Pluralisme Muhammadiyah

Pluralisme Muhammadiyah

Oleh: Abd Rohim Ghazali

Pluralisme yang dimaksud bukan paham yang menyamaratakan semua agama dengan kebenaran relatif sebagaimana yang diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pluralisme Muhammadiyah adalah Muhammadiyah yang menjadi tempat interaksi antara berbagai kelompok yang saling menghormati satu sama lain. Muhammadiyah terbuka dan menerima perbedaan sebagai sunnatullah.

Dengan merujuk sumber-sumber terpercaya, Wikipedia memaknai pluralisme sebagai paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing.

Secara legal formal, Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan (perhimpunan/persyarikatan) Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Meskipun organisasi Islam, secara faktual Muhammadiyah menjadi tempat penyemaian kader dari beragam agama, dan beragam mazhab.

Hampir semua agama resmi yang ada di Indonesia bisa dipastikan ada yang menempuh pendidikan di Muhammadiyah karena lembaga pendidikan Muhammadiyah berada di seantero nusantara. Bahkan di wilayah-wilayan yang penduduknya mayoritas non-Muslim seperti di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali, lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi tempat belajar siswa yang mayoritas non-Muslim dengan guru agama yang sesuai dengan agama siswanya.

Muhammadiyah adalah organisasi yang besar dan kompleks. Secara fisik, selain ada infrastruktur kepengurusan yang menyebar se antero nusantara, Muhammadiyah juga memiliki ratusan ribu amal usaha yang terdiri dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, lembaga ekonomi, dan lain-lain. Secara non-fisik, baik dari segi pemikiran maupun tindakan, Muhammadiyah memiliki beberapa varian. Olehnya, kita tidak bisa menyimpulkan, misalnya dengan mengklaim atau menuduh Muhammadiyah anti pluralisme atau yang semacamnya tanpa melalui proses penelitian dan kajian yang memadai.

Menurut laporan penelitian yang berhasil dipertahankan dalam Sidang Senat dan Guru Besar UGM Yogyakarta, 1 Desember 1999, Abdul Munir Mulkhan menemukan empat varian anggota Muhammadiyah: (1) kelompok Islam murni (kelompok al-ikhlas); (2) Islam murni yang tidak mengerjakan sendiri tapi toleran terhadap praktik tahayul, bid’ah, dan khurafat (kelompok Kiai Dahlan); (3) neotradisionalis (kelompok Munu, Muhammadiyah-NU); dan (4) neosinkretis (kelompok Munas, Muhammadiyah-Nasionalis, disebut juga Marmud, Marhaenis-Muhammadiyah). Sampai sekarang, hasil penelitian ini masih relevan.

Secara politik, banyak kalangan menduga, mayoritas anggota Muhammadiyah memilih Partai Amanat Nasional (PAN) dalam Pemilu 2004, disebabklan karena hubungan historis yang kuat, ditambah adanya keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah (tahun  2002 di Bali dan 2003 di Makassar) yang merekomendasikan kader terbaik untuk menjadi presiden yang kemudian dieksplisitkan dalam keputusan Sidang Pleno diperluas, Februari 2004, di Yogyakarta yang mendukung Amien Rais menjadi calon presiden.

Nyatanya, menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasca Pemilu 2004, ditemukan fakta bahwa dalam Pemilu 2004, pilihan politik anggota Muhammadiyah sangat beragam dan persentase terbesarnya tidak memilih PAN melainkan memilih Partai Golkar. Pemilih PAN berada di urutan kedua, disusul PKS, PPP, dan PDI Perjuangan. Dalam pemilu presiden pun, tidak semua anggota Muhammadiyah memilih Amien Rais.

Dari Pemilu ke Pemilu, aspirasi politik warga Muhammadiyah tidak monolitik. Jika dicermati dengan saksama, di semua partai politik peserta Pemilu, terutama pasca pemberlakuan ketentuan ambang batas parlemen (parliament threshold), hampir bisa dipastikan terdapat aktivis Muhammadiyah baik sebagai pengurus, anggota, atau sekadar sebagai pemilih.

Artinya, baik secara sosiologis maupun politis, pluralisme warga Muhammadiyah sudah terbukti di lapangan. Maka, menurut saya, jika ada yang mengatakan (menuduh) Muhammadiyah anti pluralisme, hal ini bertentangan dengan fakta-fakta historis. Muhammadiyah merupakan organisasi yang plural dan menghormati pluralisme. Tak salah jika Hajriyanto Y. Thohari pernah mengatakan, orang lain boleh berbusa-busa berbicara tentang pluralisme, tapi Muhammadiyah sudah melaksanakannya. Muhammadiyah adalah pluralis par-excellence!

Abd Rohim Ghazali, Direktur Maarif Institute

Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2021

Exit mobile version