METRO, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi menghadiri secara langsung peresmian masjid dan peletakan batu pertama gedung Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, Lampung, Senin (27/8). Acara ini turut dihadiri Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung, Prof Dr H Marzuki Noor, MS, Wakil Walikota Metro, Drs Qomaru Zaman, MA, Rektor UM Metro, Drs H Jazim Ahmad, MPd, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Metro, HM Daud Siddiq, BA, dan Ketua BPH UM Metro, Prof Dr Hj Enizar, MAg.
Dalam sambutan sekaligus memberikan tausyiahnya, Prof Haedar mengapresiasi atas pembangunan Masjid Baitul Hikmah yang perkembangannya jauh lebih besar. “Kami sampaikan selamat dan tahniah atas pembangunan masjid ini dengan bantuan modal awal, tetapi berkembangnya jauh lebih besar. Itulah ciri Muhammadiyah, dibantu tetapi bisa mengembangkan lebih banyak lagi,” katanya.
Dirinya juga memberikan penghargaan atas kemajuan yang pesat dari UM Metro. Di mana UM Metro meraih akreditasi baik.
“Perkembangan ini menunjukkan bahwa ada etos kemajuan luar biasa yang tumbuh di kampus ini dari rektor dengan seluruh jajaran civitas akademika, yang melambangkan jiwa alam pikiran dan orientasi-tindakan Muhammadiyah di manapun berada yang selalu haus akan kemajuan,” terangnya.
Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu, sampai sekarang persyarikatan Muhammadiyah telah memiliki setidaknya 173 perguruan tinggi (kampus). Dari jumlah tesebut, sudah melahirkan akreditasi unggul dan ada pula perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran. Tidak hanya di Indonesia, Muhammadiyah juga telah memiliki perguruan tinggi di Malaysia, yakni Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM).
Kemudian, ada pula Muhammadiyah Australia College di Melbourne, Australia. Di sisi lain, ‘Aisyiyah juga 23.000 TK/PAUD. Dan memiliki 3 universitas menjadi satu-satunya organisasi perempuan di muka bumi, bukan hanya di Indonesia yang memiliki ribuan TK/PAUD serta memiliki universitas yang hebat.
“Apa yang saya gambarkan itu, bahwa etos Muhammadiyah memang etos kemajuan, selalu ingin maju dan maju,” ucapnya.
Etos kemajuan telah melekat di dalam jatidiri Muhammadiyah sejak lama. Hal ini sebagai reaktualisasi dari organisasi Islam yang membawa nama agama itu sendiri. Sebab Islam menjadi salah satu agama yang membawa, mendorong, dan memotivasi sekaligus memerintahkan umatnya untuk menjadi umat maju dan mengembangkan kemajuan. Atau dalam bahasa familiar Muhammadiyah dikenal dengan din al-hadlarah, yakni Islam sebagai agama pembangunan peradaban yang maju.
Landasan utama dari ini bersumbu pada tarikan napas wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw di dalam Gua Hira. Tersebut QS al-Alaq [96]: 1-5 sebagai wahana manusia untuk senantiasa membaca. Membaca yang tidak sekadar verbal, tetapi bersamaan dengan itu juga diharapkan bisa membaca alam semesta secara komprehensif melalui koridor mengkaji, mengeksplorasi dan seluruh kegiatan berpikir, baik menggunakan rasio maupun ilmu pengetahuan.
Iqra menafasi Islam menjadi maju dengan bukti maujud selama 23 tahun Nabi Muhammad Saw di Madinah dan Makkah berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi al-madinah al-munawwarah yakni bangsa yang berkedaban cerah dan mencerahkan.
“Nah, apa yang saya sampaikan itu menunjukkan bahwa peradaban Islam (agama Islam) bukan hanya tertera di dalam Al-Qur’an dalam spirit iqra’, tetapi juga mewujud dalam kehidupan nyata bangsa-bangsa, bukan lagi satu bangsa,” katanya.
Pada masa permulaan Islam, tentu belum ada moda transportasi untuk menyebarluaskan agama mulia itu. Akan tetapi, Islam telah mampu menyebar ke seluruh penjuru buana. Sehingga disebut sebagai ‘Kosmopolitanisme Islam’. Artinya, Islam menjadi agama yang memajukan peradaban kehidupan.
Selain itu, Prof Haedar juga mengambil surat al-Maun sebagai surat yang pendek dan sejak ratusan tahun lalu umat Islam diniscayakan hafal seluruh isinya, bahkan kerap dibaca ketika salat, baik sendiri maupun berjamaah. Tetapi ironinya, tidak sampai melahirkan perubahan apapun di dalam kehidupan. Namun, surat Al-Maun di tangan KH Ahmad Dahlan bisa melahirkan rumah sakit, panti asuhan, rumah yatim, kemudian lahir gerakan sosial yang tidak dimiliki gerakan pemnbaruan yang lain.
“Coba bapak/ibu bayangkan, saat itu bangsa Indonesia terjajah, budayanya budaya patriarki. Kemudian memandang kalau perempuan itu hanya urusan domestik, dapur, kasur, sumur, lembur, diubah oleh KH Ahmad Dahlan, perempuan harus menjadi dakwah, perempuan harus menjadi pendidik, perempuan harus menjadi dokter, perempuan harus jadi insinyur, perempuan harus ilmuwan, perempuan harus masuk ke ruang publik, maka lahirlah ‘Aisyiyah tahun 1917,” tuturnya. (Cris)