Mengaktualisasikan Masyarakat Utama di Muka Bumi

Zam-Zam

Haedar Nashir Dok PPM Zam-Zam Cilongok/SM

BANYUMAS, Suara Muhammadiyah –Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (19/8). Program kunjungan kerja ini dalam rangka meresmikan Gedung Umat bin Khattab dan peletakan batu pertama Masjid KH. Ahmad Dahlan Pondok Pesantren Modern Zam-Zam Muhammadiyah, sekaligus Penandatanganan Prasasti Gedung Dakwah Ranting Muhammadiyah Cilongok, Kabupaten Banyumas.

Hadir langsung dalam acara tersebut antara lain Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Kuwait, MA, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Dr KH Tafsir, MAg, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyumas, Dr Ibnu Hasan, MSi, Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Dr Jebul Suroso, SKp., Ns., MKep, Direktur Pondok Pesantren Modern Zam-Zam Muhammadiyah Cilongok, Arif Fauzi, Lc., MPd, Badan Pembina Pondok Pesantren Modern Zam-Zam Muhammadiyah Cilongok, KH Jaswan Haryosasongko, Forkopimcam Cilongok, dan seluruh tamu undangan lainnya.

Prof Haedar mengatakan komitmen dan konsistensi Muhammadiyah termasuk di dalamnya ‘Aisyiyah terus berkiprah membangun negeri. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tidak pernah berhenti membangun bukan sekadar raga dan fisik, tetapi terdapat ruh (qimah) atau cita-cita besar di dalamnya. Selama 113 tahun, cita-cita itu terus disebarkan dan digelorakan dalam gerakan persyarikatan Muhammadiyah. Yakni cita-cita dalam membangun dan mewujudkan umat terbaik.

Dalam tesmak Muhammadiyah, umat terbaik dikategorisasikan sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yakni masyarakat yang utama (al-mujtama’ al-fadhilah) dengan kaya akan keunggulan, kelebihan, dan kebaikan. Menukil Ibnu Katsir, masyarakat utama adalah manusia yang mampu menyemai kemaslahatan kepada manusia lain secara inklusif.

“Maka kalau kita hari ini di Pondok Pesantren Zam-Zam Muhammadiyah ini kita berada di sebuah Lembaga pendidikan yang menyemai benih-benih tunas-tunas bangsa dan umat yang khaira ummah,” ujarnya.

Peran Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah melalui lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren merupakan pancaran sensitivitas untuk merespons perkembangan zaman. Dan pada saat bersamaan sebagai misi mereaktualisasikan masyarakat utama.

“Usaha Muhammadiyah lembaga pendidikannya baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk TK ABA di Kairo, Mesir, semua itu tidak lain merupakan wujud dari mengoperasikan, menjalankan, dan mewujudkan cita-cita masyarakat utama,” tukasnya.

Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu, menyebut masyarakat utama memiliki beberapa pondasi. Pertama, nilai tauhid atau nilai iman dan takwa. Menurutnya, nilai ini yang pada muaranya akidah (tauhid), menyeru manusia untuk selalu merawat fitrahnya yang diberikan kepada Tuhan. Pada saat yang sama, dirinya membentuk diri menjadi ‘Abdullah (hamba Allah) yang saleh dan salehah.

“Menjadi Hamba Allah yang saleh dan salehah insyaallah akan selalu sikap hidup manusia yang selalu dekat kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia dan lingkungannya. Maka, di republik tercinta ini pun, kata iman dan takwa serta nilai agama masuk dalam Pasal 31 UUD 1945 sebagai dasar dari pendidikan nasional. Sehingga iman, takwa, dan nilai agama yang berada di dalam konstitusi untuk dasar pendidikan nasional sejalan dengan cita-cita luhur Islam, yakni membangun insan yang saleh, yang tauhid kepada Allah, dan ihsan kepada kehidupan,” terangnya.

Kedua, melahirkan pribadi mulia (al-akhlak al-karimah). Risalah Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak manusia (innama bu’istu liutammima makarimal akhlak) mengantarkan umat Islam tampil sebagai generasi pribadi yang baik, damai, jujur, dan berbuat serba kebaikan.

“Maka, Insyaallah di Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, termasuk di pondok pesantren ini dibina akhlak mulia. Anak-anak yang selalu berbuat baik di dalam dirinya dengan sesamanya selalu berbuat baik kepada orang tuanya (birrul walida’in), hormat kepada sesame, memuliakan manusia laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi,” katanya.

Ketiga, membentuk manusia cerdas berilmu. Menurutnya, agama Islam merupakan agama yang kaya ilmu dan agama yang mengajak umatnya untuk senantiasa berpikir. Turunya wahyu pertama (QS al-Alaq [96]: 1-5) sebagai tonggak awal risalah Islam bertujuan untuk iqra (membaca) yang profetik dan selalu kebergantungan pada kekuasaan Allah, tetapi juga merawat bumi dan alam ciptaan lainnya.

“Maka lahirlah generasi ‘ulul al-bab. Saya yakin para ustaz dan ustazah di kampus pondok pesantren modern ini akan mengajarkan tradisi iqra. Tradisi membaca kitab kuning dan kitab putih. Tradisi membaca ayat Al-Quran dan Sunnatullah. Dan tradisi membaca kehidupan sebagaimana perintah iqra yang itu fi’il amr (kata kerja) tanpa fi’il bih (kata benda). Saya yakin dengan semangat iqra itu kita akan bisa mewujudkan tugas utama kita menjadi khalifah fil ardh selain menjadi ‘Abdullah,” jelasnya.

Keempat, menjadi insan yang memberi manfaat bagi kehidupan umat dan bangsa. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan, Fatmawati, Dr (HC) Ir H Soekarno, Jenderal Besar TNI Raden Soedirman, Ir H Raden Djoeanda Kartawidjaja, KH Fakhruddin, Prof Dr H Hamka, Gatot Mangkoepradja, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Prof Dr Mr Kasman Singodimedjo SH, H Nani Wartabone, Abdul Kahar Muzakkar, dan H Abdurrahman Baswedan.

“Maka anak-anak santri pondok pesantren ini dan generasi muda Muhammadiyah serta kita semua terus memupuk api Islam yang berkhidmat untuk memajukan bangsa Indonesia. Itulah di antara karakter dan ciri ‘ulul al-bab atau juga menjadi ciri khaira ummah,” tandasnya. (Cris)

Exit mobile version