Melacak Perkembangan Sanad Hadits dalam Peradaban Islam

Menjelaskan Hadits

Foto Dok Ilustrasi

Melacak Perkembangan Sanad Hadits dalam Peradaban Islam

Lazim diketahui bahwa sanad merupakan satu instrumen penting dalam hadits. Kedudukannya dibutuhkan unutk melakukan verifikasi atas keautentikan hadits, apakah benar-benar berasal dari nabi atau justru hanya rekayasa ulama abad ke dua hijriah sebagaimana yang dikemukakan oleh para orientalis.

Perdebatan ini sebenarnya telah banyak dikaji oleh para pemikir Islam terutama yang konsern dalam kajian hadits. Satu nama yang tidak asing adalah Mustaafa al-Azami, pendekar hadits dari India yang membabat habis pemikiran para orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.

Penelitian yang dilakukan oleh A’zami dalam membantah pandangan tokoh orientalis selain murni karena perdebatan ilmiah juga tidak dapat dipungkiri memilii motif membela Islam.

Ini merupakan hal yang wajar mengingat ulama-ulama terdahulu juga mempraktikan hal demikian. Sebut saja Imam Syafi’i yang dijuluki sebagai “penolong sunnah”. Akan tetapi, persoalan sanad dalam kajian ilmu hadits tidak ada salahnya jika kita ulas kembali sekedar untuk memahami secara seksama duduk perkaranya.

Kritik Terhadap Sanad

Sanad adalah rangkaian mata rantai para perawi yang menghubungkan ke matan hadits. Urgensi sanad dalam penggunaannya terhadap kajian hadits telah menjadi ketentuan mutlak. Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sanad berperan penting dalam menyeleksi hadits-hadits yang shahih, yakni hadis yang benar-benar berasal dari nabi. Namun, sanad sebagai sistem baku dalam pembelajaran hadits dibantah oleh pemikir barat yang bergelut dalam studi ketimuran sebagai sesuatu yang tidak dapat dipercaya.

Dalam hal ini Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht adalah dua nama yang paling banyak dirujuk. Kedua nama ini bahkan oleh Mustafa al-Sibai dalam al-Sunnah wa Makanatuha fi al-tasyri al-Islami disebut sebagai sosok orientalis yang paling berbahaya dalam memprogandakan ajaran Islam.

Menurut Ignaz Goldziher, tidak ada hadits  yang benar-benar shahih. Dalam karyanya berjudul Intoduction to Islamic Theologi and Law ia mengatakan bahwa mayoritas hadits adalah produk dari perkembangan agama, sejarah, dan sosial Islam selama dua abad pertama Hijirah. Pandangan Goldziher ini diafirmasi oleh Schacht melalui teori projecting back atau proyeksi ke belakang.

Dalam karya fenomenalnya berjudul the Origin of Muhammadan Jurisprudence, Schacht menyatakan bahwa sistem sanad yang menghubungkan perawi hadits hingga nabi Muhammad Saw tidak lain hanyalah rekayasa ulama sebagai alat legitimasi atas pendapat-pendapat mereka.

Teori ini berangkat dari referensi sejarah yang menyebutkan bahwa gerakan penulisan hadits dilakukan pada akhir abad pertama dan baru berkembang pada awal abad kedua Hijriah. Selain itu, gerakan penulisan hadits juga tidak terlepas dari kontroversi sebab sebagian sahabat menolak untuk menolak hadits dengan alasan tertentu.

Awal Kemunculan Sanad Hadits

Pandangan yang dikemukakan oleh kedua orientalis di atas mengundang beragam tanggapan, di antaranya adalah kritik yang datang dari A’zami. Dalam argumentasinya, A’zami mengatakan bahwa konsep sanad sebetulnya telah ada sejak zaman nabi bahkan sebelum nabi datang.

Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, seorang pakar hadits Indonesia dalam bukunya kritik hadits, bahwa sistem sanad sebelum Islam datang dapat dilihat dalam kita Yahudi, Mishna. Keterangan mengenai hal ini lebih lanjut dapat kita temukan dalam penjelasan Michael Cook, seorang sejarawan Inggris dan sarjana sejarah Islam dalam bukunya oposisi penulisan hadits di masa awal Islam.

Ia menyebutkan bahwa kemiripan antara sistem sanad dalam Islam dengan yang terlebih dahulu terdapat dalam ajaran Yahudi misalnya dapat dijumpai dalam Talmud Babilonia (Berakhot, f. 11b.48): “R. Zeriqa mengatakan: R. Ammi mengatakan: R. Simeon ben Laqish mengatakan: …”

Kontroversi Penulisan Hadits

Dalam argumentasi bantahannya A’zami juga mengatakan bahwa salah satu bentuk kegagalan para pemikir barat dalam melakukan kritik hadits adalah gagal membedakan masa kodifikasi dengan masa penulisan hadits. A’zami menyebut bahwa jelang akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah yang dimaksud oleh Schacht sebenarnya bukan merupakan masa penulisan hadits melainkan masa kodifikasi atau menghimpun hadits ke dalam kitab-kitab. Sementara masa penulisan hadits telah dimulai semasa nabi masih hidup.

Pada bagian ini, perdebatan yang seringkali muncul adalah terdapat larangan nabi terkait  penulisan hadits di satu sisi,  sedangkan di sisi lain terdapat pula anjuran nabi untuk menulis hadits. Hal ini mirip dengan ajaran yahudi yang memiliki dua rumusan: Pertama, dalam Talmud Babilonia, disebutkan, “Kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata tertulis secara lisan (‘al peh); kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata lisan dalam tulisan”.

Kedua, dalam Talmud Palestina, disebutkan, “Kata-kata yang diriwayatkan secara lisan (harus diriwayatkan) secara lisan, dan kata-kata yang diriwayatkan secara tulisan (harus diriwayatkan) secara tulisan”.

Dalam diskusi yang berkembang, dijelaskan bahwa larangan menulis hadits oleh nabi adalah berlaku secara umum sebab ajaran nabi berkembang dalam lingkungan yang dipenuhi oleh orang-orang yang buta huruf. Sedangkan kebolehan menulis hanya dikhususkan untuk orang-orang tertentu yang memang memiliki kemampuan menulis serta  tidak dikhawatirkan terjadinya kesalahan dan bercampur dengan al-qu’an.

Namun selain karena alasan di atas, menarik kiranya bila kita memperhatikan dua pendapat lain. Pertama, alasan sahabat enggan menulis hadits adalah dikhawatirkan matinya tradisi lisan yang dinilai lebih akurat dan dapat dipercaya. Auza’i bahkan meratapi matinya pembelajaran bila diserahkan kepada buku-buku.

Di zaman ini, hal tersebut mungkin mirip dengan kekhawatiran beberapa kalangan akademisi akan dominannya pengaruh internet yang menyediakan informasi dan pengetahuan serba instan sehinggaakan menyurutkan spirit belajar melalui sumber asli yang lebih autentik.

Kedua, alasan penolakan penulisan hadits yang dikemukakan oleh Goldziher bahwa terdapat perhatian dari “aliran-aliran ra’y kuno” untuk menghindari terhambatnya perkembangan hukum yang bebas. Teori ini hendak mengatakan bahwa bila hadits dibakukan dalam bentuk teks hanya akan mematikan unsur kreatifitas dalam beragama. Pandangan ini agaknya selaras dengan pemikiran Fazlur Rahman.

Pandangan Fazlur Rahman

Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam kontemporer kelahiran Pakistan meyakini bahwa hadits yang dihimpun dalam kitab-kitab merupakan sunnah umat Islam sejak generasi sahabat. Sahabat merekam ajaran rasulullah kemudian melakukan interpretasi untuk kemudian dikonversi dalam konteks yang relevan. Dengan kata lain, Rahman menganggap bahwa hadits yang dihimpun dalam kitab-kitab didominasi oleh riwayat bi al-ma’na sebab melibatkan interpretasi dan “intervensi” periwayat.

Letak perbedaan antara Rahman dengan orientalis berada pada kesimpulan. Bila orientalis tidak meyakini ada satu hadits yang autentik benar-benar berasal dari nabi kemudian mengingkarinya, Rahman justru sebaliknya ingin memelihara hadits sebagai “sunnah yang hidup”.

Problemnya kemudian menurut Rahman adalah bila sunnah yang hidup tersebut dibakukan dalam teks hadits, dikhawatirkan pemahaman agama menjadi kaku dan tertutupnya pintu ijtihad. Dalam salah satu tulisannya Rahman menyatakan:

“Karena itulah hadits-hadits tersebut secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi dan akhirnya terciptalah apa yang kita namakan sebagai “Sunnah yang hidup”. Tetapi pada kuartal ketiga dan keempat dari abad pertama melalui proses penafsiran bebas ini demi praktek yang aktual, “Sunnah yang hidup” ini telah berkembang dengan sangat pesat di berbagai daerah dalam Imperium Islam, dan karena perbedaan di dalam praktek hukum semakin besar maka hadits pun berkembang menjadi sebuah disiplin formal”.

Pemikiran Rahman patut untuk dipertimbangkan. Perspektifnya mengenai hadits yang berbeda dengan ulama pada umumnya berpengaruh pada sikap Rahman yang lebih terbuka dengan pemikiran dari luar Islam. Dengan begitu, kita dapat lebih obyektif memberikan penilaian dalam diskusi panjang berkenaan dengan sanad hadits.

Rizal Firmansyah Putra Moka, Mahasiswa Ilmu Hadits Yogyakarta

Exit mobile version