Pesulap Muhammadiyah
Oleh: Fathan Mubarak
Muhammadiyah adalah ormas Islam modern terbesar di dunia. Dengan visi pencerahan dan perdamaian, Muhammadiyah memiliki 24 cabang istimewa yang tersebar di empat benua. Sekolah-sekolah dan perguruan tingginya pun sudah ada di berbagai negara. Di Singapura, bahkan telah berdiri sebuah ormas serupa Muhammadiyah dengan nama Muhammadiyah, meski tidak menginduk pada Muhammadiyah (yang ada di Indonesia). Namun dari semua pencapaian-pencapaian yang memukau tersebut, Muhammadiyah memiliki satu kekurangan yang selama seabad lebih benar-benar terlewatkan: Muhammadiyah tidak pernah sekali pun mendirikan sekolah sulap.
Muhammadiyah kita tahu memiliki sejarah panjang yang mirip perseteruan Pesulap Merah dan dukun Gus Samsudin. Sebab sejak kepulangannya yang kedua dari tanah suci pada 1906, KH. Ahmad Dahlan sudah mulai menyerukan Islam tanpa TBC (tahayul, bid’ah, churafat/khurafat). Bagi Mbah Dahlan, ritual menanam kepala kerbau saat membangun jembatan, memasang sesajen kuburan untuk menghindari amuk arwah-arwah nenek moyang, mengandalkan keris atau jimat-jimat lainnya yang dipercaya bertuah, tidak hanya membuat umat Islam terbelakang, namun juga berpotensi melahirkan “Allah-Allah tandingan”.
Penduduk nusantara yang selama ribuan tahun menjadi penghayat animisme-dinamisme tentu saja tak menyukainya. Kiai nyentrik itu pun banyak menerima perlakuan buruk. Ia sering dicap kafir atau kiai palsu pembawa ajaran sesat. Rumahnya kerap dilempari batu dan kotoran. Tak jarang juga menerima ancaman pembunuhan. Bahkan surau miliknya pernah dibongkar paksa. Perlakuan yang sama dialami juga oleh para pendiri cabang-cabang Muhammadiyah di pelosok-pelosok daerah.
Viral pertama terjadi di Kauman, Yogyakarta. Cerita ini kita dapat dari seorang pendekar bernama Muhammad Barie Irsyad yang kelak turut mendirikan Ortom ke-11 Tapak Suci. Diketahui, selain seorang ulama, habib, khatib amin kesultanan, atau guru sekolah, KH. Ahmad Dahlan sesekali menjadi promotor gulat. Saat itu pendekar Muhammad Barie Irsyad mendapat perintah untuk melawan setiap pendekar ilmu hitam yang ada di Kauman. Hingga pada suatu ketika di satu masa, pelataran Masjid Gede Kauman menjadi arena duel para pendekar.
Muhammad Barie Irsyad adalah pendekar alami. Kemampuan bela diri dan ketangguhan fisiknya hasil tempaan selama berpuluh tahun kerja keras dalam latihan. Sementara yang disebut pendekar-pendekar ilmu hitam adalah mereka yang gemar melakukan amalan-amalan yang dianggap menyimpang dari akidah Islam. Mereka dipercaya memiliki berbagai kesaktian seperti ajian sepi angin, rogo sukmo, lembu sekilan, segoro geni, lebur saketi, dan tentu saja aneka jenis ilmu kebal. Dan saat itu pendekar Muhammad Barie Irsyad berhasil membuktikan bahwa segala tahayul dan khurafat yang dilekatkan pada para pendekar ilmu hitam, ternyata hanya omong kosong.
Kisah-kisah serupa tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Yang paling kentara di antaranya terjadi di Cirebon. Seperti daerah-daerah lainnya, masyarakat Cirebon merupakan penghayat klenik yang baik. Dalam babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, misalnya, tokoh Sunan Gunung Jati digambarkan sebagai wali yang kesaktiannya melebihi nabi manapun. Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan Mesir-Jawa dengan hanya berjalan kaki di atas air laut. Ia bisa mengubah pohon menjadi emas. Mengubah bokor menjadi bayi. Mengubah keris menjadi naga. Memiliki pasukan tentara gaib. Termasuk, mampu membangkitkan mayat menjadi zombie.
Sunan Gunung Jati juga konon pernah mi’raj bersama nabi Khidir menembus tujuh lapis langit. Ia bertemu dengan nabi Isa, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Adam, dan empat malaikat yang masing-masing memberinya nama. Di langit lapis tujuh, sang Sunan bertemu nabi Muhammad lalu dihadiahi sebuah jubah. Sampai saat, mi’raj Sunan Gunung Jati berakhir di puncak masjid Sungsang—dan ia pun kembali ke Cirebon dengan mengenakan cincin pemberian nabi Sulaiman.
Sebelum era 70-an, mistisisme yang berkembang di masyarakat Cirebon memang sulit dicari tandingannya. Cirebon dikenal memiliki banyak orang “sakti” dan kisah-kisah klenik yang nyaris sempurna. Karenanya, gerakan Muhammadiyah di Cirebon masa awal senantiasa mengandung tantangan tak sederhana. Dakwah para perintis pun pada akhirnya harus berhadapan dengan pendekar-pendekar ilmu hitam, dukun-dukun kemenyan, juga seabrek cerita tahayul yang mapan.
Viral berikutnya terjadi pada awal tahun 60-an. Di Cirebon, pernah ada “guru sakti” yang kerap berkeliling mendemonstrasikan kesaktiannya. Ia bersama sejumlah muridnya menyinggahi desa-desa. Guru sakti ini tak bisa dilukai. Setiap serangan yang datang padanya akan berbalik pada penyerangnya. Ilmu gaib yang dimilikinya pun bisa membuat orang terpelanting jauh tanpa ada kontak fisik sedikitpun. Ia bahkan bisa membuat tubuh para penyerangnya kaku seperti patung. Konon ilmu ini dapat ditebus dengan beberapa hari puasa pati geni atau puasa muti, yang lalu disempurnakan dengan sejumlah mahar.
Hingga tiba di salah satu desa di Tengahtani, para perintis Muhammadiyah yang mempromosikan Islam tanpa TBC akhirnya berada dalam satu panggung. Mereka diperbolehkan turut membuktikan kesaktiannya. Menurut salah satu pelaku sejarah, saat itu mereka hanya pasrah pada Allah seraya dalam hati terus merapalkan kalimat la haula wala quwwata illa billah. Di luar dugaan, pukulan dan tendangan yang diarahkan berhasil mengenai sasaran. Guru sakti tersungkur. Lalu ia kembali berdiri dan meminta agar mereka menyerangnya dengan lebih membabi buta. Dan situasi menjadi lebih tak terduga lagi: guru sakti terkapar dan baru siuman setelah beberapa menit perawatan.
Persitiwa lampau tersebut mirip dengan pertunjukan Yuli Mulyana, guru besar Perisai Bathin yang mengaku mengamalkan ilmu laduni. Belakangan diketahui bahwa sebetulnya ia hanya menggunakan ilmu hipniotis. Sugesti “tidak bisa menyerang” sudah ditanamkan kepada murid-muridnya selama berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Teknik body catalepsy dan anchor pun diterapkan dengan tanpa halangan.
Masih di sekitar awal 60-an. Di salah satu desa di Plered, ada sebuah peristiwa mistis yang tak terbantahkan. Pada musim tertentu, setiap hari di tengah malam, beduk yang ada di surau kampung selalu bertalu-talu padahal tak ada satupun orang di sana. Surau itu memang dikenal suwung dan sungil. Apalagi letaknya bersebelahan dengan kuburan. Sayangnya skeptisisme para perintis Muhammadiyah tidak bisa hanya berhenti di retorika. Karenanya, dengan persetujuan masyarakat setempat, mereka melakukan penyelidikan.
Usai melakukan shalat dua rakaat, ketiganya menyebar di sekitar. Salah satunya berjaga di sebelah keranda. Sebab masyarakat percaya, yang memukul beduk adalah sosok gaib yang keluar dari sana. Syahdan, cerita yang sudah beredar ternyata bukan cuma isapan jempol belaka. Di tengah malam menjelang dini hari, beduk itu berbunyi. Tak Cuma sekali. Tapi berkali-kali—bertubi-tubi. Mereka terperanjat. Satu sama lain saling pandang dari kejauhan. Hanya keyakinan bahwa tahayul adalah tahayul lah yang membuat mereka tidak lari tunggang langgang.
Setelah memperhatikan sumber suara, barulah mereka bertiga merasa lega. Mereka menjadi tahu bahwa yang selama ini membunyikan beduk adalah sekawanan kalong jenis kapauk yang beterbangan. Beberapa di antaranya bermain-main dengan menabrakkan diri ke permukaan kulit beduk. Keeseokannya, para aktivis Muhammadiyah menaruh petromaks dan meletakkan terasi di ranting-ranting pohonan. Dan sejak saat itu, tak pernah ada lagi kawanan kalong yang berkeliaran di sekitar surau. Satu tahayul di sana pun hilang.
Muhammadiyah di Cirebon memang bertumbuh. Demikian pula di daerah-daerah lainnya. Namun situasi seakan tak beranjak ke mana-mana. Bahkan kini fenomena tahayul dan khurafat lebih gawat lagi: para dukun telah menjadikannya sebagai modus penipuan dengan mengatasnamakan Islam. Viralnya perseteruan Pesulap Merah dan Paranormal Gus Samsudin pun menjadi interupsi yang tak terhindari terutama bagi warga persyarikatan.
Ketika praktik perdukunan sudah sedemikian canggihnya, kita sebagai warga Muhammadiyah hanya meyakini bahwa semua dusta belaka. Kita tak mampu memberi penjelasan apalagi pembuktian sebagai bagian dari dakwah pencerahan. Karenanya, apa yang dilakukan Pesulap Merah patut kita apresiasi. Saya membayangkan Muhammadiyah dapat memproduksi kader-kader dengan kemampuan seperti yang dimiliki Pesulap Merah ini. Jika terjadi, maka isu TBC yang sudah berumur seabad lebih itu, barangkali akan menjadi panas setahun yang dihapus hujan sehari.
Fathan Mubarak, Ketua Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Publik PDPM Kabupaten Cirebon