“Drama” Duren Tiga dan Kesehatan Spiritual
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Duhai Zat yang melihat nyamuk membentangkan sayapnya
Di tengah malam nan sangat gelap
Yang melihat urat-urat nadinya yang menggantung di leher
Melihat otaknya yang kecil di dalam tulang-tulang itu
Karuniakanlah tobat kepadaku yang dengannya Engkau menghapus
segala dosa masa lalu (ku)
(Bait-bait syair dalam buku “Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an”, Hamid Ahmad Ath-Thahir, 2019).
Dengan maksud berkelakar, Gus Dur Presiden RI keempat, guyonan, “Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tidak dapat disuap. Satu, polisi tidur. Dua, polisi patung dan yang ketiga, polisi Hoegeng. Mantan Kapolri yang legendaris itu, yang dikenang masyarakat Indonesia sebagai good police, tersohor sebagai polisi yang anti-PKI (Pokoke Kantong Isi) sampai akhir hayatnya.
Hal ini bisa terjadi, karena beliau konsisten melaksanakan Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sila “Keuangan yang maha kuasa”. Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santosa, berkata : “ Meskipun saya ini seorang polisi, saya tidak hanya belajar ilmu kepolisian, juga belajar ilmu maling. Bukan untuk menjadi seorang maling, tapi agar tidak kemalingan !”. Hal ini bisa terjadi, karena beliau senantiasa menjaga dan memelihara kesentosaan imannya, tetap kokoh, tidak mudah goyah meskipun digoyah-goyah, sebagaimana doa dan harapan ayahandanya yang memberinya nama.
Berbeda dengan sastrawan Inggris William Shakespeare (1564 – 1616), “Apalah artinya nama, what is a name”. Sebagaimana pada umumnya orang-orang Indonesia, pemberian nama tidak hanya sekedar nama. Namun pemberian nama itu, merupakan doa dan harapan kepada Tuhan, agar yang diberi nama berperilaku sebagaimana yang dikehendaki Tuhan dan senantiasa dapat ridha Tuhan.
Kata pepatah : “Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, Sepandai-pandai Sambo membuat dan menyebarkan hoax (homo mandex, manusia pembohong), akhirnya terkuak juga tindak kejahatannya ! “Hati boleh panas, tapi kepala tetap dingin”, lagi-lagi kata pepatah. Yang terjadi di Duren Tiga adalah ”hati boleh panas, tapi kepala tetap panas”. Maka, terjadilah “drama” yang berakhir dramatis, tragedy ending, tragedi kemanusian, pelecehan terhadap Sila kedua Pancasia yang mestinya “ Kemanusian yang Adil dan Beradab”.
Yang terjadi justru sebaliknya, sila “Kemanusian yang tidak adil dan tidak beradab”, jika enggan mengatakan biadab ! Pembunuhan (berencana) ala “gangster” – Korsika dan Italia – (dalam film, Don Corleone diperankan dengan sangat apik oleh aktor Marlon Brando) terhadap seorang polisi , oleh para polisi atas perintah “Don” Sambo seorang perwira tinggi polisi, di rumah dinas polisi Duren Tiga !
Ironis, aparat penegak hukum tidak menggunakan hukum manusia, malahan justru menggunakan hukum rimba ! Mestinya manusia yang berperilaku manusiawi, yang terjadi justru mendegradasi dirinya sendiri, menjadi manusia yang berperilaku hewani ! Berperilaku homo homini lupus, menjadi manusia berperilaku serigala !
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Manusia tanpa budi atau tidak berbudi, maka akalnya dipakai untuk ngakali dan akal-akal bin okol-okolan, contohnya, Brigadiir J dikatakan meninggal karena “tembak-tembakan” yang dikabar-kabarkan juga dia melakukan pelecehan seksual.
Budi (prefrontal cortex, otak dibalik dahi yang dianugerahkan Tuhan hanya kepada manusia, hewan tidak), ibaratnya Menteri Dalam Negeri, dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk memimpin otak akal-pikiran yang ibaratnya Gubernur dan otak emosi atau otak perasaan yang ibaratnya Walikota/Bupati, agar mereka seriring sejalan, sehingga perilaku manusia bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia. Hidupnya akan penuh makna, meaningful, tidak meaningless, tanpa makna !
Oleh karena itu, agar perilaku manusia tidak ngaco, tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, maka manusia harus senantiasa membangun komunikasi yang intens dengan Presidennya para Presiden, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan agama kepada manusia, sebagai jalan buat manusia untuk membangun interaksi atau hubungan timbal balik dengan Tuhan Sang Pencipta.
Agama dari kata gam ,bahasa Sanskerta, yang berarti pergi, sebagaimana go dalam bahasa Inggris yang berarti sama, pergi. Karena kedua bahasa itu berasal dari pohon bahasa yang sama, yaitu Proto–Eropa. Kemudian, kata gam dapat awalan a dan akhiran a, menjadi agama yang berarti jalan menuju Tuhan (road to Allah).
Dalam ritual sholat, ketika manusia melakukan sujud dengan meletakkan dahinya di tempat sujud, merupakan wujud konkret puncak penghormatan manusia kepada Tuhan, setelah manusia mengucapkan hanya kepada Tuhanlah manusia mengabdi dan memohon pertolongan, agar dibimbing (diantar) manusia (memasuki) jalan lebar dan luas, (yaitu) jalan manusia-manusia yang telah Tuhan anugerahi nikmat, bukan (jalan) manusia-manusia yang dimurkai Tuhan dan bukan (pula jalan) manusia-manusia yang sesat (QS al-Fatihah [1] : 5 – 7).
Selanjutnya, selain manusia membangun interaksi dengan Tuhan (hablun minaallah), manusia juga membangun interaksi dengan dirinya sendiri (hablun minafsihi), membangun interaksi dengan sesama manusia (hablun minannas) dan membangun interaksi dengan lingkungan alam (hablun minalalam). Sebagaimana kata Nabi Muhammad Saw, bahwa substansi beragama adalah membangun interaksi. Apabila manusia tidak menggunakan prefrontal cortex-nya, dengan kata lain mensia-siakan anugerah Tuhan, maka Tuhan mengingatkan manusia lewat Kitab Suci, kelak ke neraka akan diseret pada jidatnya !
Adapun fungsi prefrontal cortex adalah 1) Pengendali nilai ; 2) Perencanaan masa depan (future planning), agar manusia menjadi makhluk yang visioner, Tuhan mengingatkan akan adanya hari Akhir (the day After), hari Pembalasan; dan 3) Pengambilan keputusan (decision making). Adapun keputusan yang benilai di hadapan Tuhan adalah baik, benar dan adil !
Dengan budi (manusia memfungsikan prefrontal cortex-nya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan) manusia akan mendapatkan hati nurani (“nur” artinya “bersifat terang”). Sebaliknya, manusia yang tidak berbudi, akan melakukan dosa, sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Karena itu dosa juga disebut munkar, sesuatu yang diingkari atau ditolak, yakni diingkari atau ditolak oleh hati nurani.
Jika seseorang banyak berbuat dosa, maka lama-kelamaan hatinya mengalami kegelapan (zhulm) dan ia sendiri menjadi “manusia gelap” atau zalim (zhalim). Karena itu hatinya tidak bersifat nurani, melainkan telah berubah menjadi zhulmani, artinya gelap, sayangnya istilah ini tidak masuk ke dalam kosakata Indonesia (Madjid, 1998).
Manusia yang percaya kepada Tuhan dikatakan manusia yang beriman. Iman diterjemahkan dengan percaya. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Maka, wajah orang yang beriman akan memancarkan cahaya (keimanan), wajah perdamaian, damai dengan Tuhan, damai dengan diri sendiri, damai dengan sesama manusia dan damai dengan lingkungang alam, meskipun jidatnya tidak ada warna hitam.
Perilakunya akan baik dan benar bahkan bisa jadi indah. Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kecintaan, maka sudah sepatutnya dan selayaknya manusia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan penuh rasa cinta dan ketulusan (worshiping Allah on the bases of love and sincerity). Selanjutnya, tanda-tanda bahwa manusia itu beriman adalah, apabila disebut nama Allah berdebar-debar jantungnya (bukan bergetar hatinya, hati terletak di rongga perut, sedangkan yang di dada itu jantung – heart), karena saking cintanya kepada Allah. Selain itu , apabila mendengar ayat-ayat Allah akan bertambah-tambah imannya karena makin bertambah cintanya kepada Allah (QS al-Anfal [8] : 2).
Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya, “health is not everything but without it everything is nothing” (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).
“There is no health without mental health”, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa (Prince et al, 2007). Menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dengan demikian, cakupan masalah kesehatan jiwa sangat luas, merentang dari Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sampai dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Penyebab gangguan jiwa itu multifaktorial (organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural). Oleh sebab itu, imunisasi untuk mencegah munculnya gangguan jiwa hingga saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Bisa menimpa dari sinden sampai presiden, dari dukun sampai dekan, dari selebriti sampai politisi maupun polisi.
Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Spiritualitas dari bahasa Latin, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Memang belum ada definisi konkret tentang kesehatan spiritual. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang sehat spiritual adalah orang yang perilakunya bermakna di hadapan Tuhan maupun manusia.
Menurut Prof. Dr. Syamsulhadi, Sp. KJ (K), Guru Besar Psikatri FK-UNS, bahwa spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari agama. Dengan demikian, orang yang sehat spiritual adalah orang yang mengejawantahkan nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci. Lewat Kitab Suci Tuhan melakukan pendidikan (transfer of values) dan pengajaran (transfer of knowlegde). Misalnya, manusia dilarang membunuh maupun bunuh diri.
Ketika berbicara tentang hidup, Tuhan menggunakan kosa kata Aku, hanya Tuhanlah yang mampu memberi hidup. Sedangkan ketika berbicara tentang kematian, Tuhan menggunakan kosa kata Kami, artinya manusia ikut diberi peran dalam panjang-pendek umurnya. Oleh karena itu, Tuhan melarang tindakan membunuh maupun bunuh diri, karena hal ini menyebabkan kematian sebelum saatnya. Jatah umur manusia modern adalah sekitar 110 – 120 tahun.
Kematian otak (brain death) terjadi pada umur 120 tahun. Patut diduga, pelaku utama pembunuh Yosua dalam kondisi tidak sehat spiritual. Bisa jadi karena yang bersangkutan tidak menjaga & memelihara kesehatan spiritualnya selama ini, bisa jadi abai bahkan tidak peduli terhadap nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci. Dalam bahasa polisi , bisa jadi suka melanggar rambu-rambu larangan yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci.
Kisah Manusia Pembunuh Pertama Kali Dalam Sejarah Umat Manusia
Dalam Surah al-Ma’idah [5] : 27 yang berbunyi : Bacakanlah kepada mereka berita kedua putra Adam dengan haq; ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua dan tidak diterima dari yang lain. Ia berkata, “Aku pasti membunuhmu!”. Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah hanya menerima para muttaqin”.
Menurut Shihab (2012), ayat tersebut di atas berpesan kepada Nabi Muhammad Saw. : Bacakanlah kepada mereka, yakni orang-orang Yahudi dan siapa pun, berita yakni kisah yang terjadi terhadap kedua putra Adam, yaitu Habil dan Qabil dengan haq, yakni menurut yang sebenarnya, yaitu ketika keduanya mempersembahkan kurban guna mendekatkan diri kepada Allah, maka diterima oleh Allah kurban dari salah seorang dari mereka berdua, yakni Habil dan tidak diterima oleh Allah dari yang lain, yakni dari Qabil. Melihat kenyataan itu, Qabil iri hati dan dengki. Maka ia berkata, “Aku pasti membunuhmu!”. Ancaman ini ditanggapi oleh Habil dengan ucapan yang diharapkan dapat melunakkan hati saudaranya serta mengikis kedengkiannya. Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah hanya menerima dengan penerimaan yang agung dan sempurna kurban dari para muttaqin, yakni orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam ketakwaan.
Yang dimaksud dengan Adam pada ayat ini adalah yang dikenal secara umum sebagai manusia pertama, bukan dugaan sementara orang bahwa Adam yang dimaksud salah seorang dari Bani Isra’il, tentu sistem penguburan mayat telah dikenal ketika itu dan, dengan demikian, pembunuhnya tidak akan bingung bagaimana menguburkan saudaranya yang dibunuh, sebagaimana yang diuraikan oleh kisah ini pada ayat 31 yang akan datang.
“Sungguh seandainya engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan dosaku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim” (QS al-Ma’idah [5] : 28 -29).
Setelah sebelumnya Habil menasihati sang saudara yang mengancam membunuhnya, nasihat itu dilanjutkan dengan ucapan yang menggambarkan kasih sayangnya kepada saudaranya serta rasa takutnya kepada Allah. Dia berkata :
Sungguh seandainya memang benar – namun aku ragu – engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku dengan cara apapun serta kapan pun karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan Pemelihara seru sekalian alam, termasuk yang memelihara aku dan engkau.
Sesungguhnya aku ingin dengan bersikap seperti yang kukatakan itu agar engkau, bila benar-benar membunuhku, kembali dengan membawa dosa pembunuhan terhadapku bahkan dosaku yang telah aku lakukan dan yang harus engkau pikul sebagai imbalan atas kejahatanmu kepadaku dan dosamu sendiri, antara lain yang mengakibatkan kurbanmu tidak diterima Allah. Dan, jika demikian halnya, maka engkau akan menjadi penghuni neraka akibat dosa-dosamu dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim, yakni yang mantap lagi mendarah daging kezalimannya.
Dalam pandangan Imam Syafi’i (dalam Shihab, 2012), jika yang menyerang seseorang adalah sesama Muslim, dia boleh menyerah berdasar sabda Nabi Saw. “Jadilah yang terbaik dari kedua anak Adam” (HR Abu Daud). Yang dimaksud adalah berlaku seperti Habil yang mengalah kepada saudaranya Qabil ketika bermaksud dan ternyata membunuhnya. Konon, Khalifah Usman Ra. melarang para pengawal/pembantunya membela beliau ketika terjadi pemberontakan terhadap beliau dan pada akhirnya beliau gugur.
Nabi Saw. bersabda : “Pada Hari Kiamat akan dihadirkan orang yang menganiaya dan orang yang teraniaya. Maka, diambil dari kebajikan yang menganiaya untuk diberikan kepada yang teraniaya sehingga kebajikan yang teraniaya bertambah sampai ia mendapat keadilan yang memuaskannya. Bila yang menganiaya tidak memiliki kebajikan, diambil dosa-dosa yang teraniaya dan dipikulkan kepada yang menganiaya” (HR Muslim).
“Maka hawa nafsunya menjadikan ia rela membunuh saudaranya, maka dibunuhlah, maka menjadilah dia di antara orang-orang yang merugi” (QS al-Ma’idah [5] : 30).
Nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Habil kepada saudaranya sama sekali tidak berbekas di hati dan pikiran Qabil. Ia telah dikuasai oleh hawa nafsu amarahnya, maka, setelah beberapa saat ia ragu dan berpikir, hawa nafsunya menjadikan ia rela sedikit demi sedikit dan mempermudah hati dan pikirannya untuk membunuh saudaranya, maka, setelah berlalu beberapa saat, dibunuhnyalah saudara kandungnya itu, maka dengan demikan menjadilah ia seorang di antara, yakni yang masuk dalam kelompok orang-orang yang benar-benar merugi dengan kerugian besar yang melekat pada dirinya dan tidak dapat dielakkannya.
Bahwa ketaatan dan kerelaan hati yang muncul sedikit demi sedikit, dan yang lahir dari upaya nafsu mempengaruhi dan meyakinkan seseorang; dalam hal ini Qabil. Seseorang yang menyadari bahwa pelanggaran satu larangan adalah dosa dan dapat mengakibatkan hukuman, dia tidak akan melanggarnya, walau nafsu mendorong dirinya untuk melanggar. Keberhasilan menolak dorongan nafsu adalah kedurhakaan terhadap nafsu, bukan kepada Allah Swt.
Sebaliknya, jika hawa nafsunya memperindah larangan itu, menampik segala bisikan nurani, serta mendorongnya untuk melakukan apa yang dilarang, ketika itu, orang tersebut pada hakikatnya telah taat kepada nafsunya. Ketaatan kepada dorongan nafsu bisa cepat, bisa juga lambat. Ayat ini menggambarkan bahwa ketaatan si pembunuh lahir sedikit demi sedikit disebabkan ketika itu terjadi pergolakan dalam diri Qabil, antara dorongan kebaikan yang melarangnya membunuh dan dorongan nafsu sehingga pada akhirnya ia menaati nafsunya. Langkah yang dianjurkan oleh nafsunya itu merupakan pembunuhan pertama yang dilakukan oleh manusia.
Maka Allah menyuruh seekor gagak menggali-gali di bumi untuk mempeerlihatkan kepadanya bagaimana dia (seharusnya) menutupi keburukan saudaranya itu. Dia berkata : “Aduhai celaka besar ! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini ?”. Karena itu, menjadilah dia di antara orang-orang yang menyesal (QS al Ma’idah [5] : 31).
Setelah ia membunuh saudaranya, ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya karena ini adalah pembunuhan pertama yang terjadi di kalangan manusia, maka Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi lalu menguburkan sesuatu untuk memperlihatkan kepadanya, Qabil, bagaimana dia, yakni Qabil atau Allah Swt., seharusnya menutupi keburukan, yakni bau busuk dan kerusakan yang terjadi pada mayat saudaranya yang telah dibunuhnya itu.
Setelah mengamati apa yang dilakukan burung gagak dan mendapat pelajaran darinya, dia berkata : “Aduhai celaka besar hadirlah ! atau sungguh aneh mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu menutupi keburukan saudaraku, yakni menguburkan mayatnya ?”. Karena itu, menjadilah dia di antara orang-orang yang menyesal.
Penyesalan yang dialami oleh Qabil boleh jadi karena ia menyadari dosanya dan betapa besar murka Allah sehingga ia sedemikian takut kepada-Nya. Boleh jadi karena ia sedemikian bodoh tidak tahu mengebumikan saudaranya, kecuali setelah belajar dari seekor burung. Motivasi penyesalan yang kedua ini didukung oleh sementara ulama dengan menyatakan bahwa seandainya penyesalan itu akibat dosa yang dilakukannya, tentu Allah akan memaafkannya, padahal Nabi Saw. bersabda :
“ Tidak ada satu nyawa yang terbunuh secara aniaya, kecuali putra Adam yang pertama (Qabil) memperoleh bagian dari dosa pembunuhan itu karena dialah yang pertama kali membunuh secara aniaya” (HR Bukhari dan Muslim dan lain-lain melalui ‘Abdullah Ibn Mas’ud). Pendapat ketiga menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil tidak diterimanya penyesalan dan taubat seseorang yang membunuh sesamanya yang mukmin secara aniaya, sejalan dengan redaksi firman-Nya : “Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS an-Nisa’ [4] : 93).
“Oleh karena itu, Kami menetapkan atas Bani Isra’il bahwa : Barang siapa yang membunuh satu nyawa, bukan karena nyawa yang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka para rasul Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas, kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah itu melampaui batas di muka bumi” (QS al-Ma’idah [5] : 32).
Setelah menguraikan kisah pembunuhan secara aniaya yang pertama serta dampak-dampaknya yang sangat buruk, dan setelah terbukti melalui kisah ini betapa tergesa-gesanya manusia, ayat ini menegaskan bahwa : Oleh karena itu, yakni oleh karena kejahatan yang terjadi dan dampak-dampaknya yang sangat buruk itu dan oleh karena perilaku Bani Isra’il yang telah dipaparkan sekian kali, maka Kami Yang Mahaagung menetapkan suatu hukum menyangkut satu persoalan besar dan hukum itu Kami sampaikan atas Bani Isra’il bahwa :
Barangsiapa yang membunuh satu nyawa salah seorang putra-putri Adam, bukan karena orang itu membunuh nyawa orang yang lain yang memang wajar sesuai dengan hukum untuk dibunuh, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, yang menurut hukum boleh dibunuh, seperti dalam peperangan atau membela diri dari pembunuhan, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, misalnya dengan memaafkan pembunuh keluarganya, atau menyelamatkan nyawa seseorang dari satu bencana, atau membela seseorang yang dapat terbunuh secara aniaya, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka para rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas, yang membuktikan kebenaran para rasul itu dan kebenaran petunjuk-petunjuk itu. Tetapi, kendati demikian, kemudian sesungguhnya banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh telah membudaya pada dirinya sikap dan perilaku melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Penyebutan Bani Isra’il secara khusus dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kaum tersebut telah mencapai puncak keburukan dalam pembunuhan karena yang mereka bunuh adalah manusia-manusia suci yang diutus Allah sebagai nabi dan rasul-rasul.
Ayat di atas mempersamakan antara pembunuhan terhadap seseorang manusia yang tidak berdosa sama dengan membunuh semua manusia, dan yang menyelamatkannya sama dengan menyelamatkan semua manusia. Menurut Shihab (2012), penjelasannya sebagai berikut :
Peraturan baik apa pun yang ditetapkan oleh manusia atau oleh Allah, pada hakikatnya adalah untuk kemaslahatan masyarakat manusia. Dan, kalau kita menyebut kata “masyarakat” maka kita semua tahu bahwa ia adalah kumpulan dari saya, Anda dan dia, kumpulan dari manusia.
Adalah sangat mustahil memisahkan seorang manusia selaku pribadi dan masyarakatnya. Pemisahan ini hanya terjadi pada dataran alam teori, tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan psikologis, manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya, walau ketika ia hidup di dalam gua sendirian. Bukankah manusia yang berada sendirian di gua menemukan makhluk lain bersamanya, kalau bukan makhluk sejenisnya, maka hantu yang menakutkannya atau malaikat yang mendukungnya. Demikian, manusia membutuhkan selainnya. Pada saat manusia merasakan kehadiran manusia-manusia lain bersamanya, saat itu pula seseorang atau ribuan anggota masyarakatnya mempunyai kedudukan yang sama bahwa semua harus dihargai. Sehingga, barangsiapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian juga sebaliknya.
Thabarthaba’i (dalam Shihab, 2012) menguraikan persamaan itu antara lain dengan menyatakan bahwa setiap manusia menyandang dalam dirinya nilai kemanusiaan, yang merupakan nilai yang disandang oleh seluruh manusia. Seorang manusia lain adalah perantara lahirnya manusia-manusia lain bahkan seluruh manusia.
Manusia diharapkan hidup untuk waktu yang ditetapkan Allah, antara lain untuk melanjutkan kehidupan jenis manusia seluruhnya. Membunuh seseorang – yang berfungsi seperti yang dijelaskan di atas – adalah bagaikan membunuh semua manusia, yang keberadaannya ditetapkan Allah demi kelangsungan hidup jenis manusia. Agaknya, karena itu pula Habil menyatakan tidak akan membunuhnya karena takut kepada Allah.
Thahir Ibn ‘Asyur (dalam Shihab, 2012), menegaskan bahwa ayat di atas memberi perumpamaan, bukannya menilai pembunuhan terhadap seorang manusia sama dengan pembunuhan terhadap semua manusia, tetapi ia bertujuan untuk mencegah manusia melakukan pembunuhan secara aniaya. Seorang yang melakukan pembunuhan secara aniaya pada hakikatnya memenangkan dorongan nafsu amarah dan keinginan membalas dendam atas dorongan kewajiban memelihara hak-hak asasi manusia serta kewajiban mengekang dorongan nafsu. Nah, siapa yang menuruti kehendak nafsu seperti itu, tidak ada jaminan untuk tidak melakukan hal serupa pada kesempatan lain dan berulang-ulang, walau dengan membunuh semua manusia.
Menurut Shihab (2012), ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa, dalam pandangan al-Qur’an, semua manusia, apa pun ras, keturunan, dan agamanya adalah sama dari segi kemanusiaan. Ini sekaligus membantah pandangan yang mengklaim keistimewaan satu ras atas ras yang lain, baik dengan memperatasnamakan agama – sebagai anak-anak dan kekasih Tuhan – seperti orang-orang Yahudi maupun atas nama ilmu dan kenyataan seperti pandangan kelompok rasialis Nazi dan semacamnya.
Kisah Yusuf dan Yosua
Menurut keterangan Thahir Ibn ‘Asyur (dalam Shihab, 2012), Yusuf adalah putra Ya’qub Ibn Ishaq Ibn Ibrahim As. Ibunya adalah Rahul, salah seorang dari tiga istri Nabi Ya’qub As. Ibunya meninggal ketika adiknya Benyamin, dilahirkan sehingga ayahnya mencurahkan kasih sayang yang besar kepada keduanya melebihi kasih sayang kepada kakak-kakaknya.
Ini menimbulkan kecemburuan yang akhirnya mengantar mereka menjerumuskan ke dalam sumur. Ia dipungut oleh kafilah orang-orang Arab yang sedang menuju ke Mesir. Karena itu, yang berkuasa di Mesir adalah dinasti yang digelari oleh orang Mesir dengan Heksos, yakni “para pengembala babi”. Pada masa kekuasaan Abibi yang oleh al-Qur’an disebut dengan al-Malik – bukan – Fir’aun – Yusuf tiba dan dijual oleh kafilah yang menemukannya kepada seorang penduduk Mesir yang menurut Perjanjian Lama, bernama Potifar yang merupakan kepala pengawal raja. Ini terjadi sekitar 1720 SM.
Setelah perjalanan hidup yang berliku-liku, pada akhirnya Nabi Yusuf As. mendapat kedudukan tinggi, bahkan menjadi penguasa Mesir setelah kawin dengan putri salah seorang pemuka agama. Nabi Yusuf As. meninggal di Mesir sekitar 1635 SM. Konon, jasadnya diawetkan sebagaimana kebiasaan orang Mesir pada masa itu. Dan ketika orang-orang Isra’il meninggalkan Mesir, mereka membawa jasad/mummi beliau dan dimakamkan di satu tempat bernama Syakim.
Dalam al-Qur’an dikisahkan : “Dan wanita yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup rapat-rapat pintu-pintu, seraya berkata, “Marilah ke sini. Aku untukmu”. Yusuf berkata, “Perlindungan Allah. Sungguh Dia Tuhanku, Dia telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung”. “Sungguh wanita itu telah bermaksud dengannya dan dia pun telah bermaksud dengannya andaikata dia tidak melihat bukti Tuhannya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih”. Dan keduanya bersungguh-sungguh berlomba menuju pintu, dan wanita itu mengoyak bajunya dari belakang, dan keduanya secara tidak terduga menemukan tuan wanita itu di depan pintu. Dia berkata, “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau siksa yang pedih”. Dia berkata, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”.
Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksian, “Jika bajunya koyak di muka, maka dia benar dan Yusuf termasuk para pendusta. Dan jika koyak di belakang, maka wanita itulah yang telah berdusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar”. “Maka, tatkala dia melihat bajunya koyak di belakang, berkatalah dia, ‘Sesungguhnya itu adalah bagian tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah benar’.
Yusuf, berpalinglah dari ini dan (engkau, hai wanita) mohonlah ampun atas dosamu karena sesungguhnya engkau termasuk orang-orang berdosa”. (QS Yusuf [12] : 23 – 29). Singkat cerita, jika Yusuf dituduh berbuat mesum lalu dimasukkan penjara, sedangkan Yosua dituduh (dibuat cerita – menggiring opini masyarakat) telah berbuat mesum, lalu dibunuh 8 Juli 2022 !
Harian Kompas, 12 Agustus 2022, memberitakan bahwa tembakan di belakang kepala tewaskan Brigadir J. Tim Kompas mendapat dokumen laporan otopsi pertama jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Tembakan di belakang kepala dan di dada menewaskan Brigadir J. Luka tembak pada kepala bagian belakang sisi kiri yang menimbulkan kerusakan jaringan otak dan atau luka tembak pada sisi kanan yang merobek paru-paru dan menimbulkan perdarahan hebat.
Last but not least, berbuat salah itu manusiawi. Erare humanum est, manusia adalah pembuat kesalahan. Mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang-orang lain untuk ikut berbuat salah, itu perbuatan setan ! Setan itu kata sifat, bukan kata benda. Dengan demikian, setan dapat berwujud jin dan atau manusia ! Tuhan menciptakan manusia bebas membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will) dan bebas bertindak (free act).
Maka, hidup itu pilihan, apakah mau jadi manusia lalu bertobat, atau mau jadi iblis, atau mau jadi setan ! Adapun setan menggoda manusia dalam rangka menjerumuskan manusia, dari arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri, dengan cara memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji ! Andaikata, Nabi Ibrahim As. masih hidup, bisa jadi “setan-setan” itu sudah dilempari batu pada jidatnya. Jadul (jaman dulu) definisi mati adalah jika jantung sudah mati (heart death). Jaman now, dinyatakan telah meninggal apabila otaknya telah mati (brain death). Dengan demikian, pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan berencana adalah ditembak pada jidatnya !
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD