Merawat Aset “Intangible” Muhammadiyah
Oleh: Yandi, ketua PCM Ciawi -Tasikmalaya
Banyak yang mengatakan seandainya perusahaan Muhammadiyah adalah sebuah “holding company”, yang memiliki kekayaan luar biasa ditambah dengan daya dukung jaringan infrastruktur “bisnis”-nya. Selanjutnya dicermati dari asetnya Muhammadiyah juga memiliki dua jenis kategori aset layaknya sebuah perusahaan.
Pertama adalah aset ” tangible “, yang kasat mata, yaitu berupa sumber daya manusia yang melimpah , dengan jaringan AUM yg terus berkembang dan tersebar luas, mandiri, dan profesional.
Kedua adalah aset “intangible”, aset berharga yang tidak kasat mata yang dimiliki Muhammadiyah berupa pikiran maju (progresifisme), filantropisme, dan asketisme. Semua kekayaan ini adalah “harta” tak ternilai yang selama ini menjadi elan vital, menjadi ruh dan sumber kekuatan gerakan Muhammadiyah.
Dengan mengutip Gus Dur, ketua MUI Kota Batu, Nurbani Yusuf mengatakan: “kemenangan Muhammadiyah atas NU adalah kemenangan dialektik”. Yaitu kemenangan “pikiran maju” Muhammadiyah, atas berbagai bentuk pikiran jumud umat Islam . Buah pemikiran dan langkah terobosan yang pada awalnya dibantah, ditolak, diharamkan dan di-tasyabbuh-kan pada akhirnya diterima, ditiru, dan diduplikasi. Mulai dari cara berpakaian (dress code) dengan memakai jas dan sepatu, model sekolah yang menggunakan meja dan kursi , khutbah jumat memakai bahasa Indonesia dan seterusnya.
Namun pada akhirnya pikiran maju dan tajdid Muhammadiyah yang dulu mendapatkan rejeksi dan resistensi kini diterima oleh semua elemen umat Islam bahkan telah menjadi arus utama (mainstream), demikian ditegaskan Masdar Hilmy, kader NU Jatim, mantan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam seminar pra muktamar di UMM dua tahun lalu.
Filantrofisme, atau semangat kedermawanan adalah kekayaan tidak kasat mata Muhammadiyah berikutnya. Dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu jiwa kedermawanan telah menjadi karakteristik yg melekat kuat pada kader dan warga Muhammadiyah, sebagaimana diteladankan oleh kyai Dahlan yang melelang barang barang pribadinya “habis-habisan” untuk membayar guru- guru sekolah Muhammadiyah.
Salah satu bentuk filantropisme kontemporer dari pewaris kyai Dahlann pernah dikisahkan oleh wakil ketua LPCR pusat, Jamaludin Ahmad. Seorang aktifis PRM Kampung Sawah Jakarta Timur yang telah pensiun dari dinas, memasuki masa senjanya, rela pindah ke sebuah kamar kecil yg menempel di rumah salah seorang anaknya.
Rumahnya sendiri yang dua lantai, seluas lima ratus meter, dengan luas tanah seribu meter persegi beliau wakafkan kepada Muhammadiyah. Rumah yang berdekatan dengan lingkungan gereja itu, telah beberapa kali ditawar pihak gereja seharga lima belas milyar.
Tapi sang pemilik rumah tidak tergiur, padahal kata salah seorang pimpinan ranting, kalau mau dua puluh lima milyarpun pasti akan dibeli. Namun kader yang filantropis ini lebih memilih mewakafkannya pada Muhammadiyah. Dan kini telah berdiri kokoh sebuah Boarding School bagi para santri “tahfidz Al -Quran” yg dikelola PRM Kampung Sawah.
Aset “intangible” ketiga Muhammadiyah bernama asketisme, secara leksikal asketisme adalah paham yang mempraktekan kesederahanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. James L Peacock, menguraikan salah satu faktor daya tahan atau resiliensi dan dinamisasi Muhammadiyah tidak terlepas dari asketisme kyai Dahlan. Seiring waktu sikap asketis ini menjadi inspirasi sekaligus keteladanan bagi para penerus perjuangannnya di Muhammadiyah.
Ada sosok pak AR, ketua PP Muhammadiyah yang memimpin selama lebih dari dua dasa warsa. Hidup sederhana dengan berjualan bensin eceran dan kemana mana naik sepeda motor bebek. Jabatannya sebagai ketua umum, secara finansial nyaris tidak memberikan impact apapun.
Selanjutnya ada Buya Syafii Maarif ketua umum PP Muhammadiyah 1998-2005 , sosok yang dijuluki “ Guru Bangsa” ini meskipun banyak tawaran berbagai posisi dan jabatan yg bisa membuatnya hidup enak dan lebih layak, tapi beliau memilih jalan hidup zuhud, asketis, selalu naik sepeda onthel dan rela mengantri untuk berobat di rumah sakit PKU Muhammadiyah.
Spirit asketisme ini tidak cuma menjadi fenomena elit pimpinan puncak Muhammadiyah. Dilevel akar rumput masih banyak kader dan anggota yg secara tulus dan ikhlas berjuang tanpa pamrih demi kejayaan Muhammadiyah.
Beberapa waktu lalu beredar di WAG para pimpinan Muhammadiyah, kisah “heroik” seorang guru di Sumatera Selatan yang berhasil mendirikan dua puluh sekolah Muhammadiyah ”sendirian”. Dengan kegigihannya beliau sanggup menerobos hutan belantara, ganasnya sungai, rawa dan hantaman ombak pesisir laut Sumatera Selatan. Semua sekolah Muhammadiyah yang didirikannya mulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, MA, SMA dan SMK berasal dari dana pribadi, ditambah dengan sumbangan beberapa orang donatur. Luar biasa !
Muktamar Muhammadiyah ke 48 di Solo akan kita jelang, selain menyita perhatian, perhelatan ini juga menyedot dana dan semua sumber daya. Sebagai kader akar rumput, penulis berdoa semoga muktamar yang bertema, “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta” ini , menjadi forum yang membahas berbagai usulan, program dan “platform” dengan pikiran progresif -meminjam Haedar Nashir- yang cerah dan mencerahkan yang dijiwai oleh spirit filantropisme dan asketisme. Ketiganya adalah aset “intangible” Muhammadiyah yang harus dirawat dan dijaga agar tetap hidup selamanya di Muhammadiyah.
Wallahu ‘alam bishawab