Ke Surakarta Kita Kembali: Sontohartono Jiwa dan Raga untuk Muhammadiyah Surakarta
Oleh: Iwan KC Setiawan
Saudagar batik dari Surakarta ini bernama Raden Sontohartono. Rumahnya di daerah Keprabon, Banjarsari. Dari Puro Mangkunegaran berjarak 4 menit jalan kaki. Rumah beliau berada di pinggir Jalan KH Ahmad Dahlan yang menghubungkan jalan utama dan terpadat di Surakarta, Jalan Slamet Riyadi.
Tidak diketahui tahun berapa kelahirannya. Menurut Mohamad Ali dan Syaiful Arifin dalam Matahari Terbit di Kota Bengawan (2015) Sontohartono lahir tahun 1880-an, lebih muda dari usia Haji Misbah dan Kiai Muhtar Bukhori. Di tahun 1912, Sontohartono yang berusia 30an tahun mulai tertarik dengan dunia pergerakan. Di tahun-tahun itulah Sontohartono dan Harsolumakso, tetangganya yang juga pedagang batik menjalin kontak dengan Haji Misbah.
Kontak dengan Haji Misbah inilah yang menghasilkan pengajian rutin yang diadakan di Kampung Sewu, pinggir sungai Bengawan Solo dan dilanjutkan di rumah Harsolumakso dan Sontohartono. Dari pengajian atau kursus inilah lahir SATV, lalu menjadi Muhammadiyah Surakarta. Saat Kiai Dahlan bertablig di Solo tahun 1917, lokasi tablighnya di rumah Harsolumakso, Keprabon Tengah. Sekarang lokasi ini menjadi kompleks Mushola Aisyiyah.
Ternyatanya Tabligh yang dihadiri Kiai Dahlan banyak menarik perhatian masyarakat, terutama anggota Sarikat Islam. Rumah Harsolumakso penuh sesak. Selain rumah Harsolumakso, agenda Tabligh yang dihadiri para Mubaligh Muhammadiyah dari Yogyakarta ini juga mengambil tempat dirumah Sontohartono yang juga berada di wilayah Keprabon.
Rumah Sentohartono memang besar dan berada di tengah kota. Rumahnya memiliki semacam aula pertemuan. Di Aula yang bisa menampung 80an jamaah inilah tabligh yang menghadirkan, selain KH Ahmad Dahlan, ada Kiai Sudja, Kiai Hadjid, Kiai Fahrodin dan Ki Bagus Hadikusumo.
Setelah berdirinya Muhammadiyah Surakarta di tahun 1922, rumah Sontohartono sering digunakan untuk kegiatan Muhammadiyah dan Aisyiyiah. Ada yang menginfokan bahwa di rumah Sontohartono deklarasi pendirian Muhammadiyah Surakarta, yang dulu bernama SATV dilaksanakan. Di tahun-tahun itulah simpul Keprabron Banjarsari dengan SATV dan Laweyan dengan Sarikat Islam menjadi pusat gerakan keagamaan di Surakarta.
Seperti pedagang batik di zaman itu, Sontohartono hidup di masa bergelora. Takashi Shiraishi menyebutkan sebagai Zaman Bergerak. Simpul Laweyan dan Keprabron inilah yang menjadi penghubung dengan Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran, 2 kerajaan yang berada di Surakarta.
Jabatan Sontohartono di SATV yang berdiri pada 1917 lalu menjadi Muhammadiyah Surakarta pada 1922 tetap sama, menjadi Bendahara. Hal ini menunjukkan posisi Sontohartono sebagai sosok yang piawai mengelola keuangan di Muhammadiyah. Totalitas Sontohartono dalam persyarikatan Muhammadiyah dapat dilihat dari kemampuannya membiayai dakwah Muhammadiyah Surakarta.
Pembiayaan dakwah Muhammadiyah Surakarta juga berasal dari amal usaha, yaitu percetakan Persatuan. Percetakan ini digagas oleh Sontohartono. Bagi beliau roda organisasi kalua ingin berjalan, memerlukan sumber pendanaan. Salah satunya adalah percetakan, yang di masa itu menjadi salah satu usaha modern.
Saifudin Zuhri, mantan Menteri Agama RI dalam bukunya Berangkat Dari Pesantren memberi kesaksian, bahwa dia sesekali mengikuti pengajian Muhammadiyah di rumah orang kaya di Keprabon, Banjarsari. Yang mengisi pengajian salah satunya adalah Mulyadi Djojomartono yang menjabat Konsul Muhammadiyah Surakarta. Rumah yang dirujuk Saifudin Zuhri adalah rumah Sontohartono yang kaya raya.
Kompleks Muhammadiyah di Jalan KH Ahmad Dahlan yang terdiri dari Masjid Jami Sontohartanan, TK ABA Keprabon, Percetakan Persatuan, Kantor Mie MU dan Koperasi Simpan Pinjam Muhammadiyah adalah wakaf dari Sontohartono. Ia mewakafkan seluruh rumah dan isinya untuk Muhammadiyah Surakarta. Sontohartono adalah sosok yang total dengan harta dan jiwanya untuk kemajuan dakwah Islam Muhammadiyah.
Iwan KC Setiawan, Dosen UNISA Yogyakara, Sekretaris KOKAM Nasional dan Anggota ICMI DIY
Editor: Arief Hartanto