JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam kerangka maqashid asy syariah (tujuan syariat), Islam sejatinya merangkum pembahasan soal keadilan dan kesetaraan gender meskipun tidak eksplisit. Penegasan ini misalnya dapat digali pada Al-Hujurat 49: 13, At-Tiin 95: 4, At-Taubah 9:71 dan An-Nisa 4:1. Karenanya, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan pada bidang apapun tidak diperkenankan.
Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Euis Amalia, praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan umumnya terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa berdasarkan gender. Hal ini bisa terjadi di ranah domestik, masyarakat, pasar, sampai negara.
Untuk mengurai bias tersebut, Euis merekomendasikan penguatan partisipasi perempuan baik secara individu maupun komunitas di dalam berbagai struktur masyarakat, termasuk dalam parlemen.
“Bagaimana kemudian semua kebijakan dan regulasi yang ada itu memberikan benefit pada perempuan dan setara, tidak hanya (benefit) kepada laki-laki,” jelasnya dalam hari pertama International Conference On Women Peace and Harmony 2022 Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA), Selasa (30/8).
Di masa digital seperti ini, Euis mengatakan peluang pembenahan itu seharusnya relatif lebih mudah. Namun nyatanya, perempuan di Indonesia masih tergolong sebagai kelompok rentan karena daya literasi digital yang rendah.
Salah satu pemicu rendahnya literasi itu adalah rendahnya akses pendidikan perempuan secara umum dibandingkan dengan kaum laki-laki. 53,6% dari total perempuan Indonesia yang berjumlah 49,42% dari total seluruh penduduk Indonesia berada pada usia masa produktif. Namun, partisipasi angkatan kerja mereka hanya 53,1% dibandingkan laki-laki yang berjumlah 82,4%.
Meski di bidang formal perempuan tertinggal, tapi di bidang informal seperti UMKM, menariknya kaum perempuan justru mendominasi. Hanya saja, potensi besar itu belum sepenuhnya teraktualisasi karena rendahnya literasi digital, termasuk untuk akses permodalan.
“Memberdayakan perempuan sama dengan memberdayakan bangsa. Dan di sinilah Nasyiatul Aisyiyah punya peran untuk membangkitkan pemberdayaan ekonominya,” usul Euis.
“Isu strategisnya, perempuan punya peran ganda harus jadi ibu rumah tangga, tapi juga harus berusaha. Nah di sini NA bisa bermain memberikan literasi keuangan syariah dan wirausaha perempuan,” imbuhnya.
Di samping literasi digital, berbagai hal yang mungkin dilakukan NA menurut Euis adalah sertifikasi halal produk UMKM perempuan itu agar bisa berdaya saing sampai dunia internasional. Selain itu, NA dianggap perlu memaksimalkan Baitul Maal wa Tamwil (BMT), fintech serta koperasi syariah.
“Bagaimana microfinance BMT atau koperasi syariah bisa jadi mitra yang palign tepat untuk kelompok perempuan. Di banyak negara, ini sangat sukses dan memberi keuntangan bagi perempuan,” ujarnya.
Terakhir, Euis menganggap NA juga perlu menggandeng lembaga keuangan publik seperti perbankan dalam usaha ini, termasuk memaksimalkan penguatan lembaga zakat.
“Bagaimana NA bisa memberdayakan kaum perempuan sehingga punya comparative advantage di ranah domestik dan global economy market,” pungkasnya.
Persiapkan SDM Ideal
Sementara itu, Indonesia diperkirakan mendapat bonus demografi pada tahun 2045. Pada masa itu, 70% penduduk Indonesia adalah kelompok usia produktif (15-64 tahun) dan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).
Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK RI, Didik Suhardi berharap perhatian khusus dari Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PP NA).
“Karena porsi usia produktif lebih banyak, oleh karena itu Kemenko PMK punya tugas strategis memastikan usia produktif ini punya produktivias tinggi sehingga cita-cita Indonesia untuk jadi tujuh besar atau lima besar dunia dengan pendapatan per kapita tinggi bisa dicapai,” tuturnya.
Dalam forum International Conference On Women Peace And Harmony 2022, Selasa (30/8), Didik berharap NA memiliki sekian program spesifik berdasarkan skala prioritas di fase kembang dan tumbuh anak yang mana semuanya menuju pada satu tujuan, yakni tercipta dan terjaminnya sumber daya manusia Indonesia ideal.
Didik lantas memberi contoh konsep internalisasi nilai yang dirumuskan Kemenko PMK. Pada klaster pertama yang berada di tataran prenatal atau kehamilan, para ibu hamil diharapkan memiliki pola hidup yang sehat dan asupan gizi cukup agar bayi yang lahir tidak terlahir stunting.
“Sebab kalau itu terjadi, maka yang usia produktif ini produktivitasnya turun sehingga otomatis tidak optimal. Sedikit-sedikit sakit. Belum lagi daya nalarnya juga ikut lemah,” terang Didik.
Pada klaster kedua, adalah saat anak-anak mencapai usia dini. Pada masa ini, prioritas yang dilakukan adalah fase awal pendidikan nilai dan karakter anak. Nasyiatul Aisyiyah pada konteks ini dia harapkan memiliki program serupa.
Sementara itu pada klaster ketiga, yaitu pada anak usia SD-SMP, Didik menganggap perlunya penguatan internalisasi nilai-nilai utama. Pasalnya, tantangan pada masa ini mulai cukup tinggi seperti pergaulan dan rasa ingin tahu anak yang begitu besar.
Semua hal ini kata Didik diperlukan sebelum anak-anak usia produktif ini masuk ke jenjang yang lebih tinggi seperti perguruan tinggi misalnya. Pasalnya pada masa tersebut, mereka tidak lagi mengalami internalisasi, tetapi sudah sepenuhnya mandiri.
Jika hasil pendidikan baik, maka mereka akan bermanfaat bagi perhitungan demografis, tapi jika pendidikan mereka tidak seusai harapan, maka mereka bisa jadi mewujud sebagai beban demografis.
“Oleh karena itu sangat penting di usia pendidikan vokasi karena itu kemandirian, kerja keras, jujur, risk taker harus mulai dipraktikkan sehingga nanti ketika di usia produktif lebih banyak yang jadi job maker daripada job seeker,” ujarnya. (afn/riz)