YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyelenggarakan Pengajian Umum yang dilakukan secara daring, Jumat malam (16/9). Tema pengajian kali ini mengangkat isu “Kekerasan Dalam Pendidikan: Akar Masalah dan Solusi.”
Beberapa narasumber dihadirkan antara lain Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd (Pengantar), Pakar Pendidikan serta Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah Prof Suyanto, PhD, dan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Rita Pranawati, MA.
Menurut Mu’ti, tema tersebut diangkat karena dalam beberapa terakhir belakangan ini telah terjadi kasus-kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Dan jenis-jenis kekerasannya sangat beragam yang ironinya sampai menelan korban dari kalangan peserta didik maupun santri. Delematika dan persoalan ini begitu kompleks, sehingga masing-masing dari kasus kekerasan itu dapat berdiri sendiri dan tidak bisa digeneralisasi.
Seturut dengan itu, Guru Besar Bidang Pendidikan Islam Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut deretan kasus-kasus kekerasan itu sangat berjaling-berkelindan dengan power relation (relasi berkaitan dengan kekuasaan) yang melibatkan dua orang dengan posisi power yang berbeda antara powerfull dan power less jika ditinjau dari perspektif psikologi.
“Sebagian besar kekerasan itu dilakukan oleh mereka yang memang memiliki power, memiliki otoritas kepada mereka yang memang dianggap lebih lemah, mereka yang dha’if atau mereka yang lemah,” terangnya.
Lebih lanjut, dalam kasus bullying (kekerasan, pendindasan, atau perundungan), terjadi akibat faktor power relation yang jengkot. Dalam kaitannya dengan konteks kekerasan, biang kerok pemicunya dilakukan oleh guru kepada peserta didik. Tapi juga bersamaan dengan itu, dilakukan pula oleh peserta didik itu sendiri. Di mana sasaran atau obyek empuk untuk melancarkan aksinya dengan memandang sisi manusia lain begitu lemah secara fisik seperti kalangan perempuan dan anak-anak yang berkebutuhan khusus (difabel).
Selain daripada itu, juga diakibatkan prestasi akademik atau jumlah perolehan nilai yang jauh dari rata-rata atau sering diistilahkan dengan Standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Biasanya hal tersebut dilakukan oleh kawannya sendiri dalam ruang lingkup satu kelas. Sebagian lagi disebabkan oleh faktor visi atau pandangan tentang pendidikan.
“Karena memang kadang-kadang sebagian dari kekerasan itu dilakukan sebagai satu bentuk hukuman atau punishment atas kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik. Yang sering kali memang ini dipengaruhi oleh kalau dalam psikologi bisa jadi aliran psikologi yang membenarkan adanya reward and punishment (hadiah dan hukuman), yang hukuman itu di maknai sebagai hukuman yang bersifat fisik (corporal punishment),” tuturnya.
Sambung Mu’ti bahwa hukuman dilakukan sebagai manifestasi dari penegakan aturan (enforcement of rules) dan sering kali regulasi-regulasi yang tidak dipenuhi. Pada saat bersamaan, hukuman dilakukan karena ingin mendisiplinkan seluruh peserta didik atau santri yang menempuh sekolah.
“Disiplin sering kali dilakukan dengan cara-cara yang dalam berbagai kajian bisa dikatakan sebagai kekerasan, baik kekerasan yang bersifat fisik maupun kekerasan yang bersifat verbal. Ini yang memang sering kali menjadi masalah dan banyak sekali tulisan tentang disiplin. Salah satu yang paling banyak ditemukan mengenai disiplin dilema bagaimana kita mengalami delema ketika menegakkan disiplin,” terangnya.
Sebagian dari itu, juga timbul atas pemahaman agama kontemporer. Misalnya dalam rangka penegakan hukuman bersifat fisik, Mu’ti mencontohkan penerapan hukuman pada akar tunjang implementasi salat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud mengatakan jika orang tua diperintahkan untuk menyeru kepada anak-anaknya tatkala telah menginjak umur 7 tahun menjalankan salat. Jika dalam umur 10 tahun dan tidak juga melaksanakan salat, maka pukullah.
“Inilah yang sering kali menjadi dasar bahwa memukul itu menjadi boleh. Dan di maknai (kata وَاضْرِبُوهُمْ) secara leterlek sebagai hukuman fisik dalam bentuk memukul itu. Padahal mungkin ada tafsir lain atau ada ta’rif lain mengenai kata tersebut. Yang tidak selalu dia berupa hukuman fisik. Tapi juga bisa berupa peringatan yang lebih keras atau disiplin yang lebih tinggi. Atau cara-cara pendidikan yang memang lebih menekankan pada kepatuhan-kepatuhan tanpa harus melakukan tindakan kekerasan,” pungkasnya.
Mu’ti menyebut jika selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang sangat konsen dan peduli dengan pendidikan. Karena pendidikan itu di dalam Muhammadiyah paling banyak jumlahnya. Muhammadiyah memiliki 163 Universitas, 23 ribu PAUD dan TK, 348 pondok pesantren, 117 rumah sakit, 600 klinik, dan ribuan pendidikan dasar dan menengah.
“Muhammadiyah diharapkan bisa menjadi pionir atau bisa menjadi pelopor untuk mengembangkan layanan pendidikan yang ramah anak, pendidikan yang friendly, yang membuat anak-anak nyaman dan aman dalam belajar. Bukan belajar dalam ketakutan, bukan belajar dalam tekanan, tetapi memang mereka belajar dengan bergembira dan suka cita (joy full). Karena atmosfer pendidikan yang membuat mereka bisa belajar dengan baik dan kemudian menjadikan lembaga pendidikan sebagai rumah mereka yang kedua (second home),” ujarnya.
Mu’ti berharap selepas pengajian ini, diharapkan Muhammadiyah bisa memperbaiki layanan pendidikan yang ramah anak, menyenangkan, bisa mendidik generasi bangsa yang serba tahu dan serba bisa. Pada saat yang sama memiliki perangkat akhlak al-karimah (akhlak mulia), taat beribadah, juga berjiwa santun dalam mengaktualisasi generasi bangsa yang kuat dan hebat.
“Mendidik generasi seperti itu memang harus terus kita lakukan sebagai bagian upaya Muhammadiyah dalam mencetak generasi yang kuat dan generasi yang hebat,” tutupnya. (Cris)