Catatan Kritis Pra Tanwir: Mengembalikan IPM ke Jalan Tengah

Catatan Kritis Pra Tanwir: Mengembalikan IPM ke Jalan Tengah

Dok IPM

Catatan Kritis Pra Tanwir: Mengembalikan IPM ke Jalan Tengah

Oleh: Yusuf R Yanuri, Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Di IPM, apalagi di tingkat elit, kita tidak selalu dihadapkan dengan permasalahan keumatan atau kepelajaran. Dalam beberapa hal, kita justru berhadapan dengan permasalahan internal. Konflik politik di tubuh organisasi ini, dalam batas-batas tertentu, over dosis. Terlalu banyak.

Konflik-konflik itu sebenarnya tidak perlu. Bahkan cenderung kontraproduktif. Pasalnya, konflik politik di tubuh organisasi ini selalu melahirkan korban-korban politik. Korban-korban politik di IPM itu tidak pernah sederhana. Ini serius. Ada salah satu korban politik IPM yang jatuh sakit hingga dua bulan karena menghadapi hantaman politik yang begitu berat dan pelik. Ini kisah nyata.

Di antara korban-korban politik itu, awalnya ada yang hendak mengubah hidup di kota tempat sekretariat IPM berada. Dalam konteks PP IPM, mereka siap untuk datang ke Jogja atau Jakarta. Mereka sudah menyiapkan seluruh perbekalan untuk ‘hijrah’. Namun, karena ‘satu dua’ hal, yang anda sudah tau, mereka batal berangkat.

Padahal, misalnya, kedatangan kader IPM ke Jogja atau Jakarta bukan hanya sekedar perpindahan fisik semata. Dalam ‘hijrah’ itu ada transformasi diri, transformasi jaringan, dan transformasi kelas sosial. Kader-kader yang berasal dari daerah nun jauh di sana rela datang ke kota dengan beragam motif. Ada motif karir, motif pendidikan, dan lain-lain. Motif-motif itu pada intinya bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup.

Hal yang sama juga berlaku bagi kader-kader dari desa yang berangkat ke ibukota provinsi. Selain untuk ber IPM, mereka juga ingin mendapatkan salah satu dari beberapa motif di atas. Memperbaiki kualitas hidup.

Sayangnya, IPM tidak selalu bisa mengakomodir seluruh kepentingan kader-kader di daerah tersebut. Banyak yang mengurungkan niatnya untuk hijrah karena ‘satu dua’ hal itu tadi. Maka, kesimpulan saya, intrik politik itu tidak pernah sederhana. Ia menyangkut hajat hidup kader-kader yang di daerah menjadi pelopor gerakan IPM di skala lokal.

Mereka ini hanya ingin naik kelas. Datang ke kota, selain ber IPM, juga mencari peluang untuk melanjutkan pendidikan atau mencari peluang untuk karir profesional. Berbisnis dan lain sebagainya. Merantau ini menjadi salah satu tahapan penting dalam kehidupan. Konon, untuk menjadi ‘orang’, kita harus merantau jauh dari rumah.

Namun, tak semua kader IPM mendapatkan kesempatan untuk melakukan hijrah itu. Bukan karena faktor keluarga atau finansial, tapi karena faktor politik di IPM. Mereka yang gagal masuk ke PW, misalnya, tidak jadi merantau ke ibukota provinsi. Dengan demikian, transformasi sosial yang telah mereka siapkan menjadi muspro, sia-sia.

Di daerah saja, ketika musyda, pihak-pihak yang menjadi korban konflik politik itu merasakan penderitaan yang besar. Apalagi di tingkat yang lebih tinggi. Tapi memang, politik itu kejam. Padahal, politik dalam arti yang luas adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh kader IPM.

Berangkat dari kegelisahan itu, izinkan saya ‘urun rembuk’ tentang ide-ide yang bisa meminimalisir dampak negatif dari konflik politik itu. Agar, adik-adik kita di bawah, dan anda-anda semua yang masih punya umur panjang di IPM, tidak perlu merasakan dampak dari intrik politik yang ‘tidak sederhana’ itu tadi.

Politik Jalan Tengah

Istilah moderat bukan hal yang asing bagi Muhammadiyah. Istilah itu menjadi ‘makanan sehari-hari’ kader IPM. Bahwa Islam yang dipilih oleh Muhammadiyah sebagai ideologi adalah Islam yang moderat, tengahan, wasathiyah. Islam yang -secara sederhana sering diartikan dengan- tidak kiri dan tidak kanan.

Tengahan atau moderat dalam konteks politik berarti berada di tengah. Dalam bahasa Alquran, syuhada ‘ala an-nas. Menjadi saksi atau wasit yang berada di tengah. Apakah berarti netral? Tidak juga. Umat Islam diajarkan untuk tidak netral. Kata Dante Alighieri, tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral.

Wasit itu tidak netral. Wasit itu berpihak. Berpihak pada siapa? Berpihak pada kebenaran, keadilan, dan peraturan yang berlaku. Dalam konteks IPM, politik jalan tengah berarti berpihak pada kepentingan pelajar secara umum. Jika di PW, ia harus berpihak kepada kepentingan pelajar di satu provinsi. Tidak hanya di daerahnya sendiri. Jika di PD, ia harus berpihak kepada kepentingan pelajar di satu kabupaten/kota. Tidak boleh berpihak kepada pelajar di ranting atau cabangnya sendiri.

Politik tengahan juga berarti tegak lurus mengikuti konstitusi. Sayangnya, implementasi dari hal ini agak rumit. Seluruh kader IPM selalu tegak lurus konstitusi. Hanya saja, masing-masing menafsirkan konstitusi dengan berbeda-beda. Kadang ditafsirkan secara jujur, kadang ditafsirkan sesuai kepentingan.

Dalam hal ini, yang diperlukan adalah kejujuran dalam membaca teks-teks konstitusi IPM. Baik berupa AD/ART dan aturan-aturan lain. Bahwa nanti hasilnya berbeda, selama kita semua jujur dan ikhlas dalam membacanya, insyaallah perbedaan-perbedaan itu tak akan menjadi pemicu konflik yang meniscayakan adanya korban.

Lebih jauh, peta politik tengahan berarti menghilangkan sekat-sekat primordial kedaerahan. Tidak mendukung atau memihak orang berdasarkan kesamaan daerah dan kesamaan bahasa. Primordialisme, menurut Wikipedia, adalah suatu perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan.

Primordialisme adalah salah satu ideologi manusia pra modern, ketika mereka masih hidup secara nomaden dan bersuku-suku. Kini, ketika seluruh manusia telah terkoneksi secara global, idealnya ideologi primordial itu segera ditanggalkan. Manusia yang hidup secara primordial adalah manusia yang tidak bisa menghargai keragaman suku, budaya, dan bahasa.

Maka, keberpihakan kader IPM, sekali lagi, adalah kebenaran dan keadilan yang dilihat secara jujur dan tulus. Dalam hal personalitas, yang harus didukung adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan dan kompetensi.

Patronase Jalan Tengah

Salah satu hal yang membuat konflik politik di IPM semakin mengeras adalah patronase dengan senior, lebih-lebih senior yang meninggalkan legacy konflik. Maka, menurut hemat saya, kader IPM tidak elok jika harus mewarisi konflik seniornya masing-masing. Jika kader IPM harus mewarisi konflik, maka yang terjadi adalah konflik yang langgeng, berkepanjangan.

Maka, dalam memilih patron senior, kader IPM juga mulai harus meluruhkan nilai-nilai personalitas dalam diri senior, dan mulai melihat pada ideologi. Jadi, berpatron terhadap senior yang sesuai dengan ideologi, bukan yang -lagi-lagi- semata-mata memiliki kesamaan daerah saja.

Bahwa senior sesama daerah atau wilayah itu penting, itu tidak bisa dibantah. Silaturahmi dengan senior-senior yang satu daerah atau satu wilayah adalah budaya baik yang tak boleh ditinggalkan. Apalagi, selama ini salah satu sumber fundraising IPM adalah senior di daerah masing-masing.

Namun, ketika terjadi permusyawaratan, sebagian senior akan punya interest. Kepentingan. Agar  konflik politik tidak terlalu besar, maka intervensi senior harus dibatasi. Saya yakin, haqqul yaqiin, kita sudah mengetahui tentang nilai ideal ini. Tapi, pengetahuan dan praktik itu bisa jadi jauh berbeda. Langit bumi jaraknya. Kita tahu, tapi tak mudah mengamalkannya.

Ketika konflik-konflik yang terjadi diperparah dengan kehadiran senior, maka ada baiknya kita berpihak dan menaruh respek pada senior yang kita ketahui memiliki ideologi dan pandangan politik yang bijak dan dewasa. Bukan senior yang ideologinya adalah ‘asalkan juniornya menang’.

Dengan berpihak kepada senior-senior yang tidak punya kepentingan politik, konflik-konflik itu minilal bisa berkurang, jika tidak bisa hilang sama sekali. Ini adalah sikap yang moderat dalam memposisikan senior.

Apresiasi Kader Apolitis

Kata Wikipedia, apoliticism is apathy or antipathy towards all political affiliations. Saya tidak ingin mengartikan apolitis sebagai sikap anti politik. Melainkan lebih ke laku asketis yang tidak ingin luruh dalam konflik kepentingan.

Kita tidak bisa menafikan bahwa kita bisa mengkapitalisasi IPM menjadi kekuatan politik yang mendatangkan keuntungan pragmatis. Namun, sependek yang saya tahu, di tengah-tengah kita selalu hadir kader-kader yang tulus berjuang untuk IPM. Kader-kader ini tak banyak bicara, tak punya banyak kepentingan. Kepentingan mereka adalah kesuksesan berbagai kegiatan dan gerakan IPM.

Kader-kader ini tersebar dari ranting hingga pusat. Mereka selalu digunakan dalam berbagai kepanitiaan. Mereka rela meluangkan waktu dan tenaga yang besar untuk kesuksesan kegiatan. Bahkan, tak jarang mereka mengeluarkan uang pribadi untuk ‘menambal’ kekurangan dana.

Namun, kader-kader ini jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka memang jarang berada di posisi strategis. Paling maksimal hanya ketua bidang. Namun, keihklasan dan pengabdiannya tak ada yang meragukan.

Kader-kader ini juga sama sekali tak tertarik dengan konsolidasi untuk meraih kemenangan tertentu. Mereka memang tak pernah diperhitungkan ketika sedang ada rembukan soal bagi-bagi jabatan. Tujuan mereka jelas: mengabdi pada IPM. Mengabdi pada kepentingan IPM. Bukan kepentingan kelompok dan faksi manapun di dalam IPM.

Ber IPM dengan jalan tengah berarti memberikan apresiasi yang lebih terhadap kader-kader ikhlas seperti itu. Mereka ini adalah ‘tulang punggung’ IPM. Tuhan memberikan rahmat yang luar biasa besar kepada IPM karena IPM masih memiliki kader-kader ikhlas seperti ini. Bukan kader yang tiap hari ‘tampil di muka’, namun tak memberikan kontribusi yang nyata.

Exit mobile version