu itu boleh ikut dua departemen,” ungkap Mizan Lazim, penasihat pendidikan dan guru paling senior di Madrasah Mufidah.

Pada tahun 2000-an, terang dia, lembaga pendidikan ini berganti, dari madrasah menjadi TK-SD Islam Mufidah. Statusnya Terakreditasi B. Bernaung di bawah kewenangannya departemen pendidikan. Pengelolanya, Yayasan KH Mas Mansur.

Kendati namanya telah berubah, tapi banyak orang masih mengenal dengan menyebut Madrasah Mufidah. Lebih melekat di ingatan dan lebih dikenal.

Mizan lalu menuturkan, saat ini, tercatat ada 240 siswa sekolah dasar (SD) dan 75 siswa taman kanak-kanak (TK). Totalnya 315 siswa. Biaya pendidikan alias Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk SD dan TK sama: Rp 75 ribu per bulan.

“Dari jumlah itu, sebanyak 25 persen siswa di sini bayarnya tidak penuh. Hanya Rp 25 ribu per bulan,” beber dia.

Kondisi tersebut membuat Madrasah Mufidah tidak kelewat mampu untuk memberikan fasilitas-fasilitas penunjang pendidikan yang memadai. Seperti halnya yang dilakukan sekolah-sekolah yang dikelola dan menjadi Amal Usaha Muhammadiyah.

Mizan mengaku, pihak sekolah tak kuasa memaksa para siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Karenanya, mereka tak keberatan ketika ada beberapa wali siswa yang menyatakan hanya bisa bayar sekolah Rp 25 ribu per bulan.

Tak cuma itu saja. Menurut Mizan, pihaknya telah memberikan rekomendasi kepada para wali siswa yang ingin mendapatkan bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya. Di mana, ada bantuan khusus yang diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Program bantuan untuk MBR ini sudah dilaksanakan sejak kepemimpinan Tri Rismaharini, saat itu masih menjabat wali kota Surabaya dan kini menjabat Menteri Sosial. Program tersebut kini dilanjutkan olah penggantinya, Wali Kota Eri Cahyadi.

“Tapi meski pun sudah dapat bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya, mereka tetap tidak bayar penuh,” jelas Mizan, lalu tersenyum.

Bantuan HM Noer

Suatu ketika, surat kabar lokal di Surabaya menulis tentang kondisi Madrasah Mufidah. Sekolah yang berada di kawasan Surabaya Utara tersebut harus berjibaku di tengah kesulitan finansial. Banyak siswanya berasal dari kalangan kurang mampu.

Surat kabar tersebut melaporkan, betapa berat posisi Madrasah Mufidah yang harus bersaing dengan sekolah-sekolah lebih maju dan modern. Namun semangat para pendidik madrasah itu pernah tak surut.

Kabar tersebut sampai juga kepada HM Noer, yang kala itu sudah tidak menjabat lagi sebagai gubernur Jawa Timur. Pria bernama lengkap Raden Panji Mohammad Noer itu trenyuh dan prihatin dengan kondisi yang dialami Madrasah Mufidah.

Karena itu, HM Noer yang dikenal sebagai sosok egaliter itu, lantas memberikan bantuan kepada Madrasah Mufidah.

“Saya tidak ingat tanggalnya. Yang pasti, Pak Noer nyumbang untuk madrasah ini. Besarnya Rp 250 ribu. Saat itu relatif besar. Cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan sekolah,” ungkap Mizan Lazim.

Saat wawancara, saya berinisiatif mengontak Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sadaqah Muhammadiyah (Lazismu) Jawa Timu, drh Zainul Muslimin.

Saya ceritakan kondisi Madrasah Mufidah yang sangat butuh bantuan. Karena saya tahu distribusi bantuan yang diberikan Lazismu bukan hanya kepada warga maupun institusi milik Muhammadiyah saja. Tapi kepada masyarakat atau lembaga yang membtuhkan dan dianggap layak  menerima bantuan.

“Silakan bikin surat, Mas. Lazismu siap membantu,” tandas Zainul.

“Lebih bagus kalau disampaikan langsung ke PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah)-nya,” imbuh pria yang menamatkan studi di Fakultas Kedoteran Hewan IPB itu.

Pembicaraan via handphone dengan Zainul Muslimin tersebut didengar langsung oleh Mizan. Termasuk terkait perlunya membuat surat pengajuan bantuan.

Mizan bergeming seraya bilang, ”Sejak dulu kami tak terbiasa minta sumbangan. Tidak bikin surat atau proposal.”

“Kami punya prinsip in tanṣurullāha yanṣurkum wa yuṡabbit aqdāmakum,” timpal dia. Yang dimaksud Mizan adalah, “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad: 7).

Dikatakan Mizan. Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) pernah memberikan bantuan meski Madrasah Mufidah tidak mengajukan surat bantuan. Bantuan dari YDSF bukan berupa uang, tapi sarana dan prasarana sekolah. Pemberian bangku, meja, almari, dan lain sebagainya. Juga bantuan pengajaran  membaca Alquran dengan metode Ummi.

 

Lembur Les-Lesan

Pembiayaan pendidikan di Madrasah Mufidah memang sangat terbatas. Hingga sekarang, operasional madrasah tersebut seratus persen mengandalkan pemasukan SPP para siswanya.

Jika seluruh siswa TK dan SD membayar penuh SPP sebesar Rp 75 ribu, pendapatan madrasah sebesar Rp 23.625.000 sebulan. Padahal sekitar 25 persen siswanya tidak bayar penuh, yakni sebesar Rp 25 ribu per bulan.

Menurut Mizan Lazim, dari 15 tenaga pendidik di Madrasah Mufidah, gaji terendah sebesar Rp 750 per bulan, sedang gaji tertinggi sebesar Rp 2 juta sebulan.

“Ya, tentu tidak sebanding dengan sekolah-sekolah lain,” aku dia.

Keterbatasan finansial itu membuat pengelola Madrasah Mufidah harus putar otak lebih keras. Di satu sisi, mereka dituntut menambah siswa dan memperbaiki kualitas sekolah. Sementara budget promosi sangat terbatas. Jangankan untuk iklan atau bikin event, untuk cetak leaflet promosi sekolah saja mereka harus berhitung benar.

Meski terbilang gajiya relatif kecil, namun hampir sepuluh tahun lebih tidak ada guru Madrasah Mufidah yang resign alias mengundurkan diri.

“Ada satu sih, mundur karena bekerja di luar kota, tapi kemudian ingin bergabung kembali. Saya bilang kebutuhan sekarang tidak nambah guru, tapi nambah siswa,” ucap Mizan, lalu tersenyum.

Dari kecilnya pendapatan itu, banyak guru Madrasah Mufidah yang mengajar les. Itu dilakukan di luar aktivitas sekolah yang masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 13.20.

“Para guru bisa lembur di sini sampai jam 10 malam. Mereka ngajar les setelah selesai mengajar di sekolah,” beber Mizan.

Pengajaran di Madrasah Mufidah telah melahirkan siswa-siswa bertalenda. Khususnya pelajaran membaca Alquran. Beberapa siswa madrasah mampu memenangi lomba tahfidz dan tartil yang diadakan diluar sekolah. Beberapa piala yang ditunjukkan salah satunya Lombah Tahfidz yang diadaan SD Al Irsyad Surabaya.

“Di sini ada delapan guru yang khusus mengajar Alquran,” sebut dia.

Madrasah Mufidah sudah berusia 100 tahun alias satu abad, terhitung sejak didirikan tahun 1922. Dengan segala keterbatasan, madrasah ini mampu bertahan di tengah persaingan sekolah yang ketat.  Seperti namanya, Mufidah yang terus menebar manfaat dan berguna bagi masyarakat. (*)

 

*) Agus Wahyudi, Jurnalis yang tinggal di Surabaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version