Dua Golongan Besar Yang Hebat dan Posisi Muhammadiyah (1)

golongan

Foto Dok Istimewa

Dua Golongan Besar Yang Hebat dan Posisi Muhammadiyah (1)

Oleh: Hajriyanto Y Thohari

Frase “Dua golongan besar yang hebat” ini saya pinjam dari Mohammad Hatta (1902-1980), salah seorang dari dua proklamator kemerdekaan Indonesia, negarawan besar, nasionalis, dan Muslim yang salih dan berakhlak mulia. Frase ini beliau gunakan tatkala menyampaikan pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Univeristas Indonesia (30 Agustus 1975) yang berjudul Menuju Negara Hukum (Yayasan Idayu, Jakarta, 1980).

Dua golongan besar yang dimaksudkan Hatta adalah, pertama, “Aliran yang berpegang -dengan mulutkepada Pancasila yang pengikutnya kira-kira 52% dalam Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955 yang sangat demokratis; dan, kedua “Aliran negara Islam, yang sokongannya dalam Konstituante hanya 48%”. Kata “dengan mulut” itu benar-benar diucapkan Hatta secara eksplisit (hal. 15) dalam pidato itu. Pasalnya, menurut Hatta, mereka memang hanya berpegang pada Pancasila dengan mulut saja minus pengamalan!

Dalam perkembangannya golongan yang pertama secara gampangan publik menyebutnya “golongan Nasionalis”, yang kedua juga secara simplistik disebut “golongan Islam”. Tentu sebagaimana biasanya sebuah penyingkatan pastilah bersifat simplifikatif, dan karena itu sering menyesatkan (misleading). Sebenarnya kalau tidak ingin sesat haruslah dipakai kalimat lengkap seperti yang digunakan Hatta seperti tersebut di atas. Dan itupun sejatinya hanya ada di Konstituante dulu. Pasalnya, di dalam apa yang disebut dengan golongan nasionalis terdapat juga orang-orang Islam. Dan dalam apa yang disebut golongan Islam itu banyak sekali orang yang sangat nasionalis dan patriotis.

Dua golongan yang dulu hanya ada dalam sidang Konstituante (1955-1959) tersebut rupanya terus menjadi referensi politik sampai hari ini. Seharusnya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 keberadaan dua golongan itu sudah berakhir. Konstituante juga sudah dibubarkan dan masuk ke kuburan sejarah berkat Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Faktanya dekrit tersebut didukung oleh mayoritas bangsa dari semua elemen. Dengan Dekrit 1959 maka bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945 di mana Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 tersebut. Begitu Konstituante dikubur maka dua golongan besar dan hebat itu ikut serta dikubur di dalamnya. Itulah faktanya, dan begitulah memang seharusnya.

Bablasan atau dibablaskan?

Tetapi kenyataannya tidaklah selalu demikian. Konstituante dan dua golongan besar itu masih sering dibangunkan dari kuburnya dijadikan referensi bagi praktek-praktek politik beberapa tahun terakhir ini. Sungguh memuakkan dan menyebalkan. Para pemimpin yang kurang membaca memang selalu mengalami kemiskinan referensi dan kosa kata, lantas membuatnya miskin alternatif dan akhirnya kembali ke kuburan untuk membongkar referensi lama yang sudah dikubur dalam-dalam itu. Dan referensi itu pun sayangnya dibaca tidak dengan teori, melainkan hanya dipahami berdasarkan impresi belaka.

Padahal, pasalnya, jika seandainya tidak ada Dekrit 1959 maka yang terjadi dalam Konstituente adalah dua saja: deadlock atau terjadi kompromi. Tetapi faktanya sepertinya tidak demikian. Hari-hari ini kita merasakan dua golongan itu diperkuat dan menguat, serta dikristalkan dan mengristal Kembali: golongan nasionalis versus golongan Islam. Jadi sepertinya ada bablasan atau memang sengaja ada (entah siapa) yang membablaskannya. Sekarang ini sedikit-sedikit orang kembali melacak biografi orang lain dari segi apakah dia nasionalis apakah dia Islam, apakah dia orang merah dan apakah dia orang hijau!

Situasi sekarang ini kepercayaan antar anak bangsa sangatlah rendah: terjadi pembelahan dalam masyarakat dan sarat dengan hawa curiga dan permusuhan. Mestinya setelah 76 tahun merdeka dan sesudah 22 tahun Dekrit 1959 berlalu, kita sebagai bangsa sudah sampai pada masa tidak ada lagi merah dan hijau: yang ada adalah merah putih!

Sungguh tidak konstruktif jika sekarang ini dari kubu sebelah gampang keluar pernyataan yang mencurigai golongan sebelahnya. Golongan sebelah sini mencurigai golongan sebelah sana, dan golongan sebelah sana tidak percaya pada golongan sebelah sini. Mungkin kecurigaan dan ketidakpercayaan itu tidak lagi diucapkan dengan kata-kata yang eksplisit seperti pidato Mr. Kasman Singodemejo versus Nyoto dalam Konstituante dulu, melainkan dengan kalimat-kalimat yang bersayap, seperti misalnya, “Tidak NKRI”, “Menolak kebhinekaan”, “Pro syariat”, “politik identitas”, dan lain-lainnya. Atau dengan kata-kata yang lebih keras, misalnya golongan “intoleran”, “radikal”, dan “pro-khilafah”. Atau yang lebih sarkastis lagi dan sangat vulgar: “Mabuk agama”, “Teroris”, atau “proteroris” dan lain-lainnya.

Sementara dari golongan besar satunya yang di sebelah ndelalah-nya ada anasir-anasir yang, benar atau salah, serius atau wacana, yang mengampanyekan formalisasi syariat, khilafah, dan lain-lainnya. Sementara dari kalangan sebelah pun juga dengan mudah menggunakan otoritas keagamaan yang merasa dimilikinya menuding kelompok yang lain sebagai “Sekuler”, “Anti-Islam”, bahkan “PKI”, dan sejenisnya. Keduanya akhirnya menjadi sama saja: setali tiga uang.

Meski hanya tudingan tetapi karena dikeluarkan oleh pihak yang sedang berkuasa (baik dalam konteks negara atau badan keagamaan), atau setidaknya ikut berkuasa menjadi penguasa, atau merasa dekat dengan penguasa, maka persoalannya menjadi serius. Ibaratnya orang yang sedang berada di puncak gunung maka lemparan tudingan-tudingannya menjadi dirasa sangat memojokkan. Apalagi pihak yang berkuasa, di mana pun dan kapan pun, selalu memiliki semua instrumen untuk menuding karena merasa pasti akan memenangkan setiap pergumulan. “Negara tidak boleh kalah” menjadi adagium di mana-mana.

Fatalnya, golongan Islam yang tidak mau secara frontal bersama penguasa memerangi ideologi perlawanan tersebut dituding juga sebagai bersetuju, atau setidaknya dianggap lunak dan abu-abu. Padahal maksudnya yang sejati adalah tidak ingin menambah gaduh situasi saja. Toh anasir-anasir itu, dinilainya sebagai tidak terlalu signifikan karena jumlahnya sangat kecil, dan hanya segelintir saja, dan bisa didekati dengan dakwah yang sifatnya persuasif. Pasalnya, dalam wacana-wacana “syariat” atau “khilafah” tersebut lebih terkait dengan persoalan penafsiran teologi yang memang dalam sejarah intelektualisme dan pemikiran Islam biasa diperdebatkan. Dan itu banyak ditemukan dalam banyak literatur keislaman klasik.

Topik syariat, khilafah, dan lain-lainnya, adalah topiktopik lama yang menjadi bagian dari tema hubungan agama dan negara yang diperdebatkan dalam banyak kitab keislaman sejak abad pertengahan. Bagi mereka yang tidak memiliki akar dalam tradisi intelektualisme Islam wacana seperti itu memang bisa jadi mengagetkan dan menakutkan. Sebuah kekagetan dan ketakutan dari orangorang yang tidak mengerti khazanah intelektual Islam. Apalagi bagi mereka yang pada dasarnya memiliki sikap alergi terhadap segala sesuatu yang berbau keislaman yang biasa disebut Islamphobia.

Sekali didorong oleh ketidaktahuan akan khazanah intelektualisme keislaman dan diperparah oleh potensi penyakit Islamphobia, serta ditambah lagi oleh penghimpitan antara wacana-wacana tersebut dengan semangat oposisi atau oposisionalisme maka terciptalah situasi politik seperti sekarang ini: pembelahan yang berhawa permusuhan muncul di mana-mana.

Harus segera diakhiri

Tentu ada banyak faktor lain yang menjadikannya anasir kecil itu menjadi terkesan begitu dramatis. Pertama, kita memasuki era media sosial yang luar biasa di mana orang dengan bebas menyuarakan pendapatnya; kedua, ada fenomena antusiasme ber-Islam yang luar biasa di mana orang ingin menjadi lebih Islami (apa pun definisinya); ketiga, adanya kekecewaan yang luas akan kesenjangan ekonomi yang jauh dari keadilan sementara korupsi tidak berkurang; dan keempat, semakin menguatnya populisme dalam kehidupan politik sebagai akibat dari pemilu secara langsung. Tim Sukses masing-masing kandidat berusaha sekuat tenaga untuk menang dengan mengusung ideide populisme. Dan agama menjadi salah satu unsur populisme yang murah dan meriah.

Dalam suasana seperti itu maka setiap menghadapi agenda politik seperti pemilu suasana menjadi panas karena diberi muatan ideologis yang merupakan bablasan golonganisme itu. Muncullah tudingan menguatnya politik identitas yang, benar atau salah, diarahkan kepada golongan yang di sebelahnya. Berbagai kejadian akhirakhir ini diakui atau tidak telah diseret ke arah persaingan yang dikonstruksikan sebagai pertarungan ideologi atau setidaknya mengandung muatan-muatan ideologis bablasan lama seperti itu.

Padahal semuanya itu hanyalah persaingan politik yang biasa-biasa saja yang terjadi di antara pemain politik dari orang-orang yang juga biasa-biasa saja. Persaingan di lapangan politik di mana pun tentu saja akan tetap ada. Dan itu sah saja dalam kehidupan demokrasi. Bahkan persaingan itu sehat. Tanpa persaingan tidak akan ada dinamika dan progres. Hanya saja persaingan tersebut mestinya dilakukan dalam bingkai merah-putih. Dan saya meyakini bahwa persaingan yang berlangsung selama ini masih dalam bingkai merah-putih.

Walhasil, sejak peristiwa G30S/PKI dengan segala resonansi dan residunya, hubungan antar-golongan di negeri ini belum pernah sepanas sekarang ini. Tidak perlu disebut satu persatu kejadian akhir-akhir ini dengan segala polemik dan kontroversinya yang sangat menguras energi bangsa itu. Semuanya telah menjadi suatu truisme belaka. Yang penting adalah bagaimana kita sebagai bangsa harus mengakhiri situasi yang melelahkan ini. Dan, ini yang lebih penting lagi: di mana posisi dan bagaimana peran Muhammadiyah di arena kebangsaan yang semakin rumit ini? (Bersambung)

Hajriyanto Y. Thohari, Anggota PP Muhammadiyah.

 

Exit mobile version