Papan Nama Muhammadiyah Tumbang di Kota Santri

Papan Nama Muhammadiyah Tumbang di Kota Santri

Satpol PP-WH mengamankan plang nama Muhammadiyah Samalanga

BIREUEN. Masih belum hilang di ingatan, pada 25 Februari 2022, papan nama Pimpinan Ranting Aisyiyah (PCA) Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dicopot oleh sekelompok masyarakat. Kejadian di ujung Jawa Timur itu terulang di ujung Barat Indonesia. Pada 6 September 2022, papan nama Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Samalanga di Desa Sangso Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen dirusak sekelompok warga.

Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meletakkan batu pertama pembangunan Universitas Muhammadiyah Mahakarya Aceh di Gampong Cot Geulumpang, Kecamatan Kuala, Kabupaten Bireuen, (3/9/2022).

Plang PCM Samalanga itu baru saja dipasang di Desa Sangso. Namun ternyata, kedua kakinya tak bisa berdiri lebih lama. Pada pukul 11.30 WIB, plang berwarna biru itu dirusak oleh sekelompok orang yang identitasnya dikenal oleh para Pemimpin Cabang Muhammadiyah setempat. “Yang mencabut lebih dua orang dan plang itu dicampakkan ke dalam tambak warga,” kata saksi mata.

Sekitar 30 menit setelah kejadian, beberapa anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Kabupaten Bireuen dan aparat keamanan dari satuan Polres Bireuen datang ke lokasi dan mengamankan plang dari tambak warga.

PCM Samalanga menduga sekelompok orang itu melakukan pengrusakan plang PCM karena ada dukungan dari otoritas yang lebih tinggi. “Ada pihak intoleran dari kalangan intelektual di belakang perusakan itu,” ujar salah satu pengurus cabang.

Ketua PCM Samalanga, M Yahya Arsyad menolak diam atas peristiwa diskriminasi atas kebebasan hak warga negara yang kesekian kalinya ini. “Ini tidak boleh dibiarkan, keberadaan PCM Samalanga ini resmi, PCM bukan organisasi ilegal, tetapi Persyarikatan sah di Republik Indonesia. Kasus ini akan kami laporkan ke pihak penegak hukum,” kata Yahya.

Baca juga: Cerita Muhammadiyah Bireuen Melawan Stigmatisasi Wahabi

***

Kasus ini menambah panjang rentetan penolakan atas kehadiran Muhammadiyah di Bireuen yang sudah terjadi berulang kali sejak 2015. Oleh mereka para kelompok yang menyebut dirinya ahlus sunnah wal jamaah, Muhammadiyah disebut sebagai kelompok Wahabi yang dinilai secara peyoratif sebagai kaum pengganggu dan pemecah belah umat. Alyasa Abubakar, Amin Abdullah, dkk menulis buku Muhammadiyah dan Wahabisme: Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru.

Sebagai kilas balik, tulisan ini akan menyebut sekilas tentang peristiwa yang terjadi sejak lama. Kebebasan beragama warga Muhammadiyah direnggut paksa oleh golongan mayoritas umat Islam. Bermula pada Desember 2015, IMB pembangunan Mesjid Taqwa Muhammadiyah di Juli Kabupaten Bireuen sempat ditolak. Bersamaan dengan itu, warga Muhammadiyah Samalanga juga menginisiasi pembangunan masjid Muhammadiyah.

Pada 16 Mei 2016, panitia pembangunan masjid Muhammadiyah Samalanga mengajukan IMB pendirian masjid dengan melengkapi semua persyaratan sesuai ketentuan dalam peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 tahun 2006 dan No 8 tahun 2006. Keuchik Desa Sangso dan Camat Samalanga tidak mengeluarkan IMB dengan alasan tidak keluarnya rekomendasi dari Kemenag Bireuen.

Pada 5 Juni 2016, kasus pelemparan masjid Muhammadiyah Juli menjadi isu nasional dan membuat pemerintah akhirnya mengeluarkan IMB pembangunan masjid Muhammadiyah Juli dan Samalanga. Meskipun dengan melalui proses panjang dan berliku di kecamatan hingga tingkat kabupaten. Setelah IMB keluar dan masalah itu telah disorot oleh tokoh nasional, ternyata penolakan dari sekelompok masyarakat tidak juga surut.

Pada 12 Agustus 2017, beredar surat penolakan pembangunan masjid dari Pimpinan Dayah/Pesantren Mudi Mesra Samalanga. Bersamaan dengan itu, keluar juga surat penolakan 44 Keuchik dari 46 Keuchik yang ada di Samalanga, serta surat pernyataan bersama 461 warga masyarakat Samalanga yang menolak pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga dengan alasan utama, menghindari munculnya perpecahan umat.

***

Penolakan terhadap Muhammadiyah di Samalanga menjadi hal yang ironis di saat Kabupaten Bireuen ditetapkan sebagai Kota Santri saat perayaan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2020.  Bireuen dikenal memiliki 154 pesantren dan satu Ma’had Aly dengan pusatnya di Kecamatan Samalanga.

Guna mendukung iklim kota santri, pemerintah daerah menganjurkan pegawai negeri sipil untuk memakai sarung, baju koko putih, peci hitam untuk pria; baju kurung putih dan jilbab putih untuk wanita, pada setiap Jumat. Surat Edaran Bupati juga meminta setiap dinas menggelar pengajian di hari Jumat. Tak hanya itu, 104 plang Asmaul Husna dipasang pada tiang lampu ruas jalan utama dengan anggaran Rp 400 Juta. Anggaran Dinas Syariat Islam juga ditambah.

Kehidupan kota santri semestinya menghadirkan suasana keagamaan yang mendamaikan dan saling bertoleransi. Seperti tergambar dalam lirik lagu Nasida Ria: Suasana di kota santri | Asyik senangkan hati.

***

Persoalan yang selalu didengungkan oleh kalangan penolak Muhammadiyah adalah bahwa Muhammadiyah dinilai sebagai bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah. Benarkah?

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah menjawab persoalan itu antara lain dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1. Djarmawi Hadikusuma menulis buku Ahli Sunnah wal Jamaah, Bid’ah, Khurafat. Tolchah Mansyur menulis makalah “Ardhun ‘aamun haula Ahlis Sunnati wal Jama’ati” yang antara lain menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama sejak mula berdiri telah menyatakan dengan jelas dan tegas akan asasnya, yaitu Islam menurut Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Islam itu bersendikan kepada Al-Quran As-Sunnah serta Jamaah Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul.

Yunahar Ilyas menyebut bahwa Muhammadiyah adalah bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah. Sebab Muhammadiyah merupakan golongan Islam yang beraqidah dengan mendasarkan pada sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang pemahamannya dilakukan dengan mengembangkan pintu ijtihad. Meskipun berijtihad, Muhammadiyah tidak anti mazhab, dan tetap mempertimbangkan pendapat para imam mazhab. “Muhammadiyah jelas bukan Syi’ah, Mu’tazilah ataupun Jabariyah. Kalau dalam hal ini Muhammadiyah bisa dikatakan sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah,” ujarnya.

Dalam perkembangan sejarah, Ahlu Sunnah wal Jamaah menyempit menjadi pengikut beberapa mazhab tertentu. Sejarah pembentukan mazhab kalam/aqidah/tauhid yang berhimpitan dengan dinamika politik, melahirkan mazhab-mazhab seperti: Mu’tazilah, Khawarij, Syiah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dalam bidang fiqh, melahirkan beberapa mazhab populer: Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah.

NU menjadikan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai asas oraganisasi, yang dipahami dengan: (1) bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; (2) bidang fikih mengikuti salah satu dari empat imam: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; (3) bidang tasawuf, mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali. Keseluruhan para imam yang dipilih ini dinilai memiliki pemahaman Islam yang moderat, tawasut, tawazun, atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi. Jika demikian, salah satu karakter Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah sikap keterbukaan dan penerimaan pada mereka yang berbeda.

Muhammad Ridha Basri, kader Muhammadiyah Bireuen.

Exit mobile version