Mengokohkan Konsep Diri Mahasiswa Berbasis ESQ

Mengokohkan Konsep Diri Mahasiswa Berbasis ESQ

Mengokohkan Konsep Diri Mahasiswa Berbasis ESQ

Oleh: Agusliadi Massere

Saya menduga, di antara tulisan yang membahas terkait mahasiswa, maka tulisan inilah yang dinilai tidak mengobarkan semangat revolusioner apalagi dalam makna yang penuh gugatan. Tulisan ini, hanya ingin menggugah setitik kesadaran mahasiswa terkait urgensi dan implikasi dari yang dimaknai sebagai “Konsep Diri” dan “ESQ”.

Tulisan ini berawal dari judul materi yang saya tawarkan kepada panitia Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) yang dirangkaikan dan/atau dibingkai dengan (dalam bentuk) Pelatihan Kader Dasar yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru Institut Turatea Indonesia (INTI) Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelumnya, melalui surat resminya, panitia menyodorkan judul materi IQ, EQ, dan SQ. IQ itu adalah intellectual quotient, EQ adalah emotional quotient, dan SQ sebagai singkatan dari spiritual quotient. Adapun ESQ berdasarkan ESQ Model Ary Ginanjar Agustian, di dalamnya sudah tercakup IQ.

Dalam kehidupan ini, kita masih akan menjumpai sosok manusia yang menyandang status mahasiswa, yang rutinitasnya hanya rumah-kampus atau kost-kampus. Belajarnya pun hanya mengandalkan jurus pamungkas dari “om google”. Maksud saya, mereka malas belajar dan jika diberikan tugas diselesaikan dengan cara  instan—yang sesungguhnya jika kita mau jujur, itu semakin hari akan semakin mendangkalkan kekuatan analisa otaknya sendiri. Mereka malas berproses untuk berselancar dari buku yang satu ke buku yang lainnya, dari hasil pemikiran yang satu ke pemikiran lainnya.

Gambaran sosok mahasiswa seperti di atas, bahkan tidak sedikit pula yang tidak peka terhadap realitas sosialnya. Mereka—sebagaimana kisah katak yang sering saya ilustrasikan dalam forum-forum perkaderan—dirinya bagaikan “katak” yang karena terlambat menyadari perubahan yang terjadinya di sekitarnya, akhirnya “mati” di mana sebelum kematiannya, dirinya kegirangan menikmati apa yang dinilainya sebagai “zona nyaman”.  

Minimal gambaran di atas, bisa dipahami bahwa masih banyak di antara mahasiswa yang belum memiliki, memahami, dan mengimplementasikan dengan penuh kesadaran konsep dirinya. Konsep diri—sebagaimana yang saya rumuskan sendiri­—cakupannya sangat luas, tanpa kecuali bisa disematkan atau dilekatkan pada diri mahasiswa untuk dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupannya.

Tulisan ini pun tidak menguraikan secara utuh terkait “Konsep Diri”, begitupun tentang “ESQ”. Saya hanya menggunakan beberapa hal substansial yang relevan dengan kehidupan mahasiswa dan untuk selanjutnya diintegrasikan dengan “ESQ” tersebut.

Dalam “Konsep Diri”—sebagaimana yang saya rumuskan sendiri—satu hal yang relevan dan harus dijawab oleh mahasiswa adalah “siapa saya?”(siapa dirinya?). Tentu saja, jawaban yang seringkali menautkan dengan nama orang tua, kampung, dan kampus, seperti “Saya orang Bantaeng”, “Saya orang Jeneponto”, kurang relevan dan substansial.

Jawaban yang dibutuhkan dari seorang mahasiswa, idealnya mirip meskipun tidak persis sama dengan substansi pandangan Ali Syariati (dalam Moh. Mudzakkir). Ali Syariati menegaskan dalam membangun masyarakat atau kebudayaan akan gagal total apabila pertanyaan “siapa” dan “bagaimana” manusia tidak terlebih dahulu dijawab. Ini sejenis pertanyaan dan (membutuhkan) jawaban eksistensial.

Mahasiswa harus dipandang berbeda dengan sosok manusia lainnya yang pada dirinya tidak melekat identitas tersebut. Mahasiswa, idealnya tidak hanya melakukan rutinitas dan kewajiban yang berhubungan dengan kepentingan administratif dan tugas akademiknya semata. Namun, mahasiswa sejak dini harus sudah mampu memahami posisinya dalam realitas sosial, fungsi, dan peran yang harus dilakukannya.

Hal pertama saja, terkait tugas dan kewajiban akademiknya (sederhananya: menuntut ilmu)—jika ditarik garis relasi dengan substansi pemahaman “Konsep Diri”—masih banyak yang melakukan sejenis “pengkhianatan” terhadap hakikat dirinya sendiri”. Bagi saya, jika ada mahasiswa, pelajar, dan/atau siswa malas belajar itu adalah salah satu bentuk pengkhiantan terhadap dirinya sendiri.

Mahasiswa selain belajar atau menuntut ilmu di bangku kuliah, minimal menjalankan pula tiga fungsinya: social of control, agent of analysis, dan agent of change. Dan fungsi ini akan semakin kuat dalam pandangan mahasiswa ketika dirinya mampu memahami posisinya dalam realitas sosial. Mahasiswa dikategorikan atau berada dalam middle class (kelas menengah) sebagai penetrasi, titik temu, dan pemberi langkah solutif atas kesenjangan yang terjadi antara high class (penguasa-bangsawan) dan low class (masyarakat di akar rumput).

Dari pemahaman dan kesadaran minimalis terhadap konsep diri mahasiswa di atas, termasuk harapan-harapan yang bermuara terhadap dirinya selaku sosok “harapan-bangsa”, maka sangat penting untuk memiliki, memahami dan mengintegrasikan IQ, EQ, dan SQ ke dalam dirinya. IQ diartikan sebagai kecerdasan intelektual, EQ sebagai kecerdasan emosional, dan SQ adalah kecerdasan spiritual.

Mahasiswa yang menyadari akan konsep dirinya, idealnya tidak hanya mengagung-agungkan IQ, sebagaimana dunia Barat atau Modern melakukan dan menilainya. Ada banyak persoalan dalam kehidupan yang memberikan penanda tegas, bahwa IQ saja tidak cukup. Dibutuhkan bentuk kecerdasan lain.

Ary Ginanjar mengutip pandangan Robert Stenberg, seorang ahli dalam bidang Successful Intelligence, “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk”. Saya yakin, dalam kehidupan modern hari ini, kita akan menemukan fenomena sebagai titik atau ruang konfirmatif, betapa berbahayanya jika hanya mengandalkan IQ tanpa diimbangi atau diintegrasikan dengan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Ada banyak bentuk kehancuran di muka bumi ini, berawal dari hasil aplikasi kecerasan intelektual yang tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Artinya, mereka unggul dalam kecerdasan intelektual, tetapi lemah dalam kecerdasan emosional dan spiritual.

Maka tepatlah, ketika Ary Ginanjar menjelaskan bahwa Ali Shariati pernah mengutip pandangan Shandel ke dalam buku karyanya Haji, bahwa “Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom [senjata nuklir, hari ini], tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan dalam diri manusialah yang sebenarnya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, hingga yang tercipta sekarang ini adalah ras-ras non manusia—mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan”.

Apa yang ditegaskan oleh Shandel di atas, relevan dengan yang dikutip oleh Ary Ginanjar dari Robert K Cooper, PhD yang pendapatnya mengutip dari Robert Frost: “Apa yang mereka tinggalkan di belakang dan acapkali mereka lupakan adalah asepk yang disebut oleh Robert Frost sebagai aspek hati”.

Mengapa harus dengan hati? Saya yakin para pembaca—terutama penganut agama Islam—sangat memahami bahwa “hati” memiliki peran vital dalam hidup dan kehidupan manusia. Jika hati dimaknai sebagai heart (jantung) maka dalam sejarah kenabiah, Rasulullah Muhammad saw pernah dikisahkan bahwa dadanya dibelah oleh sosok yang diyakini sebagai Malaikat untuk membersihkan hatinya.

Cooper (dalam Ary Ginanjar) menegaskan banyak hal tentnag hati, di antaranya: hati mengaktifikan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubah dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani; hati sebagai sumber keberanian, semangat, integritas dan komitmen; hati sebagai sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin, dan melayani; dan hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat.

Saya pun sering menambahkan bahwa fungsi hati jika harus disederhanakan ada dua: mengajak kita kepada kebaikan, dan mencegah kita dari keburukan. Hati inilah yang dalam pandangan ESQ Model Ary Ginanjar sebagai sumber kecerdasan emosional yang memiliki peran penting dalam kehidupan. Bahkan perusahan-perusahaan raksasa dunia, kini telah menyadari bahwa peran EQ atau kecerdasan emosional jauh lebih besar dibandingkan dengan kecerdasan intelektual.

Jika memperhatikan gambaran minimalis terkait konsep diri mahasiswa di atas, khususnya pada tiga fungsinya (social control, agent of analitis, dan agent of change), saya yakin dan berani mengatakan tidak akan pernah bisa terimplementasikan dalam realitas sosial, tanpa adanya percikan atau dorongan kecerdasan emosional yang terpancar dari hati mahasiswa. Pada tiga fungsi ini minimal membutuhkan apa yang disebut dengan kepekaan.

Mahasiswa dipastikan bisa mewujudkan fungsinya di atas, selain melaksanakan tugas dan kewajiban akademiknya ketika dalam hatinya terpancar minimal kepekaan tersebut. Jika merujuk pada QS. At-Taubah [9]: 128 inilah yang sangat menonjol pada diri Rasulullah sehingga mampu memimpin umatnya melakukan perubahan dan mencapaian kejayaan. Dalam dalam hati Rasulullah terpancar sence of crisis, empati, simpati, sence of achievement, dan welas asih. Pancaran dari Rasulullah inilah wujud nyata dari kecerdasan emosional.

Untuk memaksimalkan kecerdasan emosional yang bisa mengimbangi kelemahan kecerdasan intelektual, maka terhadap hati perlu dilakukan upaya penjernihan dari belenggu hati. Ada tujuh belenggu hati yaitu: prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, pembanding, sudut pandang, dan literatur. Terkait penjelasan tujuh belenggu hati ini, bisa dibaca dalam tulisan saya yang lain.

Ternyata, IQ dan EQ saja tidak cukup, masih dibutuhkan satu bentuk kecerdasan yang dikenal dengan kecerdasan spiritual. Dikenal dengan singkatan SQ (spiritual quotient). Mengapa SQ penting, ternyata dalam hidup ini, kita tidak hanya membutuhkan kualitas prima, dan kesesuaian dengan masyarakat sosial. Namun, kita pun membutuhkan meaning dan value. Hidup harus memiliki nilai dan makna.

Apapun posisi dan peran yang dilakukan, tanpa kecuali oleh mahasiswa, akan terus dilakukan ketika dirinya mampu menemukan makna dan nilai di dalamnya. Mahasiswa akan belajar secara mendalam, mengoleksi buku, berorganisasi, melakukan gerakan-gerakan sosial yang mencerdaskan dan mencerahkan akan terus dilakukan, ketika dirinya menemukan makna dan nilai.

Jadi ketika IQ dan EQ seringkali berorientasi material, pragmatis, dan duniawi, dengan hadirnya SQ yang memberikan makna dan nilai, maka semuanya akan mengalami transformasi ke arah orientasi kehidupan yang lebih mulia, tulus, ikhlas, dan terutama sebagai ibadah kepada Allah.

Pada saat saya membawakan materi ini di hadapan para mahasiswa baru Institut Turatea Indonesia Jeneponto, saya menegaskan pula bahwa para koruptor itu, adalah contoh nyata sosok manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi lemah atau rendah berdasarkan kecerdasan emosional dan spiritualnya.

Pada kesempat itu pula di hadapan para mahasiswa baru, saya pun menegaskan terkait makna derivitif dan progresif dari rukun iman dan rukun Islam untuk mengokohkan kecerdasan emosional dan spiritual manusia. Bahkan ESQ Model Ary Ginanjar sesungguhnya basis pemahaman dan kesadarannya berasal dari konsep 165 (1 berarti ihsan, 6 berarti rukun iman, dan 5 berarti rukun Islam). Karena keterbatasan ruang pada tulisan ini pula, saya tidak sempat menguraikannya lagi, tetapi sahabat pembaca bisa menemukan penjelasan tersebut dari tulisan saya yang lainnya.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version