4 Hal yang Membuat IMM Tidak Berdaya
Hari ini kita hidup pada zaman yang sangat berkarut akut. Problematika yang hidup dalam lingkaran masyarakat sangatlah kompleks. Saking kompleksnya, kita hampir tidak bisa menyadari setiap problematika yang ada dalam realitas ini. Realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan akademik yang berselingkuh dengan percepatan teknologi telah menghipnotis kita, sehingga menutup celah-celah kesadaran. Kondisi seperti inilah yang disebut oleh para ahli sebagai era-disruptif.
Krisis kesadaran dalam lingkaran setan era disruptif bisa dilihat dari pandangan Gramsci terkait hegemoni kultural. Menurut Gramsci, otoritas dominasi melakukan hegemoni dalam dua bentuk, yaitu kultural dan struktural. Hegemoni struktural dilanggengkan dalam bentuk fisik, terlihat, jelas, dan terang benderang. Sedangkan, hegemoni kulturual dilanggengkan secara sembunyi-sembunyi, tertutup, dan tidak kasat mata melalui pembiasaan, pembudayaan, dan manipulasi kesadaran.
IMM di Era Disruptif
Rupanya, kondisi ini belum mampu memberikan gambaran bagi IMM secara kolektif untuk membawa perubahan. Kendatipun, beberapa kader mampu melihat realitas ini, tapi itu kadangkala hanya berhenti pada pembacaan semata. Nyatanya, kesadaran individu belum mampu membentuk kesadaran kolektif dalam lingkar ikatan.
IMM di era disruptif juga menjadi permasalahan kompleks, simpang siur, dan berkarut. Kesadaran untuk melakukan perubahan di era disruptif seperti sebuah malapetaka baru yang susah untuk dipecahkan. IMM seolah terjangkit gejala kekerasan sistemik. Menurut Zizek, kekerasan sistemik adalah kekerasan objektif yang irrasional, tidak tampak, dan bahkan yang tertindas tidak hanya kehilangan kesadaran saja, tapi juga terbelenggu dalam iming-iming kebaikan (Indah, 2018).
Kekerasan sistemik yang terjadi membuat IMM buta dan buntu dalam memaksimalkan peran dan fungsinya. IMM seolah masih berada dalam khittah perjuangannya. Tapi nyatanya, terjebak dalam kekerasan sistemik yang melanda. Kekerasan sistemik yang melanda ikatan menjadi gejala baru, sukar dideteksi, dan rumit diselesaikan. Baik oleh individu kader, maupun kolektif IMM.
Disorientasi IMM di Era-Disruptif
Gejala kekerasan sistemik yang terjadi di tubuh IMM pada akhirnya membuat langkah perjuangan IMM kehilangan arah dan tidak memiliki dampak. Orientasi perjuangan IMM bukan lagi ibarat “jauh panggang dari api”, melainkan sudah ibarat “padi ditanam tumbuh ilalang”. Setidaknya gejala kekerasan sistemik yang melanda IMM terindikasi dari beberapa hal berikut.
Pertama. Formalitas Perkaderan. Formalitas dalam perkaderan adalah sebuah ancaman yang bisa kapan saja membunuh IMM secara perlahan. Sebab, perkaderan dalam IMM adalah sebuah keniscayaan yang harus diformulasikan dengan sebaik dan semapan mungkin serta berorientasi jangka panjang.
Perkaderan sebagai sebuah proses transformasi ideologi Muhammadiyah sekaligus internalisasi ideologi IMM itu sendiri harus mampu menyentuh alam bawah sadar setiap kadernya. Sebab, berbicara tentang ideologi adalah berbicara tentang keberpihakan pada nilai idealitas-universal yang diyakini adanya.
Tampaknya, ideologi dalam tubuh IMM -secara umum- belum mampu menyentuh alam bawah sadar setiap kadernya. Kesadaran ideologi di IMM hanya seperti menghadirkan kesadaran ilusi yang menarik diri dari realitas pada nilai yang diyakini. Harusnya ideologi mampu menghadirkan sisi fantasi dalam setiap kadernya. Fantasi yang dimaksud, kemudian mampu menarik diri dan realitas pada nilai yang diyakini itu.
Kesadaran fantasi terhadap ideologi mampu diwujudkan dengan adanya perkaderan pendukung dan pemetaan minat bakat kader berdasarkan realitas masa kini serta apa yang menjadi tujuan IMM. Sebab, kaderisasi IMM dituntut untuk dapat menjadikan kader berdaya dalam setiap potensi yang dimilikinya. Hari ini, kesadaran fantasi mungkin mulai dibaca oleh sebagian kecil IMM di Indonesia. Entah bagaimana di sebagian besar IMM lainnya?
Kedua. Mistifikasi Gerakan Sosial. IMM ditengah era-disruptif mengalami kemandegan dalam gerakan sosial yang dilakukan. Lihatlah bagaimana realitas masa kini, demokrasi liberal, politik oligarki, dan ekonomi kapitalis seolah membuat IMM kehabisan akal.
Aksi-aksi kemanusiaan, demonstrasi, dan audiensi yang digelar hanya menyisakan penat yang tidak membawakan manfaat. Gerakan mahasiswa tidak mampu memposisikan dirinya sebagai oposan yang benar-benar berangkat dari keresahan rakyat.
Bahkan lucunya, aksi-aksi yang katanya mengatasnakaman kepentingan rakyat itu membuat rakyat bebal dan tidak jarang jengkel. Indikasinya ada dua, pesimisme masyarakat terhadap gerakan mahasiswa yang menjilat dan rentannya gerakan mahasiswa dipolitisir untuk kepentingan beberapa pihak.
Realitas ini perlu kita baca sebagai bentuk skeptisisme masyarakyat terhadap gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa harus benar-benar dari rakyat dan perlu mengubah kesadaran skeptis masyarakat menuju kesadaran optimis terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri.
Melihat hari ini teknologi sangat menjadi teman baik masyarakat. Maka, IMM sangat perlu mengformulasikan digitalisasi gerakan untuk menggugah kesadaran rakyat dan membangkitkan optimismenya. Dan tentunya, gerakan IMM harus tetap berada dalam koridor poin 6 yang termaktub di dalam 6 Penegasan IMM/Dekobar Solo, “Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilahita’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.” Disamping itu, gerakan sosial pemberdayaan perlu dilanggengkan untuk membangun kesadaran masyarakat secara natural.
Ketiga. Mandulnya Gerakan Intelektual. Beberapa waktu belakangan, muncul satire dari beberapa tulisan kader IMM tentang kematian IMM dalam perspektif keilmuan. Tentu saja, topik ini perlu diangkat sebab IMM adalah organisasi keilmuan. “Ilmu adalah Amaliah dan Amal adalah Ilmiah,” begitulah narasi yang tertulis dalam poin ke 5 enam penegasan IMM.
Selain itu, dalam tujuan IMM. “Mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah,” menyiratkan bahwa idealitas yang diinginkan IMM adalah masyarakat ilmu.
Kendatipun wacana-wacana gerakan intelektual IMM terus didengungkan ditengah keterpurukannya itu, tapi penulis berasumsi bahwa gerakan itu sedang mengalami kemandulan. Kemandulan itu terindikasi dari reproduksi wacana intelektual terus bergulir namun tidak memiliki ‘anak’ yang benar-benar memberi dampak pada IMM itu sendiri.
Wacana-wacana intelektual IMM hanya berangkat dari kesadaran untuk penerjemahan ideologi kedalam realitas. Disamping itu, upaya untuk melakukan cross check terhadap ideologi atau radikalisasi ideologi IMM belum menjadi bagian dari agenda utama intelektulitas IMM.
Akibatnya terjadi disorientasi gerakan IMM disebabkan produk intelektual dalam rangka merumuskan gerakan yang kurang menelusuri ideologi secara lebih dalam. Padahal, radikalisasi ideologi IMM perlu diagendakan melalui jalur intelektual. Radikalisasi ideologi kemudian membuka titik terang dalam merumuskan gerakan IMM melalui konsep metodologis yang jelas. Dalam hal ini, para ideolog dan intelek dalam tubuh IMM perlu bersinergi.
Keempat, Desakralisasi Ikatan. IMM hari ini mengalami desakralisasi ikatan akibat relasi semu yang terbentuk dalam antar individu kader. Relasi semu yang terbentuk pada akhirnya mecopot jubah sakralitas IMM itu sebagai organisasi perkaderan, gerakan sosial, dan intelektual.
Relasi semu menghilangkan dinamika dalam tubuh IMM sehingga IMM tidak mampu berkembang. Setidanya ada beberapa faktor yang menyebanbkan desakralisasi tersebut, yaitu relasi mitra kerja, relasi over-emotional, dan relasi sofis.
Relasi mitra kerja adalah ketika hubungan yang dibangun adalah berdasarkan relasi kuasa dan sistem pekerjaan. Relasi over-emotional adalah kedekatan yang amat sangat sehingga melewati batas-batas profesionalitas kader dalam berorganisasi. Relasi sofis adalah relasi menjilat dan juga mengelabui untuk kepentingan individu.
Pada akhirnya, relasi semu inilah yang merusak IMM itu dengan sendirinya. Padahal, relasi yang diharapkan adalah relasi kolektif-kolegial yang mampu untuk menghidupkan dan mensakralisasikan ikatan.
Dalam bagian ini, kita perlu menyadari bahwa perkaderan, gerakan sosial, dan intelektual IMM haruslah terintegralisasi dalam mewujdukan perubahan sesuai yang dituju oleh IMM. Tentunya, integralisasi itu dapat diupayakan apabila IMM masih memiliki nilai sakralitasnya sendiri.