Membaca Indonesia dengan Kacamata Kemerdekaan dan Kedaulatan Akhlak
Oleh: Agusliadi Massere
Judul ini, saya terinspirasi ketika sedang membersihkan badan dalam kamar kecil. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah proses algoritmik atas “data” yang sudah ada dalam diri: pertama, saya bersama beberapa penulis lainnya pernah menulis dan memiliki buku karya bersama dengan judul Membaca Indonesia; dan kedua, Pengajian Bulanan Muhammadiyah pada bulan Kemerdekaan ini mengangkat tema “Kemerdekaan dan Kedaulatan Akhlak”.
Dalam buku Membaca Indonesia, pada bagian prolognya, Muhammad Sayuti—Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah—menuliskan bahwa dirinya pernah menemukan stiker tentang Indonesia yang terpasang pada pantat sebuah mobil kecil (city car) di kota kecil di ujung utara negara bagian New South Wales. Pada stiker itu tertulis “Traveling warning Indonesia Dangerously Beautiful”. Sayuti, dan saya pun tentunya bertanya, betulkah keindahan Indonesia itu membahayakan?
Tulisan pada stiker tersebut, bisa dipastikan sebagai hasil pembacaan terhadap Indonesia. Kacamata yang digunakan dalam membaca Indonesia sangat berpengaruh. Sebagaimana kacamata dalam pengertian harfiahnya, jika lensanya merah maka yang ditatap akan tampak kemerah-merahan, dan jika lensanya kuning akan tampak kekuning-kuningan. Untuk kepentingan atas pemahaman inilah, sehingga judul di atas saya menggunakan frasa “dengan kacamata”, padahal bisa saja saya menggunakan frasa “dalam perspektif”.
Ada banyak bentuk pendekatan atau perspektif yang bisa digunakan untuk membaca Indonesia, seperti perspektif sosiologis yang digunakan oleh Prof. Haedar Nashir dalam membaca Indonesia dan keindonesiaan. Hasil pembacaan terhadap Indonesia dan keindonesiaan itu pun melahirkan banyak cara pandang atau penilian.
Saya menyadari bahwa radius dan cakrawala pembacaan yang saya miliki terhadap Indonesia masih sangat sempit dan minim, tetapi saya tertarik untuk fokus membaca Indonesia dengan kacamata “kemerdekaan” dan “kedaulatan akhlak”. Apalagi, ketika menyelami makna terhadap tulisan pada stiker yang ditemukan oleh Sayuti tersebut, seakan menegaskan sekaligus menegasikan eksistensi spirit dan nilai kemerdekaan dan kedaulatan akhlak di Indonesia. Maksudnya, karena kemerdekaan terasa tidak terwujud dan dirasakan oleh orang-orang, apalagi kedaulatan akhlak, sehingga Indonesia dinilai berbahaya meskipun sesungguhnya indah.
Menangkap spirit Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom dalam buku karyanya The Power of Appreciative Inquiry, saya pun mengedepankan prinsip apresiatif bahwa membaca Indonesia dengan kacamata kemerdekaan dan kedaulatan akhlak, memiliki relevansi, urgensi, dan implikasi positif untuk membawa Indonesia pada suatu kemajuan. Bisa pula dimaknai bahwa eksistensi Indonesia dan keindonesiaan harus dalam bingkai spirit kemerdekaan dan kedaulatan akhlak.
Dalam pengajian bulanan Muhammadiyah, ada hal menarik dari Yudi Latif yang jarang diketahui dan digunakan oleh orang Indonesia termasuk saya, yaitu terkait pemaknaan kemerdekaan. Selama ini, kita lebih memahami makna kemerdekaan negatif, padahal ada makna kemerdekaan lain yaitu kemerdekaan positif.
Secara sederhana, Yudi Latif menegaskan makna kemerdekaan negatif yaitu terbebass dari penjajahan, diskriminasi, dan eksploitasi. Yudi Latif pun menambahkan bahwa pemaknaan pengetahuan umum tersebut, bukan tanpa alasan, sebab dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 memang dimulai dari pemaknaan kemerdekaan negatif. Bahasa agamanya nahi mungkar.
Menurut Yudi Latif dalam pengajian bulanan Muhammadiyah, kemerdekaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “mahardika”. Jika diserap dalam bahasa Jawa-lama, artinya adalah kaum terpelajar atau orang bijaksana. Inilah salah satunya yang dimaknai sebagai kemerdekaan positif. Key word merdeka positif itu adalah “merdeka untuk apa”. Bahasa agama kemerdekaan positif adalah amar makruf. Sedangkan merdeka negatif kata kuncinya “merdeka dari apa”.
Mengikuti spirit Whitney & Trosten-Bloom,—yang selama ini masih banyak hanya fokus dipahami sebagai metodologi dalam pembelajaran atau pelatihan, padahal sesungguhnya bisa menjadi paradigma berpikir, dan menjadi pengarah sikap dan tindakan yang terbaik—dan law of attraction (hukum tarik menarik) pun, bisa dijadikan sebagai basis pemahaman atas penegasan pentingnya membaca Indonesia dengan kacamata kemerdekaan dan kedaulatan akhlak. Law of attraction yang saya pahami relevan dengan hadis qudsi “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku”.
Kemerdekaan dalam makna positif, menurut Yudi Latif, adalah kebijaksanaan dan keterpelajaran. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, 77 tahun yang lalu adalah idealnya senantiasa mengandung nilai dan spirit kebijaksanaan dan keterpelajaran.
Setelah saya menelusuri KBBI online dan merangkai ulang, maka keterpelajaran bisa dimaknai hal yang telah dipahami dengan benar, baik, dan patut dan/atau seseorang yang telah memiliki ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar, baik dan patut terhadap sesuatu hal dan diikuti oleh kesadaran yang menjadi dasar atas setiap tindakannya. Kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya) dan kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan.
Bagi anak dan elit bangsa yang memahami makna kemerdekaan dalam arti positif (terutama dalam kebijaksanaan dan keterpelajaran),—dalam pandangan saya—bisa dipastikan mereka akan menjadikan (minimal) pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai nalar yang akan memengaruhi segala keyakinan, sikap, pikiran, dan tindakannya.
Mereka bisa dipastikan tidak akan mengabaikan moralitas, ajaran dan nilai-nilai agama dalam ruang relasi sosial, tata kelola bangsa dan negaranya. Mereka tidak akan buta dalam membaca peta sosiologis Indonesia, sehingga toleransi menjadi habitus dalam bingkai pluralitas dan kemajukan bangsa. Mereka pun, khususnya para elit akan senantiasa menjamin kebebasan warga negaranya dalam menyuarakan pendapat dan aspirasinya. Sebaliknya warga negara pun memahami batasan kebebasan tersebut. Mereka akan senantiasa menyadari bahwa kebebasan kita dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain.
Bagi anak dan elit bangsa yang memahami kemerdekaan dalam makna kemerdekaan positif, tentunya akan senantiasa memahami dan menyadari bahwa esensi kemerdekaan, sebagaimana salah satunya ditegaskan oleh Yudi Latif, adalah kedaulatan. Membaca terkait diskursus kedaulatan ada banyak bentuknya. Namun, jarang disebutkan “kedaulatan akhlak”.
Bentuk kedaulatan yang diketahui secara umum: kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Jika merujuk pada Trisakti Soekarno—berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya—ada pula yang disebut dengan kedaulatan politik.
Berdasarkan konstitusi negara Indonesia, sesungguhnya kita menganut dua bentuk kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Kedaulatan rakyat bisa dimaknai bahwa Indonesia menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga penyelenggaraan negara, idealnya harus memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan hak rakyatnya. Kedaulatan hukum pun bisa dimaknai bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga pelaksanaan atau penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, yang menganut kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, kedaulatan politik pun hadir mewarnai. Sependek pemahaman saya, kehadiran kedaulatan politik tentunya suatu keniscayaan. Hanya saja kedaulatan politik yang dipraktikkan terkadang oleh oknum atau sekelompok orang tertentu, keliru dalam penerapannya.
Kekeliruan itulah sehingga seringkali kedaulatan politik terkesan mengabaikan kedaulatan rakyat dan memporak-porandakan kedaulatan hukum. Di sinilah urgensi dan signifikansi serta akan memberikan implikasi besar dan positif atas kehadiran kedaulatan akhlak.
Kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum tidak akan terwujud dan memberikan implikasi atau manfaat yang benar, baik dan positif bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan bingkai kemanusiaan, tanpa kehadiran “kedaulatan akhlak”. Kedaulatan akhlak, secara sederhana saya mendefenisikannya, wujud relasi sosial sampai pada pelaksanaan atau penyelenggaraan negara dilandaskan pada spirit dan nilai akhlak.
Dalam pandangan sederhana saya, “Kedaulatan Tuhan” pun tanpa kehadiran kedaulatan akhlak cenderung, oleh oknum tertentu, menimbulkan hal paradoks dalam realitas kehidupan. Tidak sedikit oknum yang mengatasnamakan “Tuhan” dan “agama” melakukan kekerasan secara membabi-buta, mengabaikan nilai keadilan, kebijaksanaan, keadaban, dan kemanusiaan. Maka tepatlah—ketika dalam konteks ajaran agama Islam—Prof. M. Amin Abdullah menegaskan 3 kata kunci penting dalam fondasi keberagamaan Islam yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan. Dan ihsan inilah yang bisa direlevansikan dengan makna akhlak tersebut.
Terinspirasi dari Dr. Asep Zaenal Ausop, secara sederhana akhlak bisa dipahami sebagai kecenderungan hati atau sikap (attitude) yang diikuti oleh perbuatan (behavior). Dalam kaidah umum akhlak ini bisa disejajarkan dengan makna karakter. Meskipun antara akhlak dan karakter tentunya bisa memiliki basis nilai, pemahaman, dan kesadaran yang berbeda. Akhlak seringkali berpijak pada nilai-nilai dan ajaran agama. Dan saya menegaskan pun di sini bahwa akhlak yang saya maksudkan adalah akhlak al-karimah bukan akhlak al-madzmumah (akhlak atau karakter buruk).
Saya pun yakin tidak keliru ketika akhlak disejajarkan atau ditarik garis relasi dengan yang dipahami oleh Amin Abdullah sebagai “Moral dan Etika dalam Berkehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Termasuk dalam tulisan dan pandangan lainnya, disebutnya sebagai spiritualitas ihsan. Amin Abdullah menegaskan “Pembangunan yang sudah mengantarkan bangsa Indonesia ke jenjang kemakmuran material belum akan dapat mencapai target yang diinginkan, jika landasan dan moral diabaikan”.
Ketika kedaulatan dipandang sebagai esensi kemerdekaan, maka kedaulatan akhlak adalah hal paling esensial dari kemerdekaan itu sendiri. Maka tepatlah—saya yang menganut ajaran agama Islam tentunya merujuk terhadapnya—Rasulullah Muhammad saw diutus oleh Allah di muka bumi ini, salah satunya untuk memperbaiki akhlak manusia.
Ada banyak ajaran dan ruang konfirmatif yang bisa ditemukan bahwa kedaulatan akhlak yang diperjuangkan oleh Rasulullah memberikan pengaruh dan perubahan dahsyat, terutama dalam kehidupan masyarakat jahiliyah Makkah pada saat itu. Selain itu, jika merujuk pada Michael H. Hart penulis buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, dan menempatkan Rasulullah Muhammad saw diurutan pertama. Dalam buku tersebut kita bisa membaca salah satu penegasan Hart yang menjadi alasan menempatkan Muhammad saw diurutan pertama, selain Rasulullah bertanggungjawab terhadap teologi Islam, juga terhadap prinsip moral dan etiknya.
Relevankah kedaulatan akhlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia? Sebenarnya ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena jika membaca dasar konstitusi negara, sangat tegas digambarkan. Pancasila menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, yang sesungguhnya jika membaca fase kelahiran Pancasila, sebelumnya pernah ditempatkan pada urutan kelima. Tetapi atas dasar pemahaman bahwa fundamen moral harus menjadi dasar bagi fundamen kemanusiaan dan politik, maka yang sebelum diposisi penutup, pengunci atau sila kelima digeser menjadi posisi pembuka, sila pertama.
Selain itu, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tepatnya pada alinea ketiga ditegaskan “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas….” Hal ini mencerminkan urgensi, signifikansi, dan implikasi akhlak atas pencapaian kemerdekaan.
Jika kita jujur menilai, maka hati kecil kita berkata, bahwa sesungguhnya problem yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, yang seakan tidak memiliki titik akhir atau episode tanpa ending, baik persoalan korupsi maupun persoalan lainnya yang semakin hangat bahkan satu bulan terakhir ini ada yang menjadi trending topic, bisa dipastikan itu karena ketiadaan akhlak.
Kemerdekaan dan kedaulatan akhlak dalam membaca Indonesia adalah hal urgen dan strategis untuk membawa Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara yang berkemajuan. Selain itu dengan eksistensi kemerdekaan yang substansial dan kedaulatan akhlak, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi tulisan (tepatnya, penilaian) sebagaimana yang ditemukan Sayuti, bahwa “Keindahan Indonesia itu membahayakan”.
Dengan makna kemerdekaan dalam pengertian positifnya, dan sesuai dengan asal usul bahasanya, yang mengandung arti orang terpelajar dan orang bijaksana maupun keterpelajaran dan kebijaksanaan, maka secara kolektif memiliki garis relasi atas spirit, nilai, dan hal substansial atas teori radiasi budaya Arnold Toynbee yang pada intinya merumuskan entitas yang membuat sebuah peradaban bertahan dan memberikan pengaruh bagi peradaban lainnya.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng periode 2018-2023