Merdeka dengan Literasi
Oleh: Aminnu Annafiyah
Hari ini tanggal 8 September 2022 bertepatan dengan Hari Aksara Internasional, yang oleh UNESCO pertama kali diperingati pada tahun 1967. Bertepatan dengan Hari Aksara Internasional, penulis teringat kepada sosok Ahmad Syafii Maarif yang beberapa waktu lalu meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Almarhum adalah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta yang sepanjang hidupnya dikenal sangat aktif berkegiatan ilmiah baik membaca, berfikir, meneliti, dan menulis. Sangat mudah kita dapatkan jejak literasi almarhum berupa tulisan di banyak media massa, jurnal, maupun buku.
Menurut Buya Syafii Maarif, membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang sangat penting, dan sebaiknya ditekuni sepanjang hidup. Ijazah pendidikan itu ibarat SIM yang tidak bermakna apa-apa tanpa ditopang dengan keempat aktivitas ilmiah di atas (M Husnaini: SM: 2022).
Nampaknya bagi Buya Syafii, pendidikan dapat dinilai berhasil salah satu indikatornya ketika mampu membentuk peserta didiknya dengan kemampuan literasi yang baik. Dengan demikian outputnya kelak mampu melakukan pengembangan diri untuk mengoptimalkan kontribusinya kepada masyarakat.
Jauh sebelum Buya Syafii lahir, di awal abad ke-20 gerakan perjuangan bersenjata untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara praktis praktis telah lumpuh. Otoritas kekuasaan di bumi nusantara baik kerajaan, kesultanan, kasunanan, kadipaten/puro oleh pemerintah Hindia Belanda tidak diijinkan membangun dan memiliki kekuatan militer untuk bertempur. Jumlah prajurit yang masih diijinkan dibatasi sekedar untuk menjaga keamanan istana dan bangsawannya saja.
Namun demikian, harapan baru untuk memerdekakan Bangsa ini kembali tumbuh dengan aktivitas literasi. Kaum intelektual melalui beragam wadah organisasi pergerakan, aktif dalam kegiatan jurnalistik dengan melahirkan berbagai surat kabar, majalah, dan buletin sebagai corong perjuangan. Tulisan-tulisan para intelektual di media massa pergerakan nasional, menjadi pedang yang tajam untuk memperjuangkan nasib bangsanya.
Kegiatan literasi para aktivis bangsa pada zaman kolonial rupanya dianggap berbahaya. Tulisan-tulisan mereka di media massa acapkali dinilai oleh pemerintah Hindia Belanda berpotensi menggugah kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda-pun tidak tinggal diam dan mengkriminalisasi para cendekiawan pejuang.
Sebut saja yang dialami oleh RM Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yang menanggung risiko perjuangan literasinya dengan menikmati dinginnya sel penjara Pekalongan pada tahun 1920. Strategi yang lebih moderat ditempuh Kyai Ahmad Dahlan dan para muridnya melalui Muhammadiyah untuk membangun kompetensi literasi secara lebih massif dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dapat diakses dan dinikmati layanan pendidikannya secara luas oleh masyarakat jelata.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Para pendiri negara ini sesaat setelah proklamasi telah menetapkan salah satu tujuan nasional dari Kemerdekaan Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Maka Presiden Soekarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta-huruf di kalangan rakyat Indonesia.
Tercatat pada tanggal 14 Maret 1948, Presiden Soekarno mencanangkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno mengatakan: “Bukan saja kita menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita”. Bung Karno yang paham sejarah, tentu menyadari kemakmuran negeri ini hanya bisa dicapai dengan kemajuan literasi rakyatnya.
Bung Karno dan para pendiri republik tahu pasti bahwa di masa lalu, para pangeran dan bangsawan pada masa kecil dan remajanya selalu dibekali dengan kompetensi kesusasteraan yang mumpuni untuk menyiapkan mereka menjadi pemimpin dan pembesar kerajaan. Kompetensi kesusasteraan ini membentuk kemampuan membaca, menggali ide, mempertajam daya analitis, merangsang inovasi, memperhalus perasaan, menerima saran dan kritik, menghormati karya, paham etika berbicara dan berpendapat, yang semua itu perlu dimiliki seorang pemimpin.
Kompetensi kesusasteraan yang mumpuni, di masa lalu menjadi indikator seorang pemimpin betul-betul matang ataukah hanya karbitan. Bagi para calon petinggi kerajaan, kegiatan literasi menjadi tahapan untuk berproses menjadi pemimpin yang baik. Pengobar dan pemimpin Perang Jawa Pangeran Diponegoro bahkan saat menjalani masa pengasingan menulis naskah klasik Babad Diponegoro yang sejak 21 Juni 2013 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Ingatan Dunia.
Merdeka di Alam Kemerdekaan
Aktivitas literasi para pejuang di masa lalu telah membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Maka udara kemerdekaan yang telah kita hirup sejak 17 Agustus 1945 ini harus diisi dengan membangun kemampuan literasi rakyatnya. Melalui kemampuan literasi yang baik, maka rakyat Indonesia akan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Semua hal yang menyangkut ketrampilan hidup dapat dipelajari oleh rakyat Indonesia melalui kegiatan literasi.
Orang yang tidak berpendidikan tinggi namun memiliki kemampuan literasi yang baik, bahkan mampu menemukan peluang dan mengolah potensi dirinya untuk berkontribusi lebih hebat bagi masyarakat jauh melampaui yang dapat dilakukan para sarjana. Benefit dari literasi adalah pemberdayaan, karena akan mengasah kemampuan seseorang untuk membaca, menganalisis potensi, menemukan peluang, mengantisipasi risiko, dan mencapai tujuan hidupnya.
Bahkan ayat Al Quran yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca. Melalui literasi rakyat Indonesia akan terberdayakan, sehingga mampu berkarya dan memiliki kemandirian dan menjadi pribadi merdeka yang tidak menjadi beban negara. Mari bangkit, maju, dan bermanfaat dengan literasi. Selamat Hari Aksara Internasional.
Aminnu Annafiyah, Guru SMA Negeri 2 Bantul