Pentingnya Dakwah Peran Gender dalam Mempromosikan Keharmonisan Berumah Tangga
Adhani J. Emha, Mahasiswa Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascarjana Universitas Gadjah Mada
Suatu hari di akhir Mei 2022, saya menulis dalam sebuah kiriman pada akun Instagram saya bercerita bagaimana teduhnya ketika saya mendengarkan kajian radio saat saya sedang berada di Malaysia. Isi ceramah yang disampaikan oleh Ustadz disampaikan dengan seimbang. Ustadz banyak membahas tanggung jawab suami dan bagaimana cara yang baik untuk berkomunikasi dengan istri.
Sedangkan dari sisi istri, Ustadz menyampaikan supaya istri bersabar jika cara dan bahasa cinta suami belum sempurna. Posting-an saya ini kemudian dibalas oleh beberapa perempuan yang telah berumah tangga. Salah satunya berkata, “Wih, keren banget… Beda banget sama ceramah pas Syawalan yang kudatengin pas Idulfitri kemarin. Isinya ya…istri harus ini itu… Nggak ada disebut suami perlu ngapain gitu. Jadi berat sebelah.”
Keluhan ini bukan satu-satunya yang pernah masuk ke telinga maupun media sosial saya. Beberapa orang mengeluhkan hal yang serupa bahwa di Indonesia masih didominasi oleh ceramah bagi kaum Hawa dan tampak mengesampingkan kaum Adam seolah-olah kaum Adam tidak perlu lagi diberi pengetahuan dan diingatkan bahwa peran mereka pun penting dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Kebayakan laki-laki beranggapan bahwa tugas mereka adalah hanya pada ranah memberikan nafkah lahir batin. Sedangkan definisi nafkah lahir batin ini tampaknya pun diterima secara sempit terbatas pada hal materiil dan hubungan seksual suami istri.
Kesempitan cara berpikir ini bukan tidak mungkin dikarenakan oleh ‘kesalahan’ para pendakwah di lapangan. Kebanyakan pendakwah terlalu fokus memberi nasihat kepada kaum perempuan dan melupakan dakwah kepada laki-laki. Secara kasat mata hal ini bisa dilihat dari perbandingan jumlah majelis ta’lim ibu-ibu dan bapak-bapak, baik di layar kaca maupun majelis ta’lim di masyarakat. Majelis-majelis kajian pranikah atau munakahat juga didominasi oleh jama’ah perempuan. Belum lagi materi yang disampaikan lebih banyak menitikberatkan peran perempuan di dalam rumah tangga.
“Ibu-ibu, kalau suami pulang kerja, disambut dengan senyum sumringah. Jangan merengut,” kata penceramah yang saya dengarkan kajiannya. Pendakwah tersebut rupanya lupa bahwa perempuan pun memiliki banyak tanggung jawab di rumah yang bisa jadi membuat mereka kesulitan untuk tersenyum saat menyambut suaminya. Penceramah juga lupa untuk memberikan nasihat yang adil kepada para suami supaya pulang ke rumah dengan tersenyum supaya istri juga bisa tersenyum.
Hal lain yang luput dari pengamatan pendakwah adalah bahwa banyak perempuan yang saat ini—dengan atas dorongan kebutuhan ekonomi dan lain-lain—juga berada di ruang publik mengemban beban yang sama beratnya dengan laki-laki, tapi ketika pulang ke rumah masih disambut dengan segudang tugas rumah tangga. Sayangnya, banyak laki-laki tidak menyadari bahwa mereka pun bertanggung jawab atas rumah tangga, bukan hanya menjadi kewajiban istri.
Sempat muncul video viral sekelompok anak kecil yang ditanya apa tugas seorang ayah. Selain menjawab tugas ayah adalah bekerja, sebagian besar mereka menjawab dengan, “Main hape.” Jawaban jujur anak-anak tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata. Jawaban itu mengandung kenyataan sosial bahwa sosok ayah di dalam keluarga mereka tampak minim peran di rumah tangga, baik mengurus rumah maupun anak-anak.
Tersangka pertama yang menjadi akar permasalahan adalah sisa-sisa nilai feodalisme yang masih mengakar di dalam masyarakat. Sistem patriarki yang terlalu kuat bercokol menyebabkan perempuan, secara sadar maupun tidak, menjadi masyarakat kelas dua. Para pendakwah laki-laki fokus menasihati para perempuan. Sedangkan para pendakwah perempuan sibuk mengkritisi sesama kaumnya. Lalu siapa yang memberi pemahaman dan mengingatkan laki-laki? Betul, ibu merupakan madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Sebagai sekolah pertama yang merupakan pendidikan awal, maka seorang ibu dituntut menjadi sumber pengetahuan dan contoh yang baik untuk putra-purinya. Oleh karena sebegitu penting dan krusialnya peran ibu, pendakwah banyak berceramah kepada golongan perempuan karena mereka akan banyak berperan dalam pembentukan generasi bangsa dan umat. Namun demikian, bayak yang luput mengingatkan peran ayah sebagai imam yang seharusnya menjadi penguat ibu dan pemimpin di dalam rumah tangga.
Terminologi pemimpin ini pun tampaknya banyak mengalami penyempitan makna hanya sekadar pada pemberi instruksi dan menjadi sosok yang harus ditaati tanpa tapi. Kesalahpahaman seperti ini bisa jadi karena dogma yang disampaikan oleh pendakwah cenderung tebang pilih. Kerap kita dengar kisah istri seorang sahabat yang tunduk patuh tanpa tapi yang dijadikan contoh untuk pendidikan rumah tangga.
Akibat dari kesalahan pola kepemimpinan laki-laki di rumah tangga, menyebabkan perempuan tidak kuat menopang beban tanggung jawabnya dan memilih melayangkan gugatan cerai. Beberapa waktu yang lalu, beredar video yang menjadi viral. Dalam video itu tampak seorang perempuan yang wajahnya berseri-seri bahagia sambil memegang map putusan cerai dari Pengadilan Agama. Perempuan tersebut terlihat senang telah secara resmi melepaskan diri dari suaminya. Video viral ini hanyalah fenomena gunung es yang tampak di permukaan.
Dapat kita lihat dari berbagai data yang ada bahwa pada tahun 2021 terjadi lonjakan angka kasus perceraian. Seperti data yang dilansir katadata.co.id, pada 2021 jumlah perceraian di Indonesia adalah yang terbanyak selama lima tahun terkahir, yakni mencapai 447.743 kasus yang didominasi gugatan cerai dari pihak istri, yaitu sebanyak 75,34% atau 337.343 kasus. Bijaknya banyaknya gugatan cerai istri atas suami tidak disikapi dengan semata-mata menyalahkan para istri, seperti kurang bersyukur atau alasan-alasan justifikasi yang lainnya.
Perempuan sudah lelah terus menerus disalahakan dan posisinya dimarjinalkan. Angka sebesar ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak. Dan yang paling penting adalah para pemangku kepentingan (stakeholders) di negeri ini tidak menutup mata dan telinga, serta mau mengakui tamparan keras ini untuk berbenah.
Sadar ataupun tidak, perbaikan pola dakwah supaya tidak melulu tentang perempuan dan memberikan takaran yang proporsional kepada kedua golongan adalah kunci dari perbaikan kondisi masyarakat dan umat. Pendakwah sebagai corong penyampai ajaran Islam yang mulia seharusnya mampu membuka mata, hati, dan menggerakkan laki-laki kepada perannya yang seharusnya. Islam tidak tebang pilih memberi tanggung jawab kepada laki-laki dan perempuan, maka seharusnya itu pun yang disampaikan oleh para pendakwah.
Beberapa pendakwah yang sudah lebih terbuka pikirannya telah terlebih dahulu memberikan pengajaran yang berimbang kepada umat. Hanya saja, pendakwah semacam ini kebanyakan tersentralisasi hanya di kota-kota besar dan cenderung jamaahnya merupakan mereka dari golongan terpelajar. Sedangkan di desa-desa atau di pelosok yang level pendidikannya rata-rata rendah masih didominasi pendakwah dengan nilai patriarki dan sisa feodalisme yang kuat. Maka diperlukan adanya pemerataan sumber informasi dan dakwah yang berimbang sebagai kunci pemecahan permasalahan sosial di level terendah, yakni keluarga.