Bahwa Buya Hamka merupakan ulama plus sastrawan terkemuka di Indonesia adalah suatu hal yang tak diragukan lagi. Berbagai ceramahnya dan tulisannya (dalam bentuk buku agama dan novel) telah membuktikan itu. Banyak orang membeli bukunya. Yang lainnya mendengar khutbahnya di radio atau di depan televisi. Tak sedikit yang sengaja datang ke Masjid Al-Azhar di Jakarta untuk menyaksikan sang buya berceramah secara langsung. Arti penting Buya Hamka dipertegas oleh kesaksian mereka yang kenal dengannya serta analisis yang diutarakan para akademisi.
Namun, ada satu hal lainnya yang tak kalah penting namun jarang disebut orang, yakni bahwa Buya Hamka tak hanya mempunyai reputasi baik di negeri kelahirannya saja, melainkan juga di dunia Islam yang lebih luas. Dunia Islam yang dimaksud di sini ada dua, yakni dunia Islam Melayu di Asia Tenggara dan dunia Islam Arab di Afrika Utara.
Di dunia Islam Melayu di Asia Tenggara, publik mengenal Buya Hamka melalui buku agama dan novel yang ditulisnya. Karya Buya Hamka diterbitkan oleh beberapa penerbit di Malaysia, dengan Tasawuf Modern sebagai salah satu karyanya yang paling terkenal. Di ruang publik Malaysia di era 1960an Hamka diberi berbagai julukan yang merepresentasikan popularitasnya, di antaranya “pujangga Islam Indonesia”, “pengarang terkenal”, “pensharah Indonesia yang terkenal” dan “pengarang ugama yang terkenal di Indonesia”.
Buya Hamka eksis di Malaysia dengan berbagai cara. Kata-kata penuh hikmah yang disusun Hamka dikutip koran berbahasa Melayu dan dijadikan sebagai pemberi motivasi bagi masyarakat Melayu. Koran-koran lokal ini juga kerap mempublikasikan informasi yang berkaitan dengan rencana kunjungan Buya Hamka ke berbagai tempat di Semenanjung Malaya, mulai dari lokasi hingga hari dan jam ceramahnya. Begitu tenarnya Hamka sampai-sampai ada warga Malaysia yang mengirimkan surat pembaca ke sebuah surat kabar Malaysia hanya untuk menanyakan alamat Hamka di Jakarta. Tujuannya adalah untuk melakukan korespondensi dengan sang ulama.
Nama Buya Hamka juga tenar di kalangan atas. Para raja Melayu di Malaysia, misalnya, mengundangnya untuk memberikan sarahan (ceramah) di negara bagian mereka.
Pada tahun 1974 Hamka dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universiti Kebangsaan Malaysia. Gelar itu diberikan langsung oleh Tun Abdul Razak, perdana menteri Malaysia (menjabat tahun 1970-1976) sekaligus Counselor universitas tersebut. Dalam sambutannya, Tun Abdul Razak menyebut bahwa Hamka bukan hanya kebanggaan bagi bangsa Indonesia semata, melainkan juga bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara.
Empat dekade kemudian, tepatnya pertengahan tahun 2017, muncul apresiasi dalam bentuk lainnya. Seorang anggota parlemen Sungai Besar, Negara Bagian Selangor, mendirikan Rumah Tamu dan Pustaka Hamka. Ada sekitar 100 judul buku Hamka yang dikoleksi perpustakaan ini.
Selain melalui buku dan novel, reputasi Hamka di dunia Melayu sangat disokong oleh magnum opus-nya (karya utama) yang diterbitkan di sana: Tafsir Al-Azhar. Tafsir ini ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa yang akarnya ada pada bahasa Melayu. Bahasa Melayu sendiri lazim dipakai di seantero Nusantara, mulai dari versi aslinya di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Borneo bagian utara serta variannya di kota besar di Jawa seperti Jakarta (dulu Batavia). Mulai ditulis saat Hamka dipenjara, tafsir ini selesai dalam kurun lima belas tahun dan dipublikasikan di Indonesia serta Malaysia.
Dengan narasi yang ia bangun dalam tafsirnya, Buya Hamka memperkenalkan Indonesia ke audiens dunia Melayu di luar Indonesia, dan, pada saat yang sama, memperkenalkan dunia Melayu ke audiens Indonesia. Oleh Mun’im Sirry, Tafsir Al-Azhar disebut sebagai “tafsir Qur’an paling berpengaruh di dunia Malaysia-Indonesia.” Penulis biografi Hamka, James Rush, dalam buku Adicerita Hamka (2017: 249) menyebut bahwa di dalam Tafsir Al-Azhar “Indonesia modern sepenuhnya tertanam dalam masyarakat Islam global dan sejarahnya. Kisah Islam adalah kisah Indonesia. Dan kisah Hamka juga.”
Buya Hamka di Dunia Islam
Di luar dunia Melayu Asia Tenggara, Hamka dikenal pula di bagian dunia Islam lainnya. Hamka meninggalkan jejak di dunia Islam di Asia Selatan ketika pada tahun 1958 ia menghadiri Simposium Islam di Lahore, Pakistan. Hamka datang sebagai utusan dari Indonesia bersama-sama dengan Hasbi Assidiqie dan Anwar Musaddad.
Namun, jejak Hamka yang paling menonjol di luar Indonesia dan dunia Melayu ada di Afrika Utara, khususnya di Mesir, negeri yang memelopori reformisme Islam sejak akhir abad ke-19. Mesir menempati posisi spesial di hati Hamka, baik secara personal maupun dalam karier profesionalnya. Mesir telah hadir dalam kehidupannya sejak ia kecil. Ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah, sangat berorientasi pada Mesir. Pada tahun 1911 sang ayah bersama koleganya menerbitkan jurnal Al-Munir, jurnal yang terinspirasi dari jurnal Al-Manar-nya Muhammad Abduh.
Sejumlah buku bacaan Hamka ketika kecil merupakan produk intelektual Mesir yang didapat dari kenalannya yang berada di Mesir. Kunjungan Hamka ke Mesir memberinya keyakinan bahwa modernisme Islam yang berkembang di Mesir adalah contoh yang patut diikuti kaum Muslim di Indonesia. Dari sini ia tergerak untuk mempromosikan nilai-nilai Islam progresif yang ia lihat eksis di Mesir ke tengah masyarakat Indonesia.
Tapi tak hanya Hamka yang mengapresiasi Mesir. Mesir sendiri juga merespon Hamka dengan positif. Mulai pertengahan tahun 1950an, Hamka menjadi imam sebuah masjid baru di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Sejak tahun 1960, masjid ini diberi nama Masjid Al-Azhar oleh Rektor Universitas Al-Azhar, Mahmud Shaltut, setelah ia berkunjung ke sana. Menurut sang rektor, nama ini amat tepat mengingat peran krusial masjid itu di Indonesia serta sebagai bentuk pengakuan terhadap Hamka sebagai imamnya.
Pada Januari 1958 Hamka dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari universitas Islam paling terkemuka di dunia Arab, Universitas Al-Azhar. Sebagai pidato promosinya, Hamka menyampaikan sebuah ceramah berjudul “Pengaruh Muhammad ‘Abduh di Indonesia”. Pidato ini diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1961. Frasa “Ustadz Fakhriyah” tertera di ijazah DR HC Hamka.
Hamka tidak pernah menuntut ilmu secara formal di, apalagi lulus dari, Universitas Al-Azhar (Hamka pernah menyebut bahwa bahkan ia tidak lulus sekolah paling rendah sekalipun). Itu artinya gelar DR HC ini adalah sebuah pengakuan penting bagi kiprah Buya Hamka terutama via tulisan dan lisannya.
Menurut Hairus Salim HS dalam “Indonesian Muslims and Cultural Networks” (2012), gelar ini sebenarnya merupakan wujud rasa terima kasih pemerintah Mesir atas dua peran penting Hamka dalam kaitannya dengan relasi Mesir-Indonesia. Pertama, Hamka sebagai sosok yang menyebarluaskan pengetahuan tentang budaya Mesir kepada audiens Indonesia. Kedua, Hamka sebagai “cultural broker” atau perantara budaya antarkedua negara.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2018