MEDAN, Suara Muhammadiyah – Sultani Silalahi, Putra Barus Tapanuli Tengah, berhasil meraih gelar S3 ( Doktor) diusianya yang mencapai 63 tahun. Disertasinya yang berjudul “Pemikiran dan Aksi Politik Syafii Ma’arif” mengantarkan Wakil ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tapanuli Tengah itu meraih gelar Doktor dengan hasil ‘memuaskan’ pada sidang promosi ( sidah terbuka ) prodi Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Kamis 15/9.
Hasil itu mendapat pujian dari ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara Prof. Dr. Hasiymsyah yang menjadi promotor disertasinya dan pujian dari Wakil Ketua PWM Sumatera Utara Dr. Muhammad Qorib yang menjadi penguji eksternal.
Sultani Silalahi mempertahankan diseretasinya di depan penguju yang terdiri dari : Prof. Dr. Katimin MAg, Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution, Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution MAg, Dr. Ely Warnisyah Harahap MAg DAN Dr. Muhammad Qorib MA.
Pemikiran Buya Syafii Ma’arif
Pemikiran dan aksi politik Buya Syafii Ma’arif sudah lama menggelitik benak Sultani. Sejak muda ia sudah tertarik dengan tokoh Muhammadiyah yang lahir di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 dan kemudian mengembara dan mengabdi di Kota Yogyakarta hingga wafatnya.
Beberapa hal yang menjadi bahasan Sultani pada disertasinya, adalah Bagaimana hubungan Islam dan politik dalam pandangan Syafii Maarif?, Apa saja pemikiran-pemikiran politik yang diajarkan oleh Syafii Maarif berkaitan hubungan Islam dan negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, bagaimana aksi politik yang dilakukan oleh Syafii Maarif berkaitan hubungan Islam dan Negara Kesatauan Republik Indonesia ? Serta, seperti apa tantangan yang dihadapi Syafii Ma’arif berkaitan dengan pemikiran dan aksinya dalam bidang politik?
Sultani menjelaskan, Hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Syafii Maarif adalah merupakan ijtihad yang bersumber kepada Alquran dan Sunnah. Politik juga merupakan ibadah yang tidak berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, karena di dalam politik terdapat seni untuk mengurus kepentingan orang banyak. Dalam pandangan Syafii Maarif, politik dalam Islam bukan hanya berkaiatan dengan perebutan kekuasaan, akan tetapi bagaimana agar kepentingan orang banyak bisa dipenuhi. Dalam pandangannya lebih banyak ayat yang menjelaskan tentang politik dari pada ayat yang mengatur puasa. Oleh karena itu, berpidato di gedung parlemen juga merupakan ibadah yang memiliki pahala.
Lalu, Sultani menjelaskan pemikiran politik dari Syafii Maarif berkaitan dengan negara adalah negara bukanlah din, akan tetapi ia merupakan ijtihad politik. Karena negara adalah ijtihad politik maka dasar negara diserahkan kepada warga negara yang membentuk negara tersebut, bisa berdasarkan agama Islam dan juga bisa berdasarakan kesepakatan yang membentuk negara tersebut. Oleh karena itu, demikian Sultani, ketika Indonesia telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, maka itu bukan berarti menyalahi agama Islam selama itu
berada pada prinsip-prinsip yang diatur di dalam agama Islam, yaitu berasaskan kepada musyawarah dan keadilan. Karena dasar negara itu diserahkan kepada ijtihad pembentuk negara, maka bentuk negara itu
tergantung kepada dasar negara tersebut.
Namun menurut Syafii Maarif, bentuk negara yang ideal saat ini adalah republik demokrasi karena ia dibangun atas dasar musyawarah. Menurut Syafii Maarif, kepala negara adalah orang yang dipilih oleh warga negara dengan syarat ia adalah amanah, adil, berkualita dan berwawasan luas oleh karena tidak mesti suku Quraish, tidak mesti harus laki-laki dan juga tidak mesti harus menganut agama Islam. Suku apa saja, jenis kelamin apa saja dan penganut agama apa saja ia boleh menjadi kepala negara selama ia amanah, adil, berkualitas dan
dipilih oleh warga negara. Syarat utama kepala negara menurut Syafii Maarif adalah amanah dan adil sesuai dengan ketentuan ayat Alquran.
Aksi Politik Buya Syaffi Ma’arif
Kemudian Sultani menjelaskan aksi politik yang ditempuh oleh Syafii Maarif adalah melalui jalur pemerintahan dan juga dari luar partai politik. Syafii Maarif pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) yang bertugas memberikan masukan dan nasehat bagi presiden sebagai kepala negara dan ia juga melakukan aksi politik melalui penekanan kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas sebagaimana
yang diatur di dalam Undang-undang Dasar. Penekanan itu dilakukan dengan selama menjabat Pimpinan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan juga melalui Maarif Institut yang memberikan pencerahan gai masyarakat.
Kata Sultani, Syafii Maarif juga melakukan aksi politiknya melalui lobi-lobi, diantaranya lobi untuk perdamaian di
Aceh, perdamaian antar umat beragama dan lobi dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya, seperti Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya.
Pemikiran dan Aksi Politik yang dilakukan Buya Syafii Ma’arif mendapat tantangan yang cukup hebat dengan munculnya kelompok yang menentang pemikirannya dari sebagian internal muslim sendiri. Mereka menolak pemikiran Syafii Maarif dan bahkan menghinanya dan mengelompokkannya ke dalam jaringan Muslim Liberal. Syafii Maarif menyadari tantangan ini karena beberapa alasan.
Pertama letak Indonesia yang jauh dari tempat kelahiran Islam sehingga perbenturan pemikiran di pusat tidak cepat terasa di kawasan pinggir. Kedua, Islam di Indonesia sejak semula lebih terpusat pada masalah-masalah fikih dan tasawuf, sehingga persoalan teologi dan filsafat sedikit sekali mendapatkan perhatian.
Ketiga, kemampuan umat Islam Indonesia untuk menguasai bahasa sumber (Arab) terbatas pada kelompok kecil, hingga umat secara keseluruhan tidak punya akses untuk membaca kitab-kitab standar. Usaha yang dilakukan oleh Syafii Maarif untuk mengatasi halangan dan tantangan yang dihadapinya adalah dengan menghadapi mereka secara sabar tanpa melakukan perlawaan balik, bahkan ia melakukan diskusi dan seminar secara terus menerus di dalam dan di luar negeri. Selanjutnya ia membentuk lembaga Maarif Institut yang akan menyiarkan ide-ide dan semangatnya.
Sultani, yang sudah pensiun dari Kementerian Agama (Kemenag) beberapa tahun lalu menjawab dengan baik banyak pertanyaan yang disampaikan penguji.
Suasana sidang promosi doktor Sultani berlangsung sangat cair dan sering menjadikan penguji tersenyum karena semangatnya yang demikian tinggi. Usia barangkali boleh tua, tapi semangat Sultani dalam menuntut ilmu tidak perlui diragukan.
Kini Suami dari dari Siti Halimah Siregar itu tercatat menjadi doktor ke 27 dari Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UINSU.
Beberapa rekan dan sahabatnya datang pada sidang promosi doktornya kemudian menyampaikan ucapan selamat. (Syaifulh/Riz)