JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Organisasi Kemahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus terdiri dari (IMM, PMII, GMNI, KAMMI, HMI, HIMABUDI, GMKI, LMND, HIMAPERSIS, KMHDI, KNTI, PMKRI). Menggelar Dialog Terbuka penyampaian Aspirasi Kelompok Cipayung Plus Bersama Kelompok Masyarakat dengan Tema “Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Kepentingan Siapa?, Masalah Atau Solusi?”.
Dalam acara itu mengundang Menteri Kabinet Indonesia Maju diantaranya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Arifin Tasrif, Kementrian Sosial Republik Indonesia Republik Indonesia Tri Rismaharini, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziyah, terkait kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), di Jakarta, 12 September 2022.
Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), Memberikan masukan & solusi kepada pemerintah terkait kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Setelah sebelumnya melakukan aksi demonstrasi penolakan harga BBM, di depan Istana Presiden Republik Indonesia pada 09 September 2022.
Pemerintah berdalih menaikkan BBM lantaran harga minyak dunia naik, postur APBN Jebol 504,2 T, dan subsidi BBM 60-70% diduga tidak tepat sasaran. Negara Indonesia Awal salah satu negara peng-ekspor minyak di tahun 70-an hingga 90-an (OPEC) dengan produksi minyak mencapai 1,6 juta Barel per hari. Saat ini produksi minyak Indonesia kurang dari 800 ribu Barel per hari. Sehingga harus menjadi negara net Impor kebutuhan minyak 40-50% kebutuhan nasional.
DPP IMM melalui Bidang Hikmah Poitik dan Kebijakan Publik, lalu dipertegas lagi oleh Ketua Umum DPP IMM, Abdul Musawir Yahya, kembali memberikan kritik sekaligus solusi terkait kebijakan pemerintah naikkan harga BBM.
“Pemerintah minim solusi, menaikkan BBM bukan solusi. DPP IMM menolak keras kenaikan harga BBM. Kita diam, kita zholim,” tegas Ketua Umum DPP IMM, Senin (12/09/2022).
Berikut solusi konkrit dan tawaran solusi dari DPP IMM terkait kebijakan pemerintah menaikan harga BBM yakni;
- Pertanyaannya kenapa Negara dengan SDA melimpah, bisa jadi negara pengimpor?
Sehingga alasan pertama, Indonesia dipengaruhi oleh pasar minyak dunia tentu masih relevan. Namun pertanyaannya, kenapa tidak memperbanyak kilang-kilang minyak atau eksplorasi cadangan minyak yang ada untuk kebutuhan dalam negeri yang lebih murah. Belum lagi Indonesia di sektor energi belum berdaulat dan rentan akan krisis energi.
- Dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi mengatakan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,44% sehingga surplus 106 T per semester 1 tahun 2022 dan neraca perdangan naik selama 27 bulan berturut-turut sehingga surplus 364 T. Lalu dimana alasan APBN jebol, jika pendapatan surplus?
- Di satu sisi per Juni 2022 Subsidi BBM ini baru terealisasi mencapai 54 T per 36% dari total postur anggara 149,4 T. Lalu sisanya sudah terealisasi apa belum, jika subsidi yang diklaim 504,2 T? Lalu, di mana rincian dari total tersebut sehingga kita tahu pendapatannya dan jika rugi mana rinciannya tersebut?
Jangan-jangan yang dikatakan tidak tepat sasaran tersebut, dinikmati oleh mafia migas? Sehingga alasan subsidi BBM tidak tepat sasaran pun dijadikan kambing hitam kah?
- Jika memang tidak tepat sasaran, seharusnya bukan memangkas subsidi dan menaikkan subsidi BBM, seharusnya pemerintah membuat regulasi dan pengawasan SEMACAM SATGASUS MINGAS (IMM DAN CIPAYUNG SIAP JADI SATGASNYA). Hal itu karena disadari atau tidak mafia migas masih berkeliaran dan cukup lihai mengelabuhi pemerintah dan penegak hukum.
- Presiden Jokowi juga dalam mendistribusikan BLT ini masih memerintahkan kepala daerah melalui dana transfer UMUM sebesar 2,17 T untuk diberikan ke Ojek Online, dan Nelayan dan Angkutan umum. Artinya dari postur anggaran tersebut sejatinya untuk menyelesaikan masalah namun membuat masalah baru, karena harus memangkas dana untuk daerah, yang tentu pemerintah daerah paham betul atas kebutuhan dan penggunaan dana tersebut, untuk masyarakatnya.
- Belum lagi berbicara BLT yang seharusnya memberikan solusi. Namun juga membuat masalah baru, di mana syarat untuk mendapatkan BLT ini Masyarakat yang bukan penerima bantuan PKH, Pra kerja dan Bantuan Ekonomi Mikro seperti (TKM, JPS) yang kita tahu juga tidak tepat sasaran di mana hanya dinikmati orang-orang yang dekat sirkel kekuasaan atau KL terkait.
- Selanjutnya di sektor pekerja dengan pendapatan maksimal 3,5 juta harus memiliki Jamsos BPJS Ketenagakerjaan sebagai syarat penerima BLT sejumlah 150-600 ribu tersebut per bulan selama 4 bulan kedepan. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan yang tidak terdaftar BPJS Ketenagakerjaan? Tentu tidak dapat BLT, ini lah yang saya katakan membuat masalah baru, atau subsidi atau BLT yang tidak tepat sasaran.
Jika data Kemenaker yang layak mendapatkan BLT berjumlah 5,9 Juta Pekerja. Lalu sisanya dana BLT ini didistribusikan ke siapa?
Jangan sampai ini dinikmati dan diambil oleh kelompok kepentingan politik, dan dijadikan ajang kampanye di daerahnya atau dapilnya yang memiliki data masyarakat yang layak mendapat BLT dan itu sangat mudah untuk dikomunikasikan oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Kementrian terkait BLT tersebut. Tujuannya mungkin menjaga basis pemilih mereka.
- Untuk menjawab persoalan krisis energi atau migas seharusnya pemerintah merumuskan bagai mana meningkatkan kembali produksi minyak dalam negeri hingga mencapai kebutuhan konsumsi rakyat sebesar 1,2 juta Barel per hari.
Dengan cara dikuasai oleh negara demi menjamin Kedaulatan energi Indonesia. Semisal, eksplorasi migas dan memperbanyak kilang dan sumber migas yang ada di perut bumi Indonesia. Dari pada harus membangun infrastruktur yang kurang mendesak untuk dilakukan saat ini, seperti IKN, Bandara, Kreta Cepat Jakarta Bandung, dan lain sebagainya. Seharusnya krisis prioritas di sektor migas ini yang menjadi perhatian penting. Sehingga kita tidak tergantung pada ketentuan pasar minyak dunia WTI atau Brend Eropa.
Tentu negara non-Blok seperti Indonesia ini harus bener bisa memainkan peran dalam geo-politik ekonomi global, tidak seakan takut pada Amerika dan Eropa semisal dalam hal Embargo Ekonomi, karena kita ini negara non-Blok yang Independent. Semisal jika menguntungkan untuk belanja Minyak (BBM) ke Rusia, Iran, atau negara Amerika Latin lainnya kenapa tidak dilakukan, dari pada harus tergantung oleh WTI dan Brand Eropa yang selama ini negara kita dibuat dilema dan tidak berdaya di sektor energi. (py)