Kedahsyatan Doa (2)

Nadzar doa nabi isa

Ilustrasi

Kedahsyatan Doa (2)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Ada jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’aala tentang kedahsyatan doa. Berkenaan dengan itu kita diwajibkan berdoa. Firman-Nya di dalam surat al-Baqarah (2): 186,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa. Apabila ia memohon kepada-Ku, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Di dalam ayat itu, ada dua syarat yang wajib kita penuhi agar doa kita dikabulkan-Nya, yaitu (1) memenuhi perintah Allah dan (2) beriman kepada-Nya. Jadi, jika ada doa kita yang belum dikabulkan, semestinya kita mawas diri: sudahkah kita memenuhi kedua syarat itu?

Pada “Kedahsyatan Doa” Suara Muhammadiyah edisi 12/09/2022 telah disajikan dua kisah nyata. Berikut ini disajikan kisah nyata yang lain dengan harapan makin menguatkan keimanan kita akan kedahsyatan doa dan dapat dijadikan pengingat untuk mawas diri jika ada doa kita yang belum terkabul.

Dapat Ganti yang Lebih Baik

Saya terkejut ketika melirik nilai pada Kartu Hasil Studi (KHS) mahasiswa yang sedang berkonsultasi pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dengan dosen penasihat akademik (PA)-nya yang duduk di sebelah kanan saya. Ya, terkejut karena ada penu­runan Indeks Prestasi (IP). Saya merasa wajib mengetahuinya meskipun saya bukan PA-nya. Mengapa? Ayu, sebut saja begitu, adalah aktivis teater kampus yang saya bina dan dia adalah salah satu pemain drama radio yang sangat bagus.

“Ada masalah apa? Kok menurun?” tanya saya di luar ruang dosen.

“Tidak ada apa-apa, Pak?”

“Jangan bohong! IP turun kok tidak ada apa-apa!”

Dia terdiam menunduk. Wajahnya memerah. Saya tidak mendesaknya agar menja­wab pertanyaaan saya,

“Ya, sudah. Kalau sekarang belum siap menjawab, kapan-kapan juga boleh. Tetapi, Anda sebaiknya mengatakan sejujurnya.” Saya menasihatinya.

“Baik, Pak. Insya-Allah kalau saya sudah siap, saya menemui Bapak.”

“Baik. Saya tunggu.”

Tiga hari kemudian dia menemui saya. Minta waktu. Saya setujui. Saya ajak dia berbicara dari hati ke hati empat mata di ruang kuliah yang tidak sedang dipakai.

“Baik. Silakan! Ceritakan! Saya siap mendengarkannya.”

Dia tidak langsung menceritakannya. Beberapa saat saya menunggu. Matanya tam­pak berkaca-kaca. Lalu, menghela nafas pelan.

“Pada menjelang ujian akhir semester kemarin saya tidak dapat belajar dengan baik.” Dia memulai curhat.

“Saya boleh tahu penyebabnya?”

“Pada awalnya saya berusaha untuk dapat menyelesaikan sendiri. Namun, ternyata gagal.”

“Kalau begitu, silakan ceritakan. Semoga saya dapat membantu.”

“Saya harap begitu. Saya mohon solusi, Pak.” Dia perlu waktu sejenak untuk melanjutkan curhat-nya. “Baru saja saya memutus cinta. Tapi, sekarang saya jadi sangat sedih.”

“Mengapa?”

“Saya masih mencintainya.” Dia mulai mengusap matanya karena air mata yang semula tertahan di kedua kelopak matanya telah berubah menjadi titik air mata dan mulai mengalir pelan ke pipinya.

“Masih mencintainya, tetapi Anda memutus cinta?”

“Ya, Pak. Dia telah mengkhianati saya.”

“Anda yakin dia telah mengkhianati?”

“Ketika baru mendengar dari teman, saya tidak percaya. Dia selalu mengatakan sangat mencintai saya. Tambahan lagi, orang tua kami dan orang tuanya sudah menge­tahui dan setuju.”

“Lalu?”

“Sekarang saya yakin.”

Kok bisa?”

“Saya sudah melihat sendiri.”

“Oh, ya? Apa yang Anda lihat?”

“Ketika saya datang ke rumah kosnya di Yogyakarta, dia sedang asyik ngobrol dengan cewek, teman kuliahnya, yang pernah diceritakan oleh teman saya.”

“Anda langsung percaya?”

“Mas Bagus akhirnya berterus terang.”

“Namun, Anda ingin dia kembali?”

“Ya, Pak. Orang sekampung sudah mengetahui bahwa dia adalah calon suami saya.”

Sejenak saya memerlukan waktu untuk memilih pertanyaan penting tentang calon suami idamannya. Saya perhatikan dia sangat galau. Berkali-kali dia mengusap titik-titik air matanya yang mulai membasahi pipinya.

“Baik. Tentu Anda punya kriteria bagi calon suami. Nah, lelaki yang bagaimana yang Anda harapkan menjadi suami?”

Dia tidak menjawab. Hanya beberapa kali menghela napas pelan. Diamnya merupakan kesempatan bagi saya untuk menasihatinya dengan jurus-jurus yang saya yakini tepat.

“Satu akidah?”

“Ya, Pak.”

“Taat beribadah?”

Setelah diam sesaat, “Itulah yang belum. Salatnya bolong-bolong!”

“Kalau begitu, seharusnya Anda bersyukur kepada Allah telah memutus cinta. Mengapa?”

Dia tampak bingung. Harapan untuk memperoleh solusi agar Mas Bagus kembali tidak diperolehnya. Saya menunggu dia menjawab. Namun, dia memilih hanya melihat saya dan menunggu kata-kata saya selanjutnya.

“Allah telah menunjukkan keaslian Mas Bagus sebelum menikahi Anda.  Betapa lebih menderitanya jika hal itu terjadi setelah Anda menjadi istrinya!”

“Tapi … saya sangat mencintainya, Pak”

“Saya tahu. Kalau tidak sangat mencintainya, untuk apa mata Anda sembab dan untuk apa air mata Anda?”

“Apa tidak ada jalan lain agar dia kembali pada saya, Pak?”

“Anda mau punyai suami yang berbagi cinta dengan perempuan lain?”

Kok Bapak bertanya begitu?”

“Cobalah berpikir: apa yang terjadi jika pengkianatan Mas Bagus baru Anda ketahui setelah menjadi suami Anda, lebih-lebih lagi setelah menjadi ayah hasil pernikahannya dengan Anda!”

Cinta memang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dia tidak mau menyerah. Keinginannya agar Mas Bagus kembali tetap membaja. Saya maklum. Oleh karena itu, saya memilih solusi melalui kompromi.

“Em … bagaimana kalau Anda memberinya kesempatan lebih dulu beberapa waktu agar dapat Anda ketahui apakah dia betul-betul mencintai Anda?”

“Ya, Pak.” Tampak dia bertenaga kembali. “Saya akan menunggu.”

“Baik! Sebaiknya, Anda batasi waktunya. Misalnya enam bulan. Jika tidak ada tanda-tanda dia kembali, ya, lepas saja!”

“Ya, Pak.”

“Nah, berdoalah kepada Allah. Namun, jangan mendikte-Nya!”

“Maksud … Bapak.”

“Mulailah dengan keyakinan bahwa Allah Mahatahu yang terbaik buat hamba-Nya. Mohonlah diberi yang terbaik menurut Allah. Yakinlah bahwa yang terbaik menurut Allah pasti yang terbaik bagi Anda. Namun, yang terbaik menurut Anda belum tentu terbaik menurut Allah! Ucapkan dalam doa, ‘Ya, Allah jika dia jodoh saya pertemukan dalam rida-Mu. Jika bukan jodoh saya, beri saya ganti yang lebih baik daripada dia. Beri dia ganti yang lebih baik daripada saya.”

Hampir dua jam kami bicara dari hati ke hati. Kami pun berhenti ketika azan asar berkumandang. Kami sepakat untuk bertemu lagi sewaktu-waktu.

Satu pekan. Dua pekan. Tiga pekan. Satu bulan tidak ada kabar. Namun, setelah satu bulan lebih tidak ada kabar perkembangan apa pun, pada saat beristirahat kuliah, dia dan dua orang temannya, sebut saja Sri dan Jeki, menemui saya.

“Maaf, Pak. Boleh saya dan teman-teman silaturahim ke rumah Bapak?” Ayu me­minta izin.

“Boleh. Silakan. Malah Anda dan teman-teman dapat ngobrol lebih leluasa dengan ibu.”

“Ya, Pak. Itu maksud kami. Kami ingin konsultasi dengan ibu.”

“Boleh! Barangkali ada masalah yang sangat pribadi yang tidak mungkin Anda ceritakan kepada saya. Silakan!”

“Terima kasih, Pak.”

“Ya, sama-sama.”

Mereka bertiga tiba di rumah kami. Istri saya menyambutnya dengan penuh keha­ngatan sebagai dengan anak yang dirindukannya. Setelah cipika-cipiki dengan Ayu, Sri, dan Jeki, istri saya memper­silakannya duduk. Sesaat kemudian, kami dengar azan isya. Kami salat berjamaah. Lalu, makan bersama.

Seperti antre konsultasi dengan psikolog. Satu per satu curhat di kamar. Ada yang sambil menangis. Istri saya menjadi pendengar yang baik. Dia mau dengan sabar mendengarkan dan merespon curhat Ayu, Sri, dan Jeki. Bahkan, istri saya tidak segan-segan memeluk dan mendekapnya.

Ujian negara selesai. Mereka lulus program sarjana dengan nilai yang bagus. Menje­lang wisuda, saya sempat bertemu dengan Ayu.

“Ajak Mas Bagus, ya! Saya ingin kenalan.”

Ayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum yang sulit saya tafsirkan maknanya. Tam­paknya dia menyembunyikan sesuatu.

Tiba saat dia mengikuti wisuda sarjana. Selesai prosesi wisuda, dia menemui saya tanpa Mas Bagus.

“Mana Mas Bagus?” tanya saya.

“Saya dengan Bapak dan adik. Ini Bapak dan ini adik.”

“Oh, ya. Saya Fakhrudin, Pak, Mas.” Saya memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya. “Lalu, mana Mas Bagus?”

“Em … maaf, Pak, Apakah saya boleh minta foto bersama, Bapak?” Ayu meng­alihkan pembicaraan.

“Oh, boleh. Boleh! Mari! Di mana? Em … di dekat panggung sana. Bagus latarnya. Bagaimana?”

“Baik, Pak.”

Beberapa kali kami foto bersama. Saya mencoba mengulang pertanyaan yang belum terjawab. “Mana Mas Bagus?”

“Nanti saya jelaskan sambil menyampaikan foto. Alhamdulillah! Saya sudah siap. Kuat.”

“Alhamdulilllah! Syukurlah!”

Tiga hari kemudian dia datang menemui saya sambil membawa foto dan mem­berikannya kepada saya.

“Ini Pak, fotonya.”

“O, bagus sekali. Terima kasih, ya.”

“Sama-sama, Pak. Em … maaf. Bapak punya waktu?

“Untuk Anda, ada.”

“Tetapi jangan di sini, Pak.”

“Boleh!”

Kami berdua kembali ke ruang yang kami gunakan sebelumnya. Hanya berdua. Saya mencuri pandang. Wajahnya tampak ceria. Tidak ada kegalauan lagi.

“Begini, Pak” dia membuka pembicaraan. “Saya mantap untuk putus dari Mas Bagus.”

“Anda yakin dengan keputusan itu?” Saya terkejut.

“Bismillah! Yakin!”

“Cerita dong!”

“Benar kata Bapak. Saya beruntung tahu hati Mas Bagus yang sebenarnya sekarang. Ternyata dia tidak sungguh-sungguh mencintai saya. Tambahan lagi, salatnya tetap bo­long-bolong.”

“Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin!”

“Terima kasih, ya, Pak.”

“Ya, sama-sama. Terus … apa rencana selanjutnya?”

“Ikut Kakak di Jakarta.”

“Semoga di sana dapat ganti yang lebih baik.”

“Aamiin. Doakan saya segera dapat pekerjaan, ya, Pak.”

“Ya, ya, pasti!”

Beberapa waktu tidak ada kontak. Waktu itu belum ada gaway. Saya melaksanakan aktivitas rutin mengajar dan membina teater Surya. Satu bulan sekali mengisi acara drama radio di RRI Semarang. Namun, Ayu tidak ikut bermain lagi.

Sehabis memberikan kuliah, saya melihat di meja ada undangan pernikahan. Ternya­ta undangan dari orang tua Ayu. Saya bersyukur dan bahagia. Satu pekan menunggu hari H terasa lama. Akhirnya, tiba hari pernikahannya. Kebetulan tidak ada jadwal mengajar. Saya naik angkutan umum disambung naik ojek sepeda motor. Waktu itu belum grab atau ojol.

Setelah 30 menit perjalanan, saya sampai di rumahnya. Saya bertemu dengan ayah dan kakaknya. Saya mengenal baik kakaknya.

“Sebentar, ya, Pak. Ayu sedang dirias” kakaknya memintakan izin bagi Ayu.

“Ya. Tidak apa-apa.”

“Bapak naik apa dan dengan siapa?”

“Dengan teman.”

“Mana teman Bapak. Kok tidak diajak ke sini”

“Dia hanya mengantar kok.”

“Terus nanti Bapak dijemput?”

“Ah, gampang.”

Sesaat kemudian, Ayu menemui saya. Dia memperlakukan saya seperti ayahnya. Dia berjongkok untuk meminta restu sambil mencium tangan saya. Saya pun mengiakan dan membesarkan hatinya.

“Ya, Allah. Ampunilah saya karena membiarkan perempuan dewasa bukan mahram mencium tangan saya.” Saya berdoa dalam hati.

“Terima kasih, Bapak. Terima kasih. Allah mengabulkan doa kita.”

“Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin,”

Ayu memperoleh ganti lelaki yang dengan tulus mencintainya. Dia PNS guru di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Beberapa tahun kemudian saya memperoleh kabar bahwa suaminya menjadi kepala sekolah di SMA Negeri cukup terkenal di Jakarta. Sekitar tujuh tahun kemudian, saya menerima telepon dari Ayu. Dia mohon doa berkenaan dengan suaminya akan menghadapi ujian terbuka promosi doktor. Setelah ujian suaminya selesai, Ayu menelepon saya lagi mengabarkan bahwa suaminya dinyata­kan lulus doktor dengan predikat “Sangat Memuaskan.” Alhamdulillah!

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version