Muallaf Budaya dan Surjan Salafi

Muallaf Budaya dan Surjan Salafi

PP Muhammadiyah bertemu Gubernur DIY (Dok PP Muh)

Muallaf Budaya dan Surjan Salafi

BELUM pernah terfikirkan bahwa pada akhirnya Muhammadiyah dapat bersinergi dengan Institusi Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Pada momen yang sangat penting Milad Muhammadiyah ke 105, milad diselenggarakan di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Satu perhelatan yang benar-benar meriah dan sukses. Peristiwa itu mudah-mudahan menjadi momentum yang memiliki daya keberlangsungan dalam “Merekat Kebersamaan” sebagaimana tema Milad Muhammadiyah ke 105.

Hubungan antara Muhammadiyah dengan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat tidaklah dapat dilupakan. Untuk mengenang dan mengapresasi atas segala bentuk dukungan dari Kraton Yogyakarta kepada Muhammadiyah sejak Sri Sultan Hamengku Buwono VII sampai saat ini, PP Muhammadiyah memberikan Muhammadiyah Awward kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai representasi dari Kraton Yogyakarta yang telah memberikan dukungan penuh kepada Muhammadiyah.

Bahkan untuk mengekspresikan rasa hormat kepada Institusi Kraton secara fisik, Pengurus PP Muhammadiyah dan Panitia mengenakan pakaian adat Jawa yang dikenal dengan sebutan Pranakan Jawa atau surjan. Sebagian Pengurus PP Muhammadiyah nampak agak kelihatan kikuk karena tidak terbiasa dengan pakaian surjan. Untuk menunjukkan rasa tawadlu’ atas situasi ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, M.si,  mengatakan bahwa hal itu merupakan upaya menguatkan semangat kebersamaan dengan Kraton Yogyakarta, meskipun warga Muhammadiyah masih dalam kategori muallaf budaya.

Apa yang dimaksudkan muallaf kebudayaan menurut Pak Haedar Nashir merujuk pada hal-hal yang sifatnya simpel. “Pakem budaya di Kraton misalnya, kita belum tahu dan tidak tahu secara detail. “Poinnya apa, kalau kita sebut ‘muallaf kebudayaan’ (adalah karena) tidak paham detail (pakem) itu.” Jika hal ini yang dimaksudkan dengan muallaf budaya ada benarnya.

Sebagai contoh, dalam obrolan sebelum acara milad resmi dimulai, beberapa orang bergerombol dan bincang-bincang dengan Pak Busyro Muqaddas. Ada teman yang sempat mengamati busana yang dikenakan Pak Busyro. Setelah dilihat-lihat busana yang dikenakan Pak Busyro memang agak lain dengan busana adat Jawa ala Kraton Yogyakarta. Lalu ada yang guyon dan nyelethuk : “yang dikenakan Pak Busyro itu surjan salafi.” Sambil mengamati pakaian Pak Busyro semua yang mendengar spontan tertawa.

Ungkapan Pak Haedar tentang muallaf budaya perlu diberi penekanan pada harapan agar keluarga besar Muhammadiyah tidak alergi kebudayaan. “Bahkan kebudayaan dalam pengertian luas penting menjadi bagian dari pendekatan dan metode dakwah. Pada konteks inilah dakwah kultural Muhammadiyah mesti diteruskan,” papar Haedar. (PWMU.co)

Muhammadiyah pernah mengeluarkan gagasan resmi yang terkait dengan persoalan budaya yakni stratgei dakwah kultural. Namun masih jadi “pekerjaan rumah (PR) yang belum selesai. Masih perlu upaya serius  mengkonsolidasikan kemampuan SDM Muhammadiyah dalam menjadikan budaya sebagai sarana da’wah.

Di kabupaten Gunungkidul misalnya, sebagai daerah yang nafas kehidupan dan dinamika sosialnya sangat kuat diwarnai semangat budaya, Muhammadiyah tampil tidak mengambil jarak secara diametral terhadap apa yang dirasakan dan diperlukan masyarakat Gunungkidul. Saya yakin bila ada lembaga yang fokus untuk mengkonsolidasikan implementasi strategi da’wah cultural, apa yang dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah bisa kita laksanakan.

Penting kiranya peristiwa yang cukup monumental dijadikan fondasi hubungan di masa depan antara Muhammadiyah dengan Kraton Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri dalam sambutannya antara lain menyatakan; “Muhammadiah yang terlahir di Yogyakarta sebagai gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam, sejak kelahiran dan keberadaannya hingga sekarang menunjukkan betapa erat hubungan Muhammadiyah dengan Kraton Yogyakarta. Jikalau dua entitas agama dan budaya ini bersinergi, niscaya akan menjadi kekuatan moral dahsyat yang bisa memberikan nilai tambah dan akselarasi tercapainya gerakan “Reformasi Mental” di semua lini kehidupan.

Immawan Wahyudi, Anggota dewan redaksi Suara Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018

Exit mobile version