Menjadi Mukmin yang Beruntung

Shalat Mikraj Mukmin Ilustrasi

Foto Dok Ilustrasi

Menjadi Mukmin yang Beruntung

Oleh: Dwi Arianto, S.Sy.,S.Pd.

Mukmin adalah pengertian dari orang-orang yang memegang teguh kepercayaan di dalam hati akan adanya Allah swt dan senantiasa menjalankan ketetapan dan syariat-Nya. Seseorang akan mendapatkan gelar Mukmin yang beruntung adalah mereka yang senantiasa menjalakan kebaikan-kebaikan dan segala apa yang menjadi syariat. Syariat yang Allah swt tetapkan kepada setiap muslim pasti memiliki tujuan dan kemaslahatan, oleh karenannya setiap ketetapan Allah swt hendalah kita kerjakan.

Lalu siapakah Mukmin yang beruntung itu?. Mereka yang selalu menjalankan kebaikan, menolong sesma, tidak merendahkan, tidak mencela, tidak berbuat mungkar dan segala perbuatan yang tidak membuat Allah swt cemburu akan Hambanya. Allah swt akan cemburu kepada hambanya yang berbuat kebencian dan melaksanakan ketetapan yang Allah swt haramkan. Sebagaimana yang Rasulullah saw sabdakan:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rassulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cemburu, dan cemburu Allah ia mencegah orang mengerjakan apa-apa yang telah diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menjadi Mukmin yang beruntung adalah tujuan setiap mu’min. Dalam pembahasan ini terdapat pada QS. Al-Mu’minun pada ayat 1-10, penting kiranya dibahasa melalui beberapa penafsiran.

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (QS. Al-Mu’minun: 23: 1).

Penjelasan dalam ayat ini terdapat kata “Qad” , jika dilihat dalam bahasa arab kata qad memiliki makna ta’kid (penguat, penekanan dan kepastian atau keseungguhan). Allah swt sungguh mengabarkan kepada orang-orang Mukmin yang ingin beruntung, yaitu mereka yang senantiasa menjalakan ketetapannya.

Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir As-Sa’di, bahwa dalam Firman Allah “Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman itu,” maksudnya mereka telah memperoleh kemenangan, kebahagiaan dan keberuntungan serta telah berhasil menggapai apa yang dicita-citakan.

Mereka adalah kaum Mukminin yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan para utusan Allah swt. Disisi lain, ayat ini juga mengandung motivasi besar yang Allah swt berikan kepada hambanya dengan mengabarkan kesungguhan dan kebenaran akan keberuntungan yang diperoleh oleh hamba-Nya, jika mampu melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ

Artinya: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, (QS. Al-Mu’minun: 23: 2).

Mukmin yang beruntung adalah mereka yang mengerjakan shalatnya dengan khusu’ hanya ditujukan kepada Allah swt. Tidak ada lagi sekutu di dalam hatinya, sehingga dalam beribadah hanyalah Allah swt yang ada di dalam hatinya. Khusu’ bukan berati menangis dalam shalat saja, melainkan rasa tunduk dan takut yang ditunjukan kepada Allah swt. Shalat sebagai sarana interaksi vertikal seorang hamba kepada Allah swt melalui do’a dalam shalat, maka orang yang beradab dan berakhlak adalah mereka khusu’ dalam shalatnya. Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan Tafsir dal

am tafsir Al-Wajiz menjelaskan “Yaitu orang-orang yang khusyu´ dalam shalatnya”, adalah mereka yang pasrah dan berserah diri, merendahkan diri di hadapan Allah disertai dengan rasa takut dan kedamaian.

Dalam Tafsir As-Sa’di di jelaskan bahwa, Khusu’ dalam shalat, hakikatnya ialah hadirnya hati dihadapan Allah, berusaha hadir untuk mendekati-Nya sehingga dengan itu, hati menjadi tenang, jiwanya merengkuh ketentraman, gerakan-gerakannya menjadi tenang serta keberpalingannya berkurang,untuk menjaga kesopanan di hadapan Rabbnya dan menghayati setiap ucapan dan gerakan shalatnya, dari awal sampai selesai.

Berkat itu, bisikan-bisikan setan dan pikiran-pikiran yang hina lenyap. Inilah ruh (substansi) shalat yang menjadi tujuan pelaksanaannya. Itulah yang diwajibkan untuk hamba.Shalat yang tidak memuat unsur kekhusuan sama sekali, dan tanpa penghayatan hati, kendatipun sudah cukup mengugurkan kewajiban dan mendatangkan pahala, namun sungguh besar-kecilnya pahala tergantung dengan sejauh mana hati menghayati shalatnya.

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ

Artinya: dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (QS. Al-Mu’minun: 23: 3).

Orang-orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak ada gunannya dalah mereka yang senantiasa menjaga amal dan lisannya. Allah swt tidak pernah melihat dan memandang hambahnya melalui penampilan baik ganteng ataupun cantik dengan menggunakan berbagai periasan dan perlengkapan dan kebutuhan yang mewah atau membanggakan hartannya. Melainkan Allah swt memandang hambanya melalui hati yang dimilikinya yang digunakan untuk menimbang segala amal perbuatan yang baik, tentunnya hatinya digunakan untuk senantiasa mengimani Allah swt.

Dalam tafsir As-Sa’di telah dijelaskan bahwa  “Dan orang-orang yang dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” yaitu perbincangan yang tidak ada muatan kebaikan dan kegunaannya sama sekali, “mereka menjauhkan diri,” karena kebencian dan ingin menjaga diri serta keengganan. Bila mendapati tindakan sia-sia, mereka sekedar melewatinya dengan menjaga kehormatan diri.

Jika mereka berpaling dari tindakan yang sia-sia, maka sudah semestinya mereka lebih menjauhi dari perkara-perkara yang diharamkan. Kalau seorang hamba mampu menguasai lisannya dan menyimpannya kecuali dalam kebaikan, maka dia akan berhasil mengendalikan perkara (agamanya).

Seperti kandungan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah kepada sahabat Mu’adz bin jabal manakala beliau berpesan kepada sahabat itu dengan beberapa wasiat. “Tidakkah kamu mau aku mengabarimu dengan pengendalian perkara itu semuanya?” Aku menjawab,” Sudah tentu wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lisan sendiri seraya berkata,” Kamu tahanlah ini.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). Kaum Mukminin, sebagian dari ciri mereka yang terpuji, adalah mengekang lisan-lisan mereka dari ucapan sia-sia dan omongan haram.

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ

Artinya: “dan orang-orang yang menunaikan zakat,” (QS. Al-Mu’minun: 23: 4).

Kewajiban zakat kepada Allah adalah kewajiban umat Islam yang memiliki harta yang lebih, sehingga memenuhi untuk menunaikan zakat, kecuali yang yang memang dianjurkan bagi setiap individu pada setiap tahun pada bulan Ramadhan yaitu zakat Fitrah. Allah swt memberikan rezeki kepada hamba-Nya guna untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Apa yang Allah swt berikan kepada Hamba-Nya adalah bentuk dari sifat Ar-Rahaman dan Ar-Rahim-Nya Allah swt. Segala apa yang Allah swt berikan kepada umat Manusia, maka disitulah terdapat hak dan milik orang lain. Maka, cara untuk bersyukur atas nikmat rezeki yang Allah swt berikan dengan cara menzakatkan dan menshadaqahkan. Dengan cara inilah InsyaaAllah akan menjadi Hamba yang senantiasa menjaga harta dan senantiasa bersyukur kepada Allah swt. Maka akan menjadi ham-ba-hamba beruntung seperti yang Allah swt janjikan.

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ

Artinya: “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,” (QS. Al-Mu’minun: 23: 5).

Mukmin yang baik dan mendekatkan diri kepada Allah swt akan rasa takutnya jika berbuat zina adalah Mukmin yang senantiasa menjaga kemaluannya. Perbuatan zina termasuk dalam salah satu dosa yang besar, perbuatan yang Allah swt murkai. Setiap hamba wajib menjaga harga diri dari segala perbuatan yang berdampak kemungkaran, salah satunya dalah perbuatan perzinahan.

Termasuk bagian kesempurnaan pemeliharaan kemaluan adalah menjauhi perkara-perkara yang menuntun kepada perzinaan. Misalnya, memandang dan menyentuh (yang bukan mahramnya) dan tindakan lain yang serupa. Maka, mereka telah memelihara kemaluan mereka dari setiap orang.

إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ

Artinya: “kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (QS. Al-Mu’minun: 23: 6).

Orang-orang Mukmin yang baik adalah mereka yang memperlakukan istri-istri mereka dengan baik dan menggauli mereka dengan baik. Perkembangan zaman yang semakin maju di dorong dengan kemajuan dunia teknologi dan globalisasi menjadikan generasi muslim semakin keluar dari perbuatan baik. Banyak sekali generasi muslim yang terjrumus kedalam perbuatan kejahatan, kemungkaran dan perzinahan.

Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin sempitnya iman yang mereka miliki dan rasa ketidak tertarikannya terhadap ilmu agama. Sehingga aqidah dan Akhlak yang ada pada dirinya adalah aqidah dan akhlak yang lemah. Dampaknya semakin banyak generasi yang terpeleset dalam dunia perzinahan. Peristiwa yang sering terjadi adalah hamil diluar nikah, hal ini disebabkan kurang iman dan tidak mampunya menjaga keamluan mereka.

فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ

Artinya; “Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 23: 7).

 

Dalam Tafsir As-Sa’di dijelaskan  “Barangsiapa mencari yang dibalik itu,” selain istri dan budak wanita, “maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” yang telah melewati batasan yang sudah Allah halalkan menuju tindakan yang diharamkan, yang nekad melanggar larangan-larangan Allah. Muatan umum ayat ini, menandakan tentang pengharaman [pernikahan] mut’ah. Sesungguhnya si wanita (dalam pernikahan mut’ah) bukan istri (si lelaki) dengan sebenarnya, yang ditunjukan untuk hidup bersama dan juga bukan budak yang dimilki, serta menunjukan pengharaman pernikahan untuk menghalalkan untuk menghalalkan (istri yang sudah ditalak tiga).

Sedangkan Firman Allah ”Atau budak yang mereka miliki,” menunjukan bahwa disyaratkan dalam penghalalan budak wanita, yaitu hendaknya budak itu merupakan hak miliknya secara utuh. Jika hak kepemilikannya atas budak tersebut hanya separuh, maka belum halal (baginya). Wanita itu (masih) bukan termasuk yang berada dalam kepemilikannya, akan tetapi ia berada dibawah hak kepemilikan lelaki itu dan orang lain. Maka itu sebagaimana tidak diperbolehkan adanya seorang wanita meredeka yang dimilki oleh dua orang lelaki secara bersamaan. Demikian pula, seorang budak wanita tidak boleh dimiliki oleh dua majikan secara bersamaan.

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ

Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 23: 8).

Setiap hamba memiliki amanat yang diberikan oleh Allah swt, lalu kewajiban setiap hamba dalah dalah menjaga amanat itu dengan sebaik-baiknya. Amanat dan janji yang Allah swt berikan kepada Hamba-Nya dalah berupada kewajiban melaksankan apa yang telah Allah swt tetapkan dan Syariatkan. Begitu juga amanat-amanat yang lainnya yang berkaitan dengan kebaikan dan kemaslahatan, seperti amanat seorang presiden untuk menjaga dan melindungi negara serta hak dan kewajiban rakyatnya, amanat para pemimpin, gubernur, wali kota, bupati, kades, camat, polri dan lainnya wajib menjaga amanat yang telah diberikan kepadanya.

Jika mereka para pemimimpin tidak dapat menjaga amanatnya dengan baik atau malah sebaliknya berbuat kedzaliman atas nama institusinya atau wewnangnya dan kepemimpinannya, maka murka dan adzab Allah swt bener-benarlah ada. Oleh karena itu, amanat yang telah diberikan harus benar-benar dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya, jangan gunakanamanat itu untuk berbuat keburukan dan merugikan orang banyak.

Dalam Tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,” maksudnya mereka memperhatikan, menjaga lagi memeliharanya, sangat bergelora semangatnya untuk menjalankan dan menegakkannya. Keterangan ini bersifat umum berlaku pada seluruh amanah yang merupakan hak Allah, dan hak para hamba. Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”

Seluruh kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada para hamba-Nya merupakan amanah bagi seorang hamba. Dia berkewajiban menjaganya dengan mengaplikasikannya sebaik-baiknya. Begitu pula, seluruh amanah yang terjalin antar manusia masuk dalam konteks ini, misalnya, titipan harta, perkara-perkara rahasia dan lain-lain. Kewajiban seseorang, adalah memberikan perhatiannya ke arah dua perkara itu dan dua amanah tersebut.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”

Demikian pula ikatan janji, mencakup janji mereka dengan Rabb mereka dan janji mereka dengan sesama, yang berbentuk, konsekuensi-konsekuensi dan akad yang telah dibuat oleh seseorang. Dia harus mempedulikan dan menepatinya. Dia haram menyia-nyiakannya atau mengenyampingkannya. Maka, segeralah bertaubat kepada hamba-hamba yang yang mersa ingkar terhadap manat-amanat dan janji yang telah Allah swt berikan. Kepada para pemimpin-pemimpin yang juga telah mengingkari manat-anamat yang telah diberikan dan janji-jani yang telah keluar dari mulut, maka segeralah bertaubat, emban amanat dan janji itu dengan baik, memohon ampunlah kepada Allah swt dan perbaikilah yang telah dirusak, InsyaaAllah akan menjadi Hamba yang beruntung disisi Allah swt. Allah swt maha menolong, mengampuni dan menerima Taubat Hamba-Nya.

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمۡ يُحَافِظُونَ

Artinya: “dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.” (QS. Al-Mu’minun: 23: 9).

Shalat adalah kewajiban setiap muslim yang harus ditunaikan. Shalat merupakan interaksi seorang hamba kepada Rabnya. Melalui shalat apa yang dimohonkan dan apa yang diminta diadukan kepada Allah swt. Karena hanya kepada-Nyalah kita memohon dan meninta pertolongan. Shalat dilarang mainan, bercanda apalagi tidak menghargai Allah swt dengan tidak menghadirkan rasa takut di dalamnya hatinya. Ketundukan seorang hamba kepada Allah swt adalah dengan cara shalat yang khusu’ dihadapn-Nya. Jika seorang Hamba sudah melaksanakan shalatnya dengan baik, maka segala amal yang dilakukannya InsyaaAllah juga baik. Menjaga shalat bukan hanya sekedar shalat, namun juga harus faham waktunya, gerakannya, rukun dan syaratnya dan syariatnya.

Dalam Tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa  “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya,” maksudnya yang menegakkannya secara tekun pada waktu-waktunya, sesuai aturan-aturan, syarat-syarat edan rukun-rukunnya. Allah menyanjung mereka karena tingkat kekhusu’an menjadi sempurna berkat dua hal itu. Barangsiapa yang menekuni pelaksanaan shalat tanpa khusu’ atau menunaikannya dengan khusu’ tapi tanpa dibarengi dengan ketekunan, maka ia tercela lagi kurang.

أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,” (QS. Al-Mu’minun: 23: 10).

Itulah hamba-hamba yang akan mewari dan mendapatkan apa yang telah Allah swt janjikan kepadanya jika dapat melaksanakan syarat dan kewajibannya sebagai Mukmin yang bertaqawa. Hamba yang beruntug mereka yang mampu melaksanakan dan menjaga shalatnya, menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang tercela, menunaikan zakat sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat harta yang telah Allah swt berikan kepadnya, menjaga kemaluannya kecuali untuk istri-istri mereka, menjaga shalatnya, baim syarat, rukun dan hukum disyariatkannya shalat serta mereka yang senantiasa melaksanakan dan menjaga janji-jani dan amat-amanat yang Allah swt berikan. Melalui sifat inilah manusia yang senantiasa menjalankan apa yang Allah swt janjikan maka menjadilah Mukmin yang beruntung disisi Allah swt. Maka beruntunglah mereka “Qad Aflaha Al-Mu’minun”, “Mereka itulah,” orang-orang yang bercirikan dengan sifat-sifat tersebut adalah “ orang-orang yang akan mewarisi.”

ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: “(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minun: 23: 11).

Ending akhirnya adalah mereka yang senantiasa menjalankan perintah Allh swt, yang telah dijelaskan pada ayat 1-10 adalah sebagai Mukmin yang beruntung akan mendapatkan surga firdaus dan kekal didalamnya. Surga Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan mulia. Seperti yang dijelaskan dari Anas bin Malik ra, Nabi Muhammad saw bersabda:

“ Firdaus adalah surga yang paling tinggi, yang paling bagus, dan yang paling afdal atau utama.” (HR. Turmudzi dan Al-Albani).

Dalam Tafsirnya, Imam As-Sa’di menjelaskan: “(yakni) orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus,” yang merupakan tingkatan surga paling tinggi, berada di tengah dan paling utama. Lantaran mereka terhiasi oleh sifat-sifat kebaikan pada tingkat paling tinggi. Atau maksudnya adalah seluruh surga, agar kaum Muslimin pada umumnya dapat memasuki surga sesuai dengan tingakatan (amalan) mereka. Masing-masing tergantung kondisinya. Mereka kekal didalanya,” mereka tidak beranjak pindah darinya dan tidak berminat mencari tempat ganti, lantaran berisi kenikmatan yang paling sempurna dan terbaik lagi terlengkap, tanpa ada yang menodai dan membuat susah.

Lalu siapa diantara kita yang tidak ingin mendapatkan surga tersebut?. Semua hamba pasti ingin mendapatkan surga tersebut, maka syarat mutlak yang harus dilaksanakan adalah tercatat dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1-10. Kerjakanlah dan laksanakanlah perintah dan ketetapan Allah swt dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh ikhlas. Memang untuk menjalakan apa yang Allah swt perintahkan begitu banyak rintangan dan godaannya, untuk itu bersabarlah dan istiqomalah dalam menjalankannya. insyaaAllah jika ikhlas dan sabar, maka akan mendapatkan apa yang diinginkan.

Dwi Arianto, S.Sy.,S.Pd.,Alumni PUTM-UMY dan Pengajar di MBS At-Tanwir, Panti Asuhan Budi Mulya Muhammadiyah dan MTs Muhammadiyah Sukarame Bandar Lampung

Exit mobile version