Hatta dan Otoritarianisme Negara
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Di dalam Penjelasan UUD 1945 (yang asli) ditegaskan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Ditegaskan pula bahwa “Pemerintahan berdasar atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Sayang sekali penjelasan yang sangat penting dan historis ini dihapuskan dalam Perubahan UUD 1945 di awal reformasi.
Tak heran jika banyak orang lupa bahwa Mohammad Hatta (1902-1980) adalah satu di antara sedikit Bapak Bangsa yang kukuh dengan rumusan itu. Hatta tidak setuju memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara, karena Hatta khawatir akan munculnya negara kekuasaan (machtsstaat). Pada saat itu para anggota BPUPKI dan PPKI, lembaga yang bertugas membentuk UUD, tidak begitu concern dengan usulan rumusan tersebut, dan karena itu tidak memberikan respons atas kekhawatiran Hatta yang sangat penting itu.
Pasalnya, kebanyakan mereka tidak membayangkan bahwa sesudah kemerdekaan Indonesia nanti, yakni ketika penguasa kolonialisme dan imperialisme yang kejam, bengis dan despotis itu enyah dari persada Tanah Air, akan bisa muncul para penguasa baru yang terdiri dari bangsa Indonesia sendiri yang akan menjadi penguasa yang bersikap diktator dan menindas rakyatnya sendiri atas nama negara seperti halnya penguasa penjajah. Bukankah para pejuang kemerdekaan itu menginginkan kemerdekaan Indonesia dalam segala bidang, bukan hanya merdeka dalam lepas dari penjajahan?
Merdeka artinya bukan hanya bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, melainkan juga bebas dari ketakutan dan penindasan penjajah yang kejam, bengis, represif, otoriter, dan selalu menggunakan pendekatan kekuasaan. Tak terbayang oleh kebanyakan para Bapak Pendiri bangsa tersebut bahwa akan ada penguasa pribumi yang akan meniru, apalagi melanjutkan kelakuan penguasa kolonial. Hatta lah satu-satunya orang yang mengkhawatirkan kemungkinan seperti itu!
Hatta yang tajam dan visioner
Hatta memang tidak selalu benar, tapi Hatta lebih banyak benarnya daripada salahnya. Dan harus dicatat dalam soal ini Hatta lagi-lagi benar. Artinya Hatta memiliki wawasan yang lebih mendalam dan jauh ke depan lebih dari pada para negarawan yang lainnya. Lihatlah perjalanan sejarah negara kita. Terbukti apa yang menjadi kekhawatiran Hatta sangat realistis: para pemimpin negara yang sebenarnya “hanya” penyelenggara negara itu bisa jatuh menjadi totaliter dan otoriter alias menjadi diktator penindas rakyatnya sendiri atas nama negara. Setidaknya beberapa kali terjadi pemerintah negara menggunakan pendekatan kekuasaan ketika menghadapi rakyatnya sendiri dalam suatu permasalahan.
Kejamnya penjajahan kolonial membuat orang pada waktu itu tidak pernah bisa membayangkan bahwa setelah penjajahan berhasil diusir dan kemudian negara menjadi merdeka dengan pemerintahan sendiri akan muncul pemerintahan yang menggunakan pendekatan kekuasaan. Ada semacam pemikiran yang taken for granted pada waktu itu bahwa mustahil akan muncul negara yang menindas rakyatnya sendiri seperti kelakuan pemerintah kolonial. Walhasil, demikianlah kira-kira suasana batin waktu itu, tidak mengapa kalau kita membuat UUD yang memberikan kekuasaan atau kewenangan yang tak terbatas kepada negara dengan tujuan agar negara dapat tegak dan kuat. Adalah mustahil terjadi bahwa anak bangsa yang sedang memerintah negara akan menindas anak bangsa lainnya yang sedang menjadi rakyat biasa.
Hatta tidak mau bersikap taken for granted seperti itu. Hatta tampak sekali memahami psikologi manusia yang berkuasa. Kekuasaan itu terbukti bisa merubah sikap dan karakter manusia. Betapa sering terjadi orang yang semula sangat idealis begitu berkuasa menjadi sangat pragmatis. Seorang yang sangat anti korupsi begitu berkuasa menjadi koruptor. Seorang yang sangat antikolusi dan antinepotisme, begitu memegang kekuasaan berubah menjadi kolutif dan nepotis. Dan last but not least, betapa sering terjadi seseorang yang sebelum berkuasa sangat egaliter dan demokratis begitu berkuasa berubah sontak menjadi sangat feodalistik dan despotik.
Bahkan tidak jarang kita menyaksikan cara-cara dengan pendekatan kekuasaan itu sudah mulai dilakukan pada tingkat kepemimpinan partai politik, atau bahkan ormas! Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan pemimpin seperti itu manakala yang bersangkutan menjadi penguasa negara. Baru memimpin partai atau ormas saja sudah biasa menggunakan pendekatan kekuasaan, bukan hukum dasn etika, apatah lagi kalau orang tersebut memegang kekuasaan negara. Bisa-bisa orang itu menjadi demon kekuasaan!
Tidaklah heran kalau muncul ungkapan klasik yang nyaris klise dari Lord John Dalberg-Acton (w. 1869): “Power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men”. Perlu dicatat di sini bahwa corrupts di sini tidak terbatas pada aspek keuangan negara, melainkan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, termasuk di dalamnya pendekatan kekuasaan atau “main kuasa” atas nama negara. Pasalnya, para penguasa negara di mana saja sudah biasa mendefinisikan dirinya identik dengan negara. Akibatnya, sesuatu yang membahayakan dan mengancam kekuasaan dirinya biasa didefinisikan pula sebagai membahayakan dan mengancam negara. Padahal keduanya pada sejatinya merupakan dua entitas yang berbeda.
Dan oleh karena itulah maka Hatta menyatakan “Kekuasaan negara yang absolut atau tak terbatas” itu berbahaya. Pasalnya, ketentuan dasar bahwa “Kekuasaan negara tidak tak terbatas” saja bisa dimanipulasi menjadi sebaliknya, apalagi jika memang dari awal dikatakan sebagai Tak terbatas. Bisa dibayangkan apa jadinya jika rumusan UUD 1945 waktu itu memutuskan rumusan yang bersifat machtsstaat, di mana kekuasaan negara tak terbatas! Dengan rumusan rechtsstaat saja tidak jarang negara terjerembab menjadi negara kekuasaan apalagi jika memang secara konstitusional negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas!
Betapa akan seringnya terjadi sikap-sikap penguasa di mana dalam menyelesaikan setiap permasalahan selalu dengan pendekatan kekuasaan alias main kuasa. Betapa akan sering terjadi hak-hak rakyat mengalami distorsi dasn reduksi. Dalam filsafat negara sering digambarkan bahwa negara adalah kakak dan rakyat adalah adik. Betapa sering terjadi seorang kakak, karena merasa paling besar dan kuat, mendominasi adik-adiknya. Relasi kakak dan adik selalu bersifat opresi, dominasi, atau hegemoni. Demikianlah kira-kira yang sering terjadi dengan relasi kuasa antara negara dan rakyat.
Kemana cita-cita Hatta?
Hatta yang sangat tajam dan visioner sadar betapa seringnya terjadi para pemimpin negara lupa bahwa negaranya menganut paham negara hukum (rechtsstaat). Dengan paham ini artinya semua permasalahan, termasuk dan terutama dalam menangani rakyatnya yang sangat nakal dan bandel secara politik sekalipun, tetap mutlak harus secara hukum. Yang namanya negara hukum maka hukum adalah yang tertinggi dan yang paling utama (supremasi hukum). Supremasi hukum mengharuskan diterapkannya prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), setiap penyelesaikan hukum harus berdasarkan hukum (due process of law), dan jaminan dihormatinya hak asasi manusia.
UUD memang harus memberikan kekuasaan kepada negara. Pasalnya, tanpa kekuasaan yang cukup negara tidak akan bisa menegakkan kewibawaannya. Negara yang tidak berwibawa akan mengakibatkan negara lemah. Negara yang lemah di hadapan rakyat yang terlalu kuat bisa menimbulkan anarki. Tetapi negara yang diberi kekuasan yang tak terbatas akan menjadi otoriter dan totaliter. Maka UUD harus memberikan kekuasaan kepada negara, tetapi kekuasaannya itu harus tidak tak terbatas, sehingga rakyat masih tetap memiliki kebebasan yang cukup. Pasalnya, seperti disebutkan di atas, salah satu kebiasaan negara (hoby) adalah membatasi kebebasan dan gampang menggunakan pendekatan kekuasaan.
Hatta menolak negara kekuasaan. Pasalnya, negara kekuasaan adalah bablasan kekuasaan kokonialisme alias neokolonialisme. Memang penyelesaian secara hukum sangat rumit dan kadang menjengkelkan. Tapi itulah satu-satunya penanganan yang berkeadaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah tiga perempat abad merdeka, kapan kita bisa mengucapkan “Selamat datang pendekatan hukum, dan selamat jalan pendekatan kekuasaan”? Hatta memang banyak benarnya, tapi gagasan dan cita-citanya banyak pula yang diabaikan. Wallahu a’lam.
Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2021