Benarkah Memperbaiki Arah Kiblat di Masjid Termasuk Ghuluw?
Oleh: Muhamad Hibanullah
Persoalan kiblat merupakan bab mendasar bagi mahasiswa yang bergelut dalam keilmuwan falak atau astronomi. Namun dalam prakteknya di masyarakat sangat sulit untuk diterapkan mengingat banyak faktor yang sulit untuk mereka ubah diantaranya: Masjid itu sudah berdiri tegak dengan kiblat yang sudah lama seperti itu, kurangnya kepercayaan mereka terhadap yang merubah, dan bahkan ada yang menganggap persoalan ini termasuk perkara ghuluw (berlebih-lebihan dalam beragama). Lantas apakah memperbaiki arah kiblat termasuk perkara ghuluw? Simak penjelasan berikut ini.
Sedikit cerita, tahun 2021 kemarin masjid di komplek penulis sedang direnovasi sehingga salat berjamaah dilakukan di majelis yang baru saja selesai dibangun tepatnya di sebrang masjid tadi. Selang berapa lama, penulis menyadari bahwa majelis itu tidak mengarah ke kiblat namun dibangun menyesuaikan petak tanah sehingga sajadah yang disediakan pun tepat lurus mengikuti rumah-rumah warga di sebelahnya yaitu ke arah Barat.
Mengetahui hal itu lantas penulis melaksanakan salat sunah dengan agak serong dengan meyakini bahwa yang dilakukan adalah benar. Namun untuk salat fardu berjamaah masih mengikuti shaf yang tersedia. Beberapa hari kemudian datang pesan dari sahabat saya. Ia memberi pesan yang intinya bahwa jangan memaksakan diri untuk harus tepat mengarah ke kiblat sebab itu perkara ghuluw yang dilarang oleh nabi saw., ia juga memberikan video ceramah seputar perbaikan arah kiblat yang dianggapnya sebagai perkara yang ghuluw. Setelah itu penulis akhirnya bertawaqquf (belum menanggapi) sebab saat itu belum menemukan hujah dan belum memiliki otoritas untuk menjawab persoalan yang demikian.
Dari pengalaman tersebut penulis bisa sedikit menjawab,
Pertama, pahami betul apa definisi dari ghuluw. Dalam kamus al-Ma’aniy kata ghuluw bermakna berlebih-lebihan, ketidakwajaran, dan keterlaluan. Sedangkan menurut syara’ berarti suatu perbuatan yang berlebih-lebihan dalam beragama. Rasulullah saw. telah melarang dengan mengatakan “wahai manusia sekalian, jauhilah sikap ghuluw dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.” Nabi saw. menyinggung kaum terdahulu yang berlebihan dalam memuji dan mengagungkan pendahulu-pendahulu mereka. Di zaman sekarang misalnya kaum sufi yang berzikir secara berlebihan yang tidak ada tuntunannya.
Agama Islam merupakan agama yang mudah bukan bermudah-mudahan. Tujuan syariat itu salah satunya عدم الحرج / menghilangkan kesulitan. Tetapi dalam persoalan menentukan arah kiblat bisa dua kondisi;
- Apabila dalam kondisi di perjalanan yaitu di kendaraan maka arah kiblat mengikuti ke mana arah kendaraan itu melaju, sedangkan apabila semisal berada di hutan atau di tempat yang jauh dari keramaian maka penentuan arah kiblat yang mudah didapati yaitu posisi matahari, kemudian ia bisa melaksanakan salat mengarah kepada kiblat yang ia yakini dugaannya (ghalabah al–zhonni). Sedangkan jika dalam kondisi dihutan kemudian dilakukan penentuan arah kiblat secara detail maka ini bisa terjerumus ke dalam ghuluw yang justru membuang-buang waktu padahal Allah swt. telah memberikan kemudahan, sebagaimana kaidah yang dibuat oleh Imam al-Syafi’i:
إِنَّ الأَمرَ إِذَا ضَاقَ اتَّسَعَ
“Sesungguhnya perkara itu apabila telah sempit maka menjadi luas” (Salim Hadromi; Nurlaelah, 2012:31)
- Apabila berada di masjid sekitaran rumah terlebih ia seorang takmir masjid maka hendaknya ada perbaikan dalam penentuan arah kiblat sebab masjid akan terus-menerus dipakai oleh banyak orang untuk salat. Perbaikan itu bisa dengan cara mengundang para ahli yang berkompeten di bidang ilmu falak atau geografi atau astronomi dsb.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan menuntut setiap manusia agar melakukan pembaharuan untuk kemudahan dalam berkehidupan. Begitu pula dalam penentuan arah kiblat. Dahulu orang-orang mengetahui arah mata angin dengan beberapa cara diantaranya: melihat posisi matahari, lumut yang tumbuh dipepohonan atau bebatuan, rasi bintang, dan lain-lain. Namun dalam penentuan arah kiblat perlu keseriusan dalam menentukannya.
Terdapat banyak hadis yang menerangkan tentang arah kiblat tetapi teksnya hanya menggunakan petunjuk arah suatu tempat. Padahal penyebutan suatu tempat itu tidak menjadikan hal itu membatasi sebagai suatu hukum yang ditetapkan. Misalnya nabi saw. mengatakan “keluarkanlah zakat fitri kalian berupa satu sha’ gandum.” Penyebutan itu semata-mata karena nabi hanya sekedar memberitahu bahwa hukum zakat fitri itu wajib sedangkan untuk objeknya bisa beragam. Begitu pula dengan salat menghadap kiblat itu wajib sekaligus menjadi syarat sahnya salat, sedangkan metode untuk menentukannya bisa beragam.
Rasulullah saw. bersabda : “Apa yang aku larang untukmu maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan untukmu maka kerjakanlah sesuai kesanggupanmu” (Muttafaqun ‘alaih)
Maka ketika seseorang telah diberi kemampuan untuk menentukan arah kiblat dengan teori dan rumus yang ia pelajari, ini lah kesanggupan yang seharusnya dipraktikkan dalam menentukan arah kiblat. Entah bagaimana jadinya ketika kemampuan itu tidak dimanfaatkan untuk masyarakat luas. Sebab hukum menyampaikan apa yang sudah menjadi sebuah kebenaran adalah wajib.
Ketiga, anggapan yang muncul di masyarakat bahwa masjid yang mereka tempati merupakan masjid yang selalu dipakai leluhur mereka. Saking tingginya kecintaan mereka terhadap pendahulu mereka sehingga amat berat untuk merubah yang sudah ada sejak dahulu. keengganan mereka juga diselingi dengan kalimat “kalau kiblatnya salah berarti ibadah kami yang dulu juga salah.”
Sudah tentu dalam perkara ini tetap sah salatnya sebagaimana banyak terdapat dalam hadis yang menjelaskan tidak perlu mengulang salat yang keliru arah kiblatnya dengan syarat sebelumnya ia meyakini arah kiblatnya sudah benar dan ketika menyadari bahwa itu salah maka hendaknya ia merubah kiblat yang dahulu dengan kiblat yang benar. Dalam kaidah juga dikatakan:
الِإجتِهَادُ لَا يَنقُضُ بِالإِجتِهَادِ
“Ijtihad (yang lalu) tidak rusak dengan ijtihad (yang baru)” (Salim Hadromi; Nurlaelah, 2012:50)
Sedikit cerita perihal pengalaman sahabat penulis yakni Ustaz Ahmad Muchlis, Mahasiswa PUTM Yogyakarta yang bergelut di keilmuan falak. Bulan Ramadan 1443 H kemarin ia menjalani Muballigh Hijrah di sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul yang diadakan oleh PWM Yogyakarta.
Ketika itu ia mencoba menghitung kiblat di salah satu masjid desa itu. Ternyata masjidnya terbilang parah dari kiblat yang sebenarnya, ia menggambarkan kemiringan itu dengan sajadah yang sebelah kanan dimundurkan sekitar tujuh keramik. padahal toleransi maksimal yang diberikan untuk kiblat yang melenceng yaitu sekitar 4 derajat. Setelah itu ia kemudian berbincang dengan takmir atau pemuka desa tersebut. Namun tampaknya masyarakat belum bisa melakukan perubahan yang begitu drastis.
Pada akhirnya kiblat itu hanya berubah mundur tiga keramik dari sebelah kanan sajadah saja. Meski demikian, upaya sosialisasi penentuan arah kiblat di masyarakat sedikit demi sedikit mulai tersebar berkat semangat dan usaha para pakar dan mahasiswa falak.
Ringkasnya, memperbaiki arah kiblat merupakan perkara ijtihad duniawiyah untuk lebih memantapkan dalam beribadah. Prinsip tarjih yaitu meyakini bahwa pendapat yang ia ambil merupakan yang paling benar, sebab meyakini sebuah kebenaran itu merupakan sudah fitrah dan kewajiban dengan tidak menafikan yang lain itu salah. Begitu pula ketika mengetahui bahwa ilmu falak lebih mendekati kepada kebenaran arah kiblat maka hendaknya ikuti yang lebih dekat kebenarannya sehingga hal itu bukan termasuk perkara ghuluw.
Wallahu a’lam bish showab
Muhamad Hibanullah, Mahasiswa PUTM PP Muhammadiyah, Yogyakarta