Menelisik Berita (Benar vs Bohong)

berita

Ilustrasi Foto Dok Unsplash

Menelisik Berita (Benar vs Bohong)

Jagat media sosial kita sedang dihebohkan oleh kasus pembunuhan seorang brigadir polisi di rumah seorang petinggi polisi, berpangkat jenderal bintang dua. Diduga, pelakunya adalah atasanya sendiri. Saat ini, sang pelaku sudah ditahan dan menjadi tersangka dengan pasal pembununuhan berencana. Istri sang pelaku pun juga menjadi tersangka. Miris! Apa motif dibalik aksi pembunuhan itu ? Belum ada informasi yang benar-benar terang dan terpercaya. Mungkin keingintahuan publik harus tertunda, hingga semuanya akan dibuka di dalam proses pengadilan.

Sikap Pembaca Berita

Dari satu jenis peristiwa, bisa muncul berbagai versi berita yang tersebar. Sikap publik dalam merespons sebuah berita akan sangat beragam. Menurutuku, paling tidak ada tipe karakter orang dalam membaca setiap berita.

Pertama, tipe orang berhati-hati. Sikapnya tenang saat membaca sebuah berita. Ia terlebih akan memilah dan memilih bacaan secara cermat. Semua informasi yang diterima akan dikonfirmasi dengan pengetahuan lainnya. Lalu, akan menggunakan nalarnya untuk mengolah setiap berita hingga benar-benar masak. Setelah itu, barulah ia simpulkan. Itupun hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sangat jarang menyebarkanya kepada orang lain. Jika pun terpaksa harus bicara soal itu di hadapan orang lain, ia akan menyebutkan secara lengkap sumber beritanya, tanpa menetapkan berita mana yang paling benar atau sebaliknya.

Kedua, tipe orang bisa secara cepat dalam menetapkan kebenaran dari sebuah berita. Meski hanya  berdasarkan pada bacaan sekelebat, ia sudah bisa menyimpulkan. Biasanya, orang seperti ini gemar “mencap” atau menstigma orang dengan prasangka-prasangka tertentu. Kultur berpikir seperti itu sudah tertanam kuat. Oleh karenanya, ia sudah punya kesimpulan sendiri hanya berdasarkan secuil informasi. Nalar pikirnya terkuasai oleh pengetahuan yang diperoleh berdasarkan proses penuh stigma atau prasangka. Misalnya, “Oh…kalo profesi itu ya pasti begini dan begitu…” dan seterusnya.

Biasanya, cap-cap negatif yang ia asosiasikan kepada orang lain itu hanya didasarkan pada sebuah prasangka pribadi, atau gosip-gosip di jalanan. Orang yang berpikir seperti ini, biasanya hanya mau membaca dan menonton berita atau mendengarkan omongan orang lain, yang dianggap sesuai dan bisa memperkuat keyakinannya saja. Ia akan membuang jauh-jauh semua informasi umum yang dianggap berlawanan dengan kebenaran berita yang sudah ia yakini, menurut versi dirinya.

Ketiga, bersikap naif. Orang tersebut akan menelan semua berita yang tersebar di semua media sebagai sebuah kebenaran. Meski baru sebatas membaca judul berita, belum sempat sampai pada isinya. Baginya, menyebarkan judul berita itu adalah bagian dari upaya seruan kebaikan. Lebih gawatnya lagi, ia tidak bisa membedakan sumber berita tersebut berasal. Apakah ia keluar dari media sosial, atau media masa mainstream yang legal, sebagai produk jurnalistik (yang diatur oleh UU Pers). Semua yang tertulis dan terberitakan di semua media (mainstream ataupun sosial), dianggap sebagai fakta dan kebenaran, lalu ia sebarkan kemana-mana. Ambyar!

Satu Persitiwa Beragam Versi Berita

Dalam kasus pembunuhan seorang polisi akhir-akhir ini, publik pernah merasa dikecewakan oleh informasi resmi yang disampaikan oleh kepolisian. Meskipun belakangan, ada ralat resmi yang juga datang dari kepolisian. Bahwa ternyata, informasi awal tersebut tidak benar, ada rekayasa kebohongan. Pelurusan kabar tersebut langsung disampaikan oleh Kepala Polisi. Ia pun menyampaikan tindakan kepolisian terkait sanksi kepada mereka yang dinilai terlibat dalam proses rekayasa. Persoalan selesai? Sepertinya, perlu waktu panjang untuk pemulihan hingga bisa kembali meraih kepercayaan publik, dalam konteks ini.

Akibat ikutannya, saat ini muncul bemacam-macam berita secara liar yang tidak jelas sumber dan sulit ditakar kebenaranya. Media sosial terus dibanjiri berita-berita spekulatif bak air bah. Semakin hari semakin banyak, terkadang begitu mengagetkan. Berita-berita yang diproduksi oleh media masa mainstream, legal dan berijin (cetak, televisi dan online) sebagai produk jurnalistik, bisa kalah populer. Ia tergeser oleh peran media sosial yang memberitakan kabar-kabar sensasional dan bombastis. Entah siapa yang memproduksinya.

Aku sering terkecoh oleh provokasi judul berita berjenis itu. Setelah melihat isi atau menonton videonya, ternyata pret! Isinya penuh provokasi dan omong kosong. Ada distorsi yang begitu ekstrim antara judul dan isi berita. Laksana langit dan dasar sumur. Tetapi, kekacauan dalam penyebaran berita bohong seperti ini masif sekali di media sosial. Gaya tampilannya khas. Ada potongan gambar-gambar yang ditampilkan menyerupai video. Kemudian ada narator dengan logat aneh kadang lucu, sedang membacakan teks dari sebuah berita.  Percis seorang jurnalis televisi sungguhan.

Bayangkan, jika aku mudah percaya pada judul berita yang tertulis di media sosial tersebut, kemudian sengaja kusebarkanya ke publik, sungguh luar biasa efek kerusakannya. Jika sebelumnya ia hanyalah berupa berita bohong yang pasif, setelah kusebarkan kemana-mana, ia akan berubah menjadi fitnah keji yang sangat merugikan banyak pihak. Beragam sikap akan muncul dari para penerima berita bohong itu. Bisa sangat cinta atau sangat benci.

Di dalam masyarakat yang cenderung bersikap fanatik, bermental APS (asal pimpinan senang), efek dari sebaran berita bohong tersebut bisa menimbulkan kerusakan ganda. Apalagi jika berita bohong tersebut disyiarkan oleh seorang tokoh yang memiliki pengaruh kuat. Betapa sempurna kerusakannya. Sebuah berita palsu sekalipun, jika terus menerus diproduksi dan disebarkan secara massif, mungkin lama kelamaan bisa dianggap benar. “kebenaran yang tidak terorganisir, bisa dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Demikian pesan Khalifah ke 4, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib.

Residu Pertarungan Politik

Amatan sederhanaku, praktik penyebaran berita bohong melalui media sosial itu kerap terjadi dalam kontestasi politik. Para kontestan yang memiliki pengikut fanatic. Mereka menggunakan media sosial sebagai sarana untuk kepentingan politik. Mereka memilih pemproduksi dan menyebarkan berita baik untuk mengangkat citra. Sebaliknya, menebar berita buruk untuk menyerang lawan politik. Konten berita yang disebarkan bisa bebas merdeka. Tidak peduli itu benar atau bohong.

Pada akhirnya, citra seorang politisi akan dibangun dengan pondasi rapuh. Yaitu hasil rekayasa berita yang sengaja diproduksi dengan tujuan akhir membangun citra baik atau menjatuhkan lawan. Mereka memanfaatkan isu-isu yang sangat personal, remeh temeh, bahkan tidak berkorelasi dengan aktivitas politik. Misalnya soal praktik ritual keagamaan yang dilakukan. Soal kualitas kefasihan dalam mengucapkan salam yang kebetulan menggunakan bahasa asing. Hal-hal itu akan terus menerus diproduksi dan disebarkan secara luas.

Medium pertarungan para kontestan politik memang sangat vulgar. Nyaris tidak ada proses screening terhadap konten berita, siapa yang memproduksi dan seterusnya. Benar atau bohong yang pentng tersebar luas dulu. Urusan lain, akan dilihat belakangan. Tidak ada yang mengontrol.

Negara terkadang hadir juga sih untuk menjerakan para pembuat dan penyebar berita bohong.  Salah satunya melalui penerapan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sayang kan, jika berkah kebebasan berekspresi itu harus terbatasi oleh UU ITE. Sebagai masyarakat madani, seharusnya ada kebijaksanaan nilai yang dibuat dan ditaati secara bersama-sama. Tapi bagaimana mekanismenya…?

Menemukan Berita Benar

Ketika publik sulit menemukan berita benar yang bisa dipercaya dari yang sudah tersebar di berbagai media, lalu bagaimana cara menemukan kebenaran dari sebuah berita?

Ada yang menggunakan standar sederhana. Salah satunya dengan terlebih dahulu mengatur cara berpikir untuk mendiskripsikan konsep dan konteks kebenaran. Kedudukan atau maqom kebenaran dalam konteks berita, harus dibebedakan dengan kebenaran dalam konteks agama. Dalam kebenaran agama, hati dan pikiran seseorang akan selalu disertai dengan keyakinan. Namanya juga keyakinan, posisinya tentu jauh di dalam hati. Ia telah melampaui rasionalitas pikiran.

Sedangkan untuk menakar kebenaran berita, sebaiknya bersikap rileks. Tidak perlu terlalu serius apalagi buru-buru menyimpulkanya. Lebih baik bersikap tidak percaya terlebih dulu, hingga benar-benar bisa menemukan informasi yang membenarkanya. Aku pun telah mendefiniskan ulang tentang makna kebenaran (berita). Benar berarti sesuai dengan fakta. Sesederhana itu.

Standar minimal lain yang aku gunakan adalah, merujuk pada berita yang diproduksi oleh media masa mainstream, sebagai produk jurnalistik. Keberadaan media ini telah diatur oleh undang-undang. Jika berita yang mereka sebarkan ternyata bohong, tidak akurat, tidak jelas sumbernya, maka media tersebut bisa dilaporkan ke Dewan Pers hingga Pengadilan. Pengelola media massa harus mampu mempertanggungjawabkan produknya.

Aku juga akan berusaha melihat, mendengar atau membaca pernyataan resmi dari seorang pejabat negara yang terkait. Jika ternyata pernyataan mereka bohong, maka sebagai warga negara, aku memiliki banyak pilihan untuk mesikapinya.

Prinsipku, ketika aku merasa ragu dengan kebenaran sebuah berita yang tersebar di laman media, maka sesungguhnya aku sedang berhati-hati. Itu adalah sikap paling aman dan mendekati bijaksana. Sikap itu jauh lebih menyehatkan jiwa, daripada terlalu cepat percaya, apalagi buru-buru menyebarkannya.

Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten

Exit mobile version