Memuliakan Tetangga

Memuliakan Tetangga

Foto Dok Ilustrasi

Memuliakan Tetangga

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Manusia ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala sebagai makhluk sosial. Tidak ada seorang pun yang dapat hidup sendirian. Berkenaan dengan itu, manusia diberi hidayah naluri, pancaindra, akal, dan agama agar dapat saling mengenal sebagaimana firman-Nya di dalam Alquran surat al-Hujurat (49): 13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perem­puan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesung­guhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Se­sung­guhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Berdasarkan ayat tersebut, sungguh ironis jika terjadi tidak saling mengenal antartetangga apalagi dengan sesama muslim. Hal yang melawan kodrat jika manusia tidak mau saling mengenal. Agar tercipta keserasian di dalam kehidupan sosial, Islam telah memberikan tuntunan yang sesuai dengan kodrat manusia. Berikut ini dipaparkan bagaimana seharusnya umat Islam bertetangga.

Perintah Memuliakan Tetangga

Perintah memuliakan tetangga terdapat di dalam Alquran dan Alhadis. Di dalam Alquran surat  an-Nisa (4):36 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

 وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua; karib kerabat; anak-anak yatim; orang-orang miskin; tetangga dekat dan tetangga jauh; teman sejawat; ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Sementara itu, di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetang­ganya.”

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, jelas dan tegas bahwa umat Islam diwajikan memuliakan tetangga tidak hanya yang mempunyai hubungan darah (nasab), tetapi juga yang sama sekali tidak mempunyai hubungan nasab, bahkan, yang berbeda agama. Memang inilah bukti bahwa Islam adalah rahmatan lil’aalamiin. Islam merupakan petunjuk bagi semua manusia.

Klasifikasi Tetangga

Di dalam Tafsir Al Azhar karya Hamka (hlm. 1412) dijelaskan pengertian tetangga dekat dan tetangga jauh dengan menyitir pendapat mufasyir. Dijelaskannya bahwa tetangga dekat adalah tetangga yang seagama, sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang berbeda agama.

Ditambahkannya bahwa penyebutan kedua-duanya secara bersamaan supaya sama-sama dihormati menurut taraf kelayakannya; terjadi saling “menziarahi” dalam suasana kegembiraan, saling “melawat”  seketika ada yang sakit, dan saling “menje­nguk” seketika ada kematian.

Dijelaskannya juga bahwa muslim mukmin yang bertetangga dengan orang yang berbeda agama wajib lebih dulu memperhatikan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan hanya satu saat mengambil muka,  melainkan didorong oleh perintah agama, menen­tukan hukum dosa dan pahala, halal dan wajib.

Selanjutnya, Hamka menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertetangga dengan orang Yahudi di Medinah. Beliau selalu menunjukkan kemuliaan budi pekerti. Di dalam HR al-Bukhari dan Ibnu Umar dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja selesai menguliti, beliau sudah menyuruh khadamnya untuk mengantar dagingnya ke rumah tetangga Yahudi itu. Kemu­dian, beliau tanyakan kepada khadamnya itu sampai dua kali, “Sudahkah engkau antarkan daging itu ke rumah tetangga kita Yahudi itu?”

Sementara itu, Yunahar Ilyas di dalam bukunya Kuliah Akhlaq (hlm. 201) mengemukakan klasi­fikasi tetangga berdasarkan hubungan keluarga dan agama. Berdasarkan kedua varian itu, tetangga diklasifikannya sebagai berikut: (1) tetangga yang mempunyai satu hak, yakni hak sebagai tetangga. Tetangga ini tidak mempunyai hubungan keluarga dan tidak seagama. (2) tetangga yang mempunyai dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka seagama. (3) tetangga yang mempunyai tiga hak, yakni hak tetangga, hak seagama, dan hak keluarga.

Menurut beliau, pengklasifikasian tersebut penting dilakukan untuk menentukan prioritas. Tetangga yang mempunyai hak lebih banyak mendapat prioritas. Dalam hal memberikan bantuan materi misalnya jika kita mempunyai keterbatasan, tetangga yang mempunyai hubungan keluarga dan seagama mendapat prioritas.

Di samping klasifikasi tetangga tersebut, ada tetangga yang mempunyai hubungan nasab, tetapi berbeda agama. Tetangga yang demikian mendapat hak prioritas perhatian misalnya dalam hal menerima bantuan finansial dibandingkan tetangga yang tidak mempunyai hubungan nasab dan tidak seagama. Namun, semua tetangga yang berbeda agama jika mengalami musibah kematian memperoleh perlakuan yang sama, yakni kita tidak menyalatkannya.

Cara Memuliakan Tetangga

Banyak cara memuliakan tetangga. Secara umum dapat dikemukakan bahwa memberikan hak tetangga itulah cara memuliakannya. Apa saja hak tetangga? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dijelaskan di dalam HR Tabrani, bersabda, yang artinya,

“Hak tetangga itu adalah apabila ia sakit kamu menjenguknya; apabila ia meninggal, kamu mengiringi jenazahnya; apabila ia membutuhkan sesuatu, kamu meminjaminya; apabila tidak memiliki pakaian, kamu memberinya pakaian; apabila ia mendapat kebajikan kamu mengucapkan selamat kepadanya; apabila mendapat musibah kamu bertakziyah kepadanya; jangan engkau meninggikan rumahmu atas rumahnya sehingga angin teralang masuk ke rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali kamu memberinya sebagian dari masakan itu.”

Ucapan “Turut berduka cita atas wafatnya ….” ketika takziyah bagus, tetapi berikut ini adalah ucapan takziyah terhadap sesama muslim yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam

“Sesungguhnya kepunyaan Allah segala yang telah diambil dan kepunyaan-Nya segala yang telah diberikan dan setiap sesuatu di sisi-Nya mempunyai batas waktu yang tertentu. Bersabarlah dan harapkan pahala dari Allah.” (HR al-Bukhari)

Dari pendapat ulama dapat kita ketahui bahwa kita wajib berbuat baik kepada tetangga yang berbeda agama, tetapi sebatas dalam urusan keduniaan. Ketika takziyah tetangga yang berlainan agama misalnya, kita mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah tidak menyalatkan jenazah. Na­mun, melakukan apa pun misalnya membersihkan ruangan, mengepel lantai di rumah sahibul musibah kematian, mengatur parkir kendaraan tamu, dan menerima tamu sahibul musibah tentu boleh.

Berdasarkan surat  an-Nisa (4):36 dan HR al-Bukhari dan Muslim sebagaimana dikutip, kita pahami betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga. Bahkan, di dalam hadis Muttafaq ‘Alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Selalu Jibril memesankan kepadaku (untuk berbuat baik) dengan tetangga, sampai-sampai aku menduga bahwa tetangga akan menerima warisan.”

Sementara itu, di dalam Himpunan Putusan Tarjih jilid 3 (hlm. 456-457) dipaparkan perilaku terhadap tetangga sebagai berikut:

  1. memperlakukan tetangga dengan sebaik-baiknya, misalnya menebar salam, menjenguk atau membesarkan hati ketika sakit dan berusaha menghibur hatinya;
  2. bersikap ramah tamah dan senantiasa berlapang dada;
  3. pandai membawa diri serta menjauhkan diri dari segala perbuatan tercela atau yang menim­bulkan persengketaan;
  4. saling mengunjungi untuk mengikat tali silaturahim yang dapat mengukuhkan hubungan persau­daraan;
  5. saling membantu dalam berbagai hal yang biasa dilakukan dalam masyarakat, misalnya, adat istiadat serta tradisi-tradisi setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam;
  6. memelihara dan menjaga kehormatan serta nama baik tetangga;
  7. saling menasihati dalam hal-hal yang dipandang perlu, sebagai perwujudan kewajiban ber-amar makruf nahi munkar dengan sabar dan santun;
  8. menghindari perbuatan menyelidiki rahasia tetangga, baik perilaku maupun kehidup­annya;
  9. tidak menyakiti dan mengecewakan tetangga, baik secara perkataan, sikap, maupun perbuatan;
  10. melindungi tetangga dari perlakuan yang zalim, kekerasan, penganiayaan, ataupun perbuatan kasar;
  11. menanggung penderitaan tetangga

Berkenaan dengan  kesebelas butir perilakku terhadap tetangga dalam usaha memuliakannya, ada beberapa hal yang perlu lebih kita pahami agar dalam pengamalannya tidak menyimpang dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pada butir pertama terdapat perilaku menebar salam. Tentu pengamalannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni kepada tetangga nonmuslim, kita tidak mengucapkan salam sebagaimana salam yang kita tujukan kepada sesama muslim. Penggantinya yang sudah sangat popular adalah, “Selamat pagi!” atau “Selamat siang!” atau “Selamat Sore!” atau “Selamat malam!” Dapat pula  kita lengkapi dengan berjabat tangan jika tidak ada alangan syar’i.

Menjenguk tetangga yang sakit merupakan bagian dari kewajiban muslim sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim, yang artinya,

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, “Hai anak Adam, Aku sakit, kenapa kamu tidak datang mengunjungi-Ku?” Anak Adam menjawab, “Ya, Tuhan, bagaimana aku akan mengunjungi-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman, “Tidakkah kamu tahu bahwa si Fulan hamba-Ku sakit, kenapa kamu tidak mengunjunginya? Tahukah kamu jika kamu mengunjunginya niscaya kamu akan menemui-Ku di sisinya …”

Menjenguk tetangga yang sakit bertujuan membesarkan hati dan menghiburnya. Meskipun demikian, kunjungan itu harus  kita lakukan pada waktu yang tepat dan durasinya kita batasi, kecuali benar-benar atas permintaan tetangga itu sendiri. Karena nyaman ketika kita kunjungi, kita justru diminta menungguinya. Lepas dari semua itu, yang jauh lebih penting adalah mendoakannya misalnya dengan doa berikut.

“Tuhanku, Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakit. Sembuh­kanlah, Engkaulah penyembuh. Tak ada penawar selain dari penawar-Mu, penawar yang menghabiskan sakit dan penyakit.” (HR al-Bukhari)

Berlapang dada sangat penting. Mengapa? Di antara tetangga ada yang ketika kita beri sesuatu bukannya berterima kasih, tetapi malah membandingkan dengan pemberian orang lain. Kita beri apel lokal misalnya, dia mengatakan, “Baru saja saya diberi apel impor. ” Mungkin dia, bahkan, menyatakan ketidaksukaannya pada apel lokal.

Kita beri sayur lodeh, dia mengatakan, “Tadi saya baru dikirimi gulai  dari anak saya” atau kata-kata lain yang bersifat memban­dingkan dengan yang lebih baik.

Ada juga tetangga yang meminjam sesuatu, tetapi tidak mengem­balikannya atau mengembalikannya setelah kita tahu bahwa ada barang kita di rumahnya.  Ada pula tetangga yang berkali-kali ingkar janji dalam hal mengembalikan pinjaman uang. Juga ada tetangga yang meminta sesuatu dan kita beri kesempatan memilih, dia memilih yang terbaik, terbaru, dan yang kita sukai.

Penyebab terjadinya persengketaan sangat banyak. Kadang-kadang hal yang bagi orang tertentu dianggap sepele. Agar tidak terjadi pertengkaran gegara hal “sepele” sebaiknya kebiasaan yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada tetangga kita tinggalkan misalnya suara televisi, radio, sepeda motor, mobil, atau yang lain yang terlalu keras.

Di samping itu, ada kegemaran yang mungkin tidak tepat kita lakukan. Di antara kita pasti ada yang senang berkaraoke, sedangkan tetangga kita justru pada jam-jam tertentu selalu mengaji apalagi pada bulan Ramadan. Sebaiknya, waktu berkaraoke tidak bersamaan dengan waktu tetangga mengaji. Namun, jika tetangga kita berkaraoke ketika kita sedang mengaji, kita doakan agar dia memperoleh hidayah.

Saling mengunjungi untuk mengikat silaturahim sangat penting. Kita gunakan silaturahim itu untuk saling berbagi. Saling berbagi makanan dan/atau buah-buahan kita lakukan untuk semua, termasuk tetangga yang berbeda agama seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang Yahudi yang menjadi tetangganya  sebagaimana telah dikutip (Baca juga: “Akhlak Bertamu di Rumah” https://web.suaramuhammadiyah.id/2022/07/07/akhlak-bertamu-di-rumah/)

Saling membantu sangat penting. Ketika tetangga mempunyai hajat menikahkan anaknya, mi­salnya, kita dapat membantunya. Jika ada gotong royong bersih-bersih, mendirikan tenda, menyiapkan kursi, atau yang lainnya, kita dapat bergabung. Jika tetangga tidak mempunyai halaman tempat parkir mobil, sedangkan kita mempunyainya, kita izinkan keluarganya atau tamunya memarkir mobilnya di halaman rumah kita. Namun, jika ada kebiasaan atau adat istiadat yang ber­tentangan dengan ajaran Islam seperti “nglarung” sesaji ke laut atau ritual lain, kita tidak perlu meng­ikutinya, tetapi tidak mencela sebab mencela dapat menimbulkan persengketaan.

Siapa pun dapat mengalami cobaan. Anak tetangga mungkin ada yang “khilaf” sehingga melakukan perbuatan pidana. Jika hal itu terjadi, kita tidak menjadi penyebar aib tersebut. Ketika tetangga ber­kembang kekayaannya (baik mendadak maupun berangsur-angsur), kita tidak berprasangka buruk atau menyebarkan rumor yang merusak kehormatannya. Ketika tetangga tiba-tiba jatuh miskin, kita pun tidak menyebarkan isu yang merusak kehor­matannya. Ketika tetangga bertengkar (mungkin anak bertengkar dengan orang tuanya atau suami bertengkar dengan istri), kita pun tidak menyebarkan aib itu, kecuali untuk menasihati. Tentu hal itu kita lakukan tanpa menyebut tetangga yang dimaksud.

Memuliakan tetangga dapat kita lakukan dengan saling menasihati dalam rangka amar makruf nahi munkar. Namun, agar dapat diterima dengan baik, kita lakukan dengan santun. Boleh jadi, ada tetangga kita yang berpendidikan dan berjabatan lebih tinggi, tetapi belum mempunyai pengalaman menyelen­garakan pernikahan anak, sedangkan kita sudah berpengalaman dan dinilainya sukses. Jika dia minta nasihat atau malah minta agar kita menjadi ketua panitia, kita manfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Usaha menyelidiki rahasia misalnya asal kekayaan tetangga dengan maksud merusak kehormatan tetangga harus kita hindari. Kita harus husnuzan, kecuali jika untuk kepentingan penegakan hukum dan kita diminta mem­berikan keterangan secara objektif. Kita wajib membantu penegakan hukum.

Melalui lisan atau perbuatan dapat timbul akibat yang mengecewakan atau menyakiti hati tetangga. Ketika tetangga berbagi makanan, misalnya,  apa pun dan bagaimana pun rasanya kita apresiasi. Ketika tetangga berkali-kali minta tolong untuk suatu keperluan, ucapkan dan lakukan yang terbaik. (Baca: “Memuliakan Tamu” https://web.suaramuhammadiyah.id/2022/06/22/memuliakan-tamu/. Kita tetap berbi­cara dan berperilaku yang baik sehingga tidak mengecewakan atau menyakiti hati tetangga.

Kadang-kadang terjadi: tetangga kita dimarahi dengan kasar oleh orang yang kecewa terhadap tetangga kita itu akibat kesa­lahannya atau telah terjadi kesalahapahaman pada kedua belah pihak. Berkenaan dengan itu, kita berusaha melindungi tetangga dengan cara yang elegan. Apalagi jika kita yakin bahwa tetangga kita benar, tetapi dizalimi, kita wajib melindunginya.

Ikut meringankan penderitaan tetangga merupakan bagian kewajiban apalagi terhadap tetangga yang mempunya hubungan nasab dan seagama. Sifat senang jika ada tetangga menderita harus kita buang jauh-jauh.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam sang Teladan  

Memuliakan tetangga merupakan pengamalan atas perintah Allah Subhnahu wa Ta’aala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam wajib mencontohnya, baik dalam hal memuliakan tetangga yang mempunyai hubungan nasab dan seagama, tidak mempunyai hubungan nasab, tetapi seagama, maupun yang tidak mempunyai hubungan nasab dan tidak seagama. Kita pun wajib memuliakan tetangga yang mempunyai hubungan nasab, tetapi tidak seagama. Jika hak tetangga sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shaallallahu ‘alaihi wasallam kita berikan, berarti kita telah memuliakannya.

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

 

Exit mobile version