Bohong dan Cara Menyikapinya

Bohong

Foto Dok ilustrasi

Bohong dan Cara Menyikapinya

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Saat usia sekolah dasar, aku pernah mencuri uang receh dari saku celana ayahku. Sebenarnya, baik ayah maupun ibu tidak tau. Tapi, Ibuku curiga melihat gelagat aneh dari perilaku jajanku. Menurutnya aku agak berlebihan. Ibu sangat paham kondisi keuangan anaknya. Saat itu, tidak mungkin aku bisa membeli mainan dan beberapa jajanan sekaligus. Akhirnya, ibu dan kakak perempuanku meinterograsi.

Aku ingat betul, beberapa pertanyaan mereka sangat efektif. Langsung menukik pada inti masalah. Tidak perlu ada dua alat bukti, apalagi saksi yang melihat. Aku hanya bisa menjawab dengan terbata-bata, bingung, malu hingga tidak bisa lagi berbohong. Akhirnya, habis sudah argumenku. Aku kalah, bertekuk lutut dan mengakui segala perbuatanku.

Ibu dan kakakku harus menghukumku karena perbuatan tercela itu. Mereka mengingatkan betul bahwa perbuatanku sangat tercela. Pertama, aku mencuri uang ayah. Kedua, aku berbohong. Pesan mereka sangat jelas, bahwa kelak, di mana pun aku akan hidup, jangan pernah mengulangi perbuatan itu. Aku menangis, sedih dan malu sekali saat itu.

Ketika ibu dan kakakku harus menghukumku karena perbuatan tercela dan sikap berbohongku, tidak demikian dengan sikap ayah George Washington. Dia urung menghukum anaknya karena sang anak terbukti berani bersikap jujur, meski telah terbukti berbuat salah.

Konon, ketika George Washington berusia enam tahun, ia memiliki sebuah kapak mainan yang tajam. Seperti kebanyakan anak-anak kecil lainnya, ia menggunakan kapak itu untuk memotong pohon apa saja di sekitar rumahanya. Apes, salah satu yang ia tebas adalah pohon ceri kesayangan ayahnya.

Mengetahui pohon kesayangannya dipotong, sang ayah sangat marah. Ia ingin tahu siapa yang telah berani merusak batang pohon ceri itu. Selang beberapa waktu, George Washington datang mengaku dengan jujur bahwa dialah orang yang telah memotong pohon ceri itu. Mengetahui bahwa sang anak telah berani bersikap jujur dan mengakui kesalahannya, sang ayah rela memaafkan. Bahkan, ia memberikan apresiasi atas kejujuran dan keberaniannya.

Bohong itu Merusak

Tahun 2018, publik digegerkan oleh berita tentang peristiwa penganiayaan yang dialami oleh seorang pesohor perempuan, Ratna Sarumpaet. Ia seorang aktivis, sekaligus pendukung kuat salah satu calon Presiden Indonesia saat itu. Berita tentang penganiayaan yang-katanya- terjadi di Bandung itu tersebar luas sangat cepat. Efeknya luar biasa.

Beragam respons muncul. Baik dari para petinggi partai, politisi, tokoh masyarakat, hingga juru bicara calon Presiden. Mereka mengutuk keras perilaku tersebut. Negara dianggap telah abai. Nahas, melalui investigasi tim dari kepolisian, akhirnya ditemukan bahwa ternyata berita tersebut bohong. Nalar dan batin publik terguncang. Mereka begitu larut dalam kubangan dusta yang mengerikan.

Minggu-minggu ini, nalar waras publik juga kembali diuji oleh berita simpang siur terkait pembunuhan seorang brigadir polisi. Berita ini menggemparkan publik. Karena peristiwa itu terjadi di rumah dinas polisi berpangkat Jenderal. Punya jabatan penting di internal kepolisian. Korban dan pelakunya juga seorang polisi. Wajar jika desakan public begitu kuat agar kasus tersebut diusut secara terang benerang.

Energi para petinggi lain di kepolisian begitu tersedot oleh tuntutan public dan juga Presiden. Laman media tidak pernah sepi oleh desakan public yang terus menyeruak. Publik tidak mempercayai berita resmi dari kepolisian. Meskipun itu resmi, berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara menurut versi polisi. Tanda tanya publik akhirnya terjawab. Kepala Polisi langsung menyampaikan maklumat, bahwa selama ini telah terjadi kebohongan yang dilakukan oleh salah seorang oknum polisi. Aksi tersebut berhasil dibongkar juga oleh kepolisian, meski belum sampai pada proses pengadilan.

Satu kebohongan yang dilakukan oleh seorang polisi, ternyata bisa mengorbankan banyak orang di sekitarnya. Ada puluhan anggota polisi lain yang yang harus kehilangan jabatan. Sebagian dari mereka bahkan harus meringkuk di sel tahanan khusus anggota kepolisian. Mereka masih menunggu sidang etik. Jika terbukti bersalah, pasti akan ada sanksi untuk mereka.

Dari dua peristiwa kebohongan diatas, aku memetik beberapa pelajaran penting.

Pertama, aksi kebohongan yang dilakukan secara berjamaah, sangat rentan terbongkar ke publik. Serapi dan sekuat apapun komitmen para pelaku untuk menutupinya. Karena watak alamiah kebohongan, pasti berlawanan dengan nalar baik public.

Kedua, setiap kebohongan sekecil apapun, akan selalu diikuti oleh kebohongan berikutnya, untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Ia akan terus bertambah dan berulang-ulang sehingga menumpuk.

Ketiga, satu kebohongan kecil yang terjadi, akan berdampak buruk kepada pelaku, maupun orang lain. Efek kebohongan itu bisa menyasar siapa saja yang tidak berdosa. Bayangkan, betapa kejinya seorang pelaku kebohongan yang telah menimbulkan kerusakan kepada orang banyak.

Level kerusakan yang timbul dari satu peristiwa kebohongan, akan berkorelasi dengan sosok dan bobot pelakunya. Jika pelakunya adalah seorang figur publik, atau seorang pemimpin sebuah organisasi besar, maka efeknya juga akan sangat besar. Daya rusaknya juga akan sangat dahsyat dan bisa memakan banyak sekali korban yang akan berjatuhan, bahkan hingga masuk jeruji besi.

Menyikapi Kebohongan

Dalam panggung politik, seseorang yang mendaulat dirinya menjadi calon pemimpin, kelihatan begitu cerdas ketika memberikan janji. Namun, ia akan terlihat sebaliknya, ketika sedang berbohong karena tidak mampu menepati janjinya. “Kedunguan politik terjadi manakala pemimpin percaya bahwa rakyat selalu bisa dibohongi”. Kata Yudi Latief.

Jika kebohongan di arena politik itu dibenarkan, pada akhirnya, politik hanya akan menjadi panggung bagi orang-orang untuk memanipulasi, bukan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Apa jadinya jika kultur politik yang sejatinya begitu luhur itu telah berubah menjadi identik dengan kebohongan yang terkesan benar. Apa jadinya jika warga bangsa ini tidak lagi risau denga setiap kebohongan. Ketika ucapan pemimpin, sekalipun sekali-kali ada benarnya, akan dipandang sebagai kebohongan. Maka, tibalah kita pada fase sejarah bangsa yang sedang sakit. Karena warganya mempermaklumi kebohongan demi kebohongan.

Kebohongan mungkin akan terus terjadi. Kita tidak akan mampu mencegahnya berhenti sama sekali. Namun, bersikap bijaksana dalam menghadapi kebohongan adalah  keniscayaan.

Untuk mencegah kerusakan yang lebih luas, sikap minimalku adalah tidak akan memilih seorang calon pemimpin yang menurutku berani berbuat bohong. Bangsa besar ini tidak cukup hanya membongkar kebohongan. Jauh lebih berharga, adalah membangun mentalitas warga agar berani melawan kebohongan. Dirgahayu Negeriku.

Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Exit mobile version